Notokng; Ritual Bersyukur Usai Panen Padi
Ritual, notokng, panen, padi, syukur, angan, tradisi, usaha. rasa, pertanian,
Masyarakat Adat Dayak Angan di Desa Angan
Tembawang, Kecamatan Jelimpo, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat
memiliki tradisi mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil usaha
membuka mee deret dan payak saban
tahun. Selain sebagai ungkapan syukur atas panen berlimpah, ritual Notokng
juga sebagai media berdoa bagi usaha pertanian untuk tahun berikutnya.
Tradisi yang disebut Notokng selalu
digelar antara bulan April hingga Juni setiap tahun dalam kalender yang berlaku
di Indonesia. Tradisi Notokng dipimpin seorang temenggung atau orang
yang ditunjuk sebagai dukun kepala dengan enam dukun pendamping.
Notokng sebagai ritual memberi makan abak, tengkorak
manusia hasil mengayau, biasanya dilakukan satu hari satu malam, tiga hari tiga
malam, tujuh hari tujuh malam, atau selama satu tahun. Dalam upacara notokng
disertai dengan permainan alat musik berupa totokng,
ketawak, agokng, dan kelintang.
Alat musik ini akan dimainkan selama ritual digelar.
Pengorbanan Aghu
Menurut Temenggung Benua Angan, Lorensius Lamat,
tengkorak yang dimiliki Dayak Angan bukan hasil be-kayo. Tengkorak itu merupakan milik seorang penanjong
barang-barang kebutuhan dapur yang tersesat di Kampung Angan pada masa 200
tahun silam. Penanjong yang disebut tukang tangkon itu bernama
Aghu, seseorang yang diyakini berasal dari Tiongkok, pedagang yang tiba di
kampung itu ketika hari sudah malam.
“Dia kemudian bertemu Nek Macan Paikng. Nek
Paikng mempersilakan Aghu masuk ke rumahnya. Lalu dijamu dengan makan dan
minum,” kata Lamat.
Nek Macan Paikng, seorang laki-laki yang sangat
dihormati di kampung tersebut. Dia memperlakukan Aghu seperti saudaranya
sendiri. Sehingga Aghu merasa nyaman dan cukup senang. Apalagi sudah dijamu
makan dan minum hingga terhindar dari kelaparan.
Lamat menceritakan, pada malam hari sebelum
tidur, Nek Paikng bertanya kepada Aghu, “Galakkah ko jaji pesaka kanak? Sanga galak,
ani pe man ko? (Maukah kamu menjadi pusaka kami? Jika kamu mau, sebutkan
apa makananmu?)” Aghu hanya terdiam.
Lamat melanjutkan, Aghu menjawab Nek Paikng:
Aghu kemudian tidur dengan pulas. Sementara Nek
Paikng pergi ke dapur mengambil luge, sendok nasi yang terbuat dari kayu
belian. Nek Macan Paikng kemudian memotong leher Aghu menggunakan luge
tersebut. Setelah itu, Nek Paikng membersihkan seluruh abuk dan kurit
yang dari kepala Aghu, sehingga menjadi sebuah tengkorak. Proses membersihkan
kepala Aghu dengan cara merebus. Nek Paikng membuat tongko’ menggunakan
tiga batang teres, kayu belian tumbuh di wilayah kampung itu. Satu dari
tiga tungku itu, kemudian tumbuh menjadi batang belian yang besar. Hingga kini,
pohon teres itu masih bisa dilihat di kampung Angan Tembawang. Letaknya
di tengah kampung, dekat aliran sungai. Tengkorak tersebut kemudian disimpan di
wuwungan rumah.
“Itulah sebabnya, tengkorak di kampung ini
disebut abak panggel, karena pemiliknya merasa terpanggil untuk menjadi
pusaka bagi kampung,” kata Lamat, yang merupakan keturunan dari Nek Macan
Paikng.
Sepekan Meniup Nsoyo
Sebelum ritual Notokng digelar, Domong akan melakukan aupm, sebuah
pertemuan skala besar yang menghadirkan tetua kampung dan pejabat pemerintah
desa, juga masyarakat umum. Aupm ini untuk menentukan hari dan tanggal
pelaksanaan Notokng. Aupm dilaksanakan di sami’ radakng
dengan penerangan lampu terongkeng. Rapat
besar itu dipimpin seorang Nggong
dibantu dengan beberapa tokoh di kampong tersebut. Dalam menentukan waktu, para tetua adat ini juga
mempertimbangkan hari baik. Hal ini untuk menghindari malapetaka yang terjadi
pada saat hari pelaksanaan ritual. Jika sudah sepakat, maka dilakukan berbagai
persiapan, termasuk membentuk panitia pelaksana. Tentu saja, ini melibatkan
banyak orang.
Satu minggu sebelum hari pelaksanaan Notokng,
warga kampung dipersilakan untuk meniup nsoyo, sejenis terompet yang
terbuat dari daun kelapa muda. Musim meniup nsoyo akan berakhir
bertepatan dengan hari pelaksanaan Notokng. Setelah itu dilarang untuk
meniup nsoyo. Jika melanggar, maka dikenakan sanksi adat.
Nsoyo berfungsi sebagai media untuk mengundang para temuai
– semacam tamu agung - agar datang menghadiri ritual adat Notokng. Nsoyo
berbentuk kerucut dengan ukuran yang bervariatif, tergantung banyaknya daun
kelapa yang digunakan. Pada bagian ujung kerucut dipasang rata’, semacam
lidah untuk membunyikan, yang juga terbuat daun kelapa. Pada ujung lilitan daun
kelapa terakhir ditusuk duri kaktus atau lidi kelapa sehingga daunnya tidak
terbuka.
Prosesi Notokng
Lamat mengatakan, prosesi Notokng akan
dimulai pada malam hari sekira pukul 21.00. Pada pagi hari hingga menjelang jam
pelaksanaan, petugas yang ditunjuk mempersiapkan hal-hal yang berkenaan dengan
ritual, termasuk sesajian. Ada yang membuat tumpakng, memasak tumpi’,
dan sesajian lainnya.
Tumpi’ ini beragam nama dan bentuknya, yakni tumpi’
manis dan tawar, kue cucur, piyel, dan bulan bintang, ada juga wajit.
Penganan ini untuk dipersembahkan kepada roh baik. Kemudian, disiapkan air,
tuak, dan arak, yang dimasukkan ke dalam pancap.
Ada tujuh ketupet, yang berisi beras
ketan dan pelawakng. Ketupet digunakan untuk memberi makan roh
nenek moyang. Disiapkan juga tujuh batang lamang yang terbuat dari bambu
muda. Kemudian dipersiapkan juga rangkakng siap, ayam yang sudah dibakar
sebentar. Prosesi yang menggunakan rangkakng siap disebut dengan sarah
masak, yakni prosesi menyerahkan sesajen yang sudah masak. Sebelumnya,
dilakukan prosesi serah manta’, yakni saat ayam belum disembelih yang
digunakan untuk ritual bepipis. Ritual ini sebagai awal untuk
membersihkan lokasi tempat dilaksanakan ritual notokng, termasuk
orang-orang yang ada di dalam rumah tersebut.
Sesajian lain berupa benas pelawakng, benas
puyut, benas selamat, benas banyu, benas ijo, benas kuning, telur ayam,
minyak nkabakng, dan masih banyak
sesajian lainnya. Setiap sesajian tersebut memiliki makna masing-masing.
Dipersiapkan juga duit pirak dan duit keratas yang berfungsi
sebagai pengkaras.
“Semua itu ada artinya. Benas puyut, misalnya, memiliki sifat yang melekat, yang menjadi
lambang melekatnya rezeki dan hubungan manusia dengan Jubata,” kata Lamat.
Ada juga sirih masak yang disebut sintek,
yang terdiri atas bake’
dengan kapur, gambei, dan uwai yang
siap dikunyah, ditambah dengan gulungan rokok daun nipah.
“Sirih itu lambang kasih sayang kepada semua roh
yang baik, yang menjadi warga dan kampung. Dia juga sebagai rasa sayang dan
hormat kepada Jubata (Tuhan),” kata Lamat.
Sesajian itu disusun pada tatakan yang disebut rancak
dan tumpakng. Kedua benda tersebut terbuat dari dahan dan daun kelapa
muda. Rancak dan tumpakng ini akan ditempatkan pada empat
penjuru. Selain itu, rancak dan tumpakng ini juga ditempatkan di
aliran sungai, baik di-dai maupun saba’, sebagai batas penjaga
yang mencegah amot masuk
ke kampung, yang bisa mengganggu warga kampung.
Selain itu, disiapkan ancak. Ancak
ini juga sebagai tempat menyimpan sesajen, yang terbuat dari anyaman bambu.
Pada bagian untuk menempatkan sesajen dilapisi daun karo'. Daun khas
yang tumbuh di hutan, yang digunakan untuk membungkus nasi. Satu buah tangkitn
diletakkan dekat piring. Tangkitn digunakan untuk melakukan setiap
pekerjaan. Tangkitn melambangkan kekuatan dan perlindungan manusia.
Ritual dimulai dengan menurunkan abak
dari pangokng rumah. Pemimpin ritual bersama beberapa pendampingnya akan
naik ke pangokng mengambil tengkorak, kemudian membawa turun menggunakan
gendongan, seperti seorang ibu menggendong bayi. Pada prosesi ini, alat-alat
musik belum boleh dibunyikan. Prosesi ini juga dilakukan pada sore hari sekira
pukul empat.
Abak kemudian diletakkan di tengah nampan, yang
di sekitarnya sudah disusun sesajian. Pemimpin ritual akan memandikan abak
dengan air bersih yang sudah dipersiapkan, kemudian meminyakinya. Setelah itu,
pemimpin ritual juga akan menyisir abak, seperti menyisir kepala
seseorang.
Abak juga diberi rokok sebagai tanda dia seorang
laki-laki. Diletakkan juga sebuah pelita di dekat abak sebagai
simbol penerangan bagi abak. Talam dan sesajian di dekatnya
menjadi simbol rumah bagi abak, yang datang sebagai temuai bertamu
ke rumah warga.
Ritual dilanjutkan dengan prosesi nkubakng,
prosesi memanggil roh baik untuk hadir dalam upacara memberi makan tersebut.
Selama proses nkubakng, para pemain musik, yang berupa totokng,
kelintakng, ketawak, dan gokng harus dibunyikan tanpa jeda. Prosesi nkubakng
memakan waktu selama sepuluh menit. Prosesi ini biasanya dilaksanakan setelah
magrib.
Pemimpin ritual mengenakan sengkulas mirah
yang diikatkan di kepalanya. Selendang diselempangkan menyilang di badannya.
Pemimpin ritual mengambil mangkok kecil yang berisikan benas kuning.
“Inje due taru ampat rima inem piss ijo,”
Lamat yang memimpin ritual memulai prosesi nkubakng. Didampingi beberapa
dukun lain, ia merapalkan baca-baca untuk mengundang roh-roh baik datang pada ritual notokg.
“Nkubakng menjadi pembuka seluruh ritual notokng.
Orang tak boleh berdiri di muka pintu, tidak boleh berjalan. Kalau sedang
berjalan, wajib berhenti. Setelah prosesi itu selesai, semuanya berjalan normal
lagi,” kata Lamat.
Setelah nkubakng, Lamat akan memimpin
prosesi gerinting. Ini prosesi puncak dalam ritual notokng.
Sebelum mulai, Lamat harus memeriksa seluruh sesajian yang sudah disiapkan
petugas. Hal ini perlu agar tidak ada yang kurang atau lebih. “Sanga kurang,
amot gente, sanga labeh, jubata gente. (Kalau kurang, hantu akan marah,
tapi kalau lebih, maka Jubata yang marah). Jadi harus tepat semuanya,”
kata Lamat.
Setelah semuanya siap, termasuk para penabuh
alat musik. Pelaksana gerinting ini
dipimpin satu dukun kepala yang didampingi enam dukun lainnya. Lamat mengangkat
tangan seakan memberi isyarat kalau semua sudah siap. Dalam satu teriakan keras
yang khas, yang disebut teriu, prosesi gerinting dimulai. Jumlah teriu
akan disesuai dengan jumlah hari pelaksanaan notokng, yang kemudian
dikalikan tujuh.
Jika notokng digelar sehari semalam, maka
jumlah teriu ada tujuh kali. Biasanya notokng digelar dengan hari yang
ganjil: satu, tiga, tujuh, setahun, bahkan tujuh tahun. Ada petugas yang
menghitung jumlah teriu ini supaya penabuh musik tidak salah dalam
bekerja.
Usai gerinting, prosesi dilanjutkan
dengan menari. Namanya tari totokng. Orang-orang yang menari totokng
ini juga tidak boleh sembarang. Harus memiliki kemampuan memahami gerak dan
irama musik tetabuhan. Para penari biasanya akan membawa tengkorak berkeliling
sebagai tanda memberi berkat kepada orang-orang yang datang.
Setelah gerinting
dilakukan, maka resmilah upacara notokng
dilaksanakan. Alat musik tidak boleh berhenti berbunyi. Siapa saja boleh
memainkan asal sesuai dengan irama yang diizinkan. Jika tidak, maka akan
terjadi sesuatu hal kepada para pemainnya.
Wajib Menyepi Selama 24 Jam
Sebelum ritual berakhir, ada dua ritual yang
harus dilaksanakan, yakni ngantukng dan nyeser. Kedua ritual ini
dilaksanakan pada tempat berbeda. Ritual ngantukng merupakan prosesi
mengembalikan abak ke kediamannya, yakni wuwungan. Pemimpin ritual akan
menaiki jakan yang terbuat dari kayu untuk sampai di pangokng.
Pemimpin ritual akan membawa tengkorak wuwungan rumah diikuti oleh tetabuhan
alat musik dibantu beberapa petugas yang sudah ditunjuk.
Prosesi ngantukng sebagai tanda
berakhirnya ritual notokng. Setelah prosesi ngantukng, tidak diperkenankan untuk membunyikan tetabuhan karena akan nganggo’ ketenangan arwah pemilik tengkorak, sudah berada di
kediamannya.
Setelah ngantukng selesai, akan
dilanjutkan dengan prosesi nyeser. Prosesi ini dilakukan di hilir
sungai, yang jaraknya dengan kampung cukup jauh. Prosesi ini sangat penting
untuk mengakhiri seluruh rangkaian ritual, sebelum pantang diberlakukan.
Dalam ritual nyeser, petugas menyiapkan
pantak yang dibuat dari kayu belian yang mewakili dua gender, laki-laki dan
perempuan. Pantak akan diletakkan dengan menancapkan ke tanah sehingga terlihat berdiri
tegak. Di belakang pantak dibangun rumah yang tingginya melebihi pantak,
semacam miniatur tempat tinggal khas suku Dayak: Rumah Radakng.
Rumah itu sebagai simbol perlindungan juga
berlindung atau tempat tinggal para roh baik yang menjaga kampung. Sesiapapun
yang masuk datang ke kampung akan melintasi tempat itu, sehingga seseorang yang
akan berniat jahat, akan tawar hatinya.
Prosesi nyeser menggunakan perahu kecil
yang terbuat dari kayu lempung. Pada perahu tersebut diisi dengan sesajian
sebagai bekal roh yang hendak berangkat, seperti makanan, minuman, dan
peralatan lainnya. Ditempatkan juga seekor anak ayam betina untuk bekal
beternak roh tersebut.
Setelah prosesi nyeser berakhir, semua
orang wajib kembali ke kampung. Di rumah pemimpin ritual, kemudian ditetapkan
masa pantang, yang berlaku selama 24 jam. Biasanya pantang dimulai pukul 16.00
dan berakhir pada pukul 16.00 hari berikutnya. Pantang notokng ini mirip
seperti Nyepi pada umat Hindu. Orang-orang hanya berdiam di rumah untuk
menikmati kesunyian.
Ada beberapa pantangnya, yakni tidak boleh menerima
tamu, tidak boleh melayu, membuat tumbuhan menjadi layu, berteriak di
kampung, juga membunuh binatang-binatang. Warga kampung juga dilarang
menghidupkan mesin, baik sepeda motor maupun generator (genset) untuk
penerangan, termasuk mesen pade, mesin penggiling padi. Tidak boleh
keluar kampung. Jika keluar kampung, maka tidak boleh pulang sebelum masa
pantang berakhir. Orang dari kampung lain, boleh melintasi tetapi tidak boleh
singgah. Jika singgah, maka tuan rumah tempat mereka singgah akan dikenakan
sanksi adat.
“Hanya dibolehkan menghidupkan pelita
(lampu minyak),” kata Lamat.
Apa sanksi bagi pelanggar pantangan? Menurut
Lamat, warga yang melanggar akan dikenakan adat tanung. Adat ini
merupakan hukuman yang dibebankan kepada tuan rumah.
Adat tanung dibayar dengan sebuah pingatn,
basi, sejumlah uang, seekor ayam, dan beras. Pembayaran adat tanung
dilakukan di rumah pemigeng abak, orang yang dipercaya menyimpan
tengkorak. Setelah itu, kata Lamat, adat tanung akan diserahkan kepada abak
dengan ritual tanung.
Penutup
Ritual notokng masih tetap dilestarikan
oleh masyarakat adat Dayak Angan di Desa Angan Tembawang, Kecamatan Jelimpo,
Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Desa Angan ini mencakup tujuh dusun, yakni
Dusun Angan Tembawang, Dusun Angan Bangka, Dusun Angan Tutu, Dusun Angan Limau,
Dusun Angan Pelanjau, Dusun Angan Rampan, dan Dusun Angan Landak.
Masyarakat Dayak Angan menuturkan bahasa Be
Aye. Menurut Simon Takdir, Antropolog yang menulis buku “Austronesia
Dayaka”, penutur bahasa Be Aye termasuk kelompok suku Kanayatn.
Namun, beberapa akademisi menyebutkan bahwa penutur Be Aye masuk
kelompok suku Dayak Mali.
Notokng menjadi ritual penting dalam kelompok Suku Dayak Angan.
Ritual ini terjadi setiap tahun setelah panen. Selain sebagai ungkap syukur,
ritual ini juga sebagai bentuk menyampaikan permohonan agar usaha-usaha
pertanian pada tahun berikutnya membuahkan hasil berlimpah. []