Riam Angan; Eksotisme Alam Anugerah Semesta
Riam, wisata, air, terjun, gunung, lokal, angan, warga, pontianak, berita, alam, anugerah
FOTO: BUDI MIANK RIAM ANGO: Riam Ango menjadi satu dari empat riam di Angan Tembawang yang eksotis. |
Angan Tembawang akhir 2018. Seusai perayaan Natal yang sederhana, orang-orang berkunjung ke rumah-rumah. Hal sederhana yang selalu dilakukan saban tahun. Tak ada pesta yang meriah. Hanya keramahan tuan rumah yang menyambut dengan senyuman. Kue-kue khas kampung terhidang. Ada juga roti-roti produksi pabrik.
Minuman-minuman seperti tuak, juga minuman bersoda terhidang. Kami bersenda dalam tawa. Apalagi sudah lama tak bersua. Rindu itu terjawab ketika orang-orang di kampung menyapa dengan ramah. Kami adalah orang-orang dari Angan yang hidup merantau. Kami adalah tingo’, begitu orang-orang Angan menyebutnya.
Tingo’ merujuk pada tunggul kayu yang ada di ladang. Tingo’ tinggal di ladang sebagai penjaga. Dia tidak ikut pulang karena hidupnya telah merantau. Nah, filosofi tingo’ di ladang itulah, orang-orang tua dulu menyebut para perantau itu dengan tingo’. Sebutan ini untuk mengganti nama orang yang merantau tersebut, dengan alasan agar tak rindu kampung halaman, terutama mereka yang menempuh pendidikan di perkotaan. Kami adalah tunggul yang tertinggal di luar kampung, menjadi kaum urban.
Para perantau dari Angan Tembawang kerap memilih pulang kampung jika Natal tiba. Vanessa dan Pedagi, contohnya. Keduanya anak yang lahir dari orangtua asal Angan Tembawang yang tinggal di Pontianak, sangat senang kalau diajak pulang kampung. Vanessa bahkan meminta izin pulang lebih awal dari jadwal pulang kedua orangtuanya. Begitu juga Pedagi, adiknya. Vanessa lahir di Pontianak, begitu juga adiknya, Pedagi. Tetapi, jika libur sekolah, keduanya kerap mengajak atau meminta pulang ke Angan.
“Biar enak mandi di sungai,” kata Pedagi memberi alasan.
Kedua orangtuanya tak bisa menolak. Keinginan kuat kedua anaknya tersebut dipenuhi. Pernah satu hari, ketika libur idulfitri, ibunya mengajak berlibur ke pantai di Singkawang. Keduanya menolak. Tidak tahu kenapa menolak. Ketika diajak pulang ke kampung, keduanya mengiyakan. Jadilah mereka pulang kampung. Padahal jalan menuju kampung belum begitu bagus. Jika dari masuk dari Jelimpo, Kabupaten Landak, jalan sudah beraspal walau belum sampai di kampung.
Lokasi Pancui Marage berada di wilayah administrasi Desa Angan Tembawang. Sebuah desa di Kecamatan Jelimpo. Ia masuk Kabupaten Landak. Desa terakhir sebelum memasuki wilayah administrasi Kabupaten Sanggau. Desa Angan Tembawang ini memiliki akses yang cukup dekat Batang Tarang, yang masuk wilayah Kabupaten Sanggau.
Ada tiga pintu masuk ke Angan Tembawang. Dua lewat Batang Tarang, satu lagi lewat Jelimpo. Jika lewat Batang Tarang, Kabupaten Sanggau, bisa juga lewat Jelimpo, Kabupaten Landak. Jika dari Jelimpo, perjalanan agak lebih mudah. Dari Jelimpo yang berjarak tempuh sekitar 12 kilometer itu sudah diaspal sekitar 10 kilometer. Sisanya masih pengerasan. Berharap, tahun-tahun berikutnya aspal sudah bisa hingga pusat desa.
Jika lewat Batang Tarang, rutenya jauh lebih sulit. Jaraknya juga lebih jauh dibandingkanjika lewat Jelimpo. Jalan yang sudah diaspal hanya pada ruas yang menjadi kewenangan Pemkab Sanggau. Itu pun belum seluruhnya. Bahkan sekarang sudah mengalami kerusakan lagi. Terutama pada jalur yang menghubungkan Muya dan Sinto.
Sinto merupakan kampung terakhir yang masuk wilayah Sanggau. Kampung ini berada di atas perbukitan. Jarak kampung ini dengan batas kabupaten hanya sekitar 200 meter. Nah, jarak kampung Sinto dengan Angan Tembawang sekitar lima kilometer. Anak-anak dari Sinto lebih memilih bersekolah di Angan Tembawang.
Ruas jalan Muya menuju Sinto cukup berat. Selain sempit karena kayu-kayu kecil yang tumbuh sepanjang jalan tak dipangkas. Jika menggunakan kendaraan roda empat, akan kesulitan jika berlintasan. Batu-batu kecil dan berukuran sedang memenuhi ruas jalan. Jika hujan, beberapa titik akan licin, juga ada genangan-genangan pada lobang-lobang yang bisa menjebak. Salah sedikit bisa amblas.
Ada dua bukit yang harus ditaklukan pada rute ini. Pertama, orang setempat menyebutnya, Mungu’ Mpales. Jalur ini menanjak sekitar 45 derajat. Cukup panjang. Jika berjalan kaki, waktu tempuh dari kaki hingga puncak bukit bisa memakan waktu sekitar satu jam. Jika menggunakan sepeda lebih lama lagi karena beban mendorong sepedanya. Kalau menggunakan sepeda motor mesti hati-hati.
Ruas jalan menanjak itu mengalami kerusakan yang cukup parah. Ada selokan yang terbuat secara alami karena kikisan air dan menjadi tempat air mengalir jika hujan. Jenis tanah yang lembek akan membuat jalan menjadi licin. Jika ingin melintasinya menggunakan mobil, pastikan mobilnya bergardan ganda. Jika tidak, urungkan saja niat untuk melewati jalur tersebut.
“Sekarang jalur ini semakin sulit dilewati,” kata Yanto, warga asal Sinto.
Lalu ada satu bukitnya. Orang setempat menyebutnya Mungu’ Ilung. Perbukitan ini tidak begitu panjang. Tetapi jalur mendakinya rumit karena di tengah bukit ada tikungan yang cukup tajam, ditambah lagi pada tikungan itu ada titik jalan yang rusak parah. Banyak sepeda motor yang tidak sanggup mendakinya jika membawa muatan, seperti karet atau bahan pangan lainnya, yang hendak dijual di Batang Tarang.
Begitu menuruni Mungu’ Ilung, maka sudah memasuki wilayah Angan Tembawang. Patok batas antardesa sekaligus kabupaten itu, berada di kaki Mungu’ Ilung. Jalur setelah Mungu’ Ilung lebih mudah karena tak ada jalan menanjak yang begitu tinggi. Namun, kerusakan masih terdapat pada semua titik. Hampir tak ada jalur yang bagus. Semuanya hanya pengerasan yang sudah berlangsung sejak lama. Batu-batu kecil, sedang hingga besar mengisi ruas jalan tersebut.
***
Tiga hari sebelum Natal 2018, Kelompok Sadar Wisata Desa Angan Tembawang berbenah. Mereka bekerja memperbaiki beberapa ruas jalan menuju riam yang rusak, memperbaiki jembatan kecil yang menghubungkan sungai kecil di tepian sawah agar kendaraan roda dua bisa leluasa melintas. Mereka juga mempersiapkan lokasi untuk kendaraan bermotor.
Beberapa anggotanya mengangkut pasir dan batu dari sungai untuk menutup bagian lokasi parkir yang tergenang. Beberapa lagi, sedang memotong kayu dan membelahnya, yang dipakai untuk pijakan standar sepeda motor, agar tidak tenggelam ke tanah.
“Kami perkirakan, jumlah pengunjung akan banyak tahun ini. Melihat dari tahun-tahun sebelumnya,” kata Among, Ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Angan Tembawang.
Pada hari-hari menjelang Natal, juga tahun baru, kunjungan ke Riam Angan cukup tinggi. Ada yang sekadar mandi, swafoto, atau menikmati segarnya udara hutan-hutan yang belum terkontaminasi polusi.
Di Angan Tembawang ada air terjun. Orang-orang Angan menamakannya Pancui Marage. Pancui dalam bahasa Be’ Aye – bahasa yang dituturkan orang Angan-berarti pancuran atau air jatuh dari tempat yang lebih tinggi. Marage itu nama lokasinya. Air terjun dan riam ini berada di Sungai Rentawan, yang bermuara di Sungai Landak. Ada empat riam di Pancui Marage-yang kerap dikunjungi-yakni Riam Game’, Riam Bengaris, Riam Along, dan Riam Ango’. Sementara satu lagi, Riam Marage yang berada di hulunya, yang jaraknya cukup jauh dari empat riam sebelumnya.
Belum diketahui secara pasti, mengapa orang-orang Angan menamakan kumpulan riam ini dengan sebutan Pancui Marage. Nama ini kayaknya baru disepakati. Mungkin baru tahun 2016. Bisa jadi nama itu dipilih, agar lebih mudah mengingatnya karena Marage merupakan uncak dari Sungai Rentawan. Nama yang cuku unik dan mudah diingat. Lebih lokalistik. Bernuansa kearifan lokal, istilah orang-orang pintar.
Riam Marage semakin dikenal. Era digital ini, orang-orang yang berkunjung ke tempat itu menjadi promotornya. Mereka memposting lokasi riam yang dikunjungi di laman-laman fesbuk. Banyak pengikutnya yang memberi komentar atau sekadar menekan tombol like. Banyak juga yang datang ke Pancui Marage setelah melihat postingan teman-teman di fesbuk.
Herkulanus Asrin, misalnya. Warga Pontianak ini sengaja meluangkan waktunya untuk berkunjung ke Pancui Marage. Menggunakan sepeda motor, usai mengantar putrinya di Asrama Maniamas, Ngabang, Asrin berkunjung ke Pancui Marage.
“Airnya jernih. Segar. Hutannya juga masih bagus. Semoga tetap terjaga seperti ini,” katanya.
Tak lupa, Asrin berswafoto di riam-riam yang menjadi gugusan Pancui Marage. Ia juga memposting foto-foto itu ke laman fesbuknya.
Banyak yang ingin berkunjung ke tempat itu. Hutan alam yang perawan ditambah lagi kesejukan air dan trip menuju ke tempat itu cukup menantang. Para petualang sangat senang menikmati hutan alam yang masih lebat seperti di Pancui Marage ini.
Tahun baru 2017, pas tanggal satu Januari, Uskup Agung Pontianak Mgr Agustinus Agus meluangkan waktunya untuk melihat dan menikmati riam-riam di Pancui Marage. Ramai orang ikut serta. Dari posting-posting fesbuk, semuanya bergembira. Senang bisa menikmati riam yang tersembunyi di hutan Kalimantan itu. Kemudian, mereka berharap suatu hari nanti bisa kembali ke tempat itu. Mungkin mereka sudah minum airnya sehingga tergoda untuk kembali lagi.
Tempat favorit di Pancui Marage ini ada dua. Pertama, Riam Game’. Riam ini memiliki luncuran, seperti plosotan di Taman Kanak-kanak, dari batu yang terbentuk secara alami selebar dua meter, dengan panjang luncuran sekitar empat meter. Air yang deras dan jernih melintasi batu luncuran itu. Di tempat ini, orang-orang bisa bermain luncuran seperti di Taman Kanak-kanak. Air yang mengalir menjadi pendorong utama.
Di atas luncuran itu ada kolam air yang cukup besar. Ya seperti sebuah teluk yang dalamnya mencapai tiga meteran. Di atas kolam air itu mengalir air dengan deras melintas bebatuan. Bagi yang bernyali atau ingin merasakan sensasi lain, bisa menghanyutkan diri melewati celah-celah batu. Dorongan air yang deras akan membuat tubuh-tubuh orang terombang-ambing seperti menaiki wahana di tempat permainan.
Riam kedua yang jadi favorit para pengunjung adalah Riam Ango’. Ango’ dalam bahasa Be’ Aye bermakna panjang atau tinggi. Iya, Riam ini memiliki air terjun yang cukup tinggi yakni sekitar 10 meter. Jika hujan cukup deras, gemuruh airnya terdengar hingga kampung terdekat, seperti Angan Rampan dan Angan Landak. Jika kemarau, debit airnya berkurang.
Di bawahnya ada sebuah kolam air yang cukup dalam. Arusnya cukup deras. Pengunjung yang belum bisa berenang sebaiknya tidak terjun ke kolam air tersebut. Bagi mereka yang bisa berenang, tempat ini mengasyikan. Pengunjung juga bisa berada di bawah air yang terjun. Merasakan sensasi ditimpa air terjun dari ketinggian 10 meter. Wuiiihhh, sedaaapp. Sejuuuukkk….
Sedangkan dua riam lainnya, yakni Bengaris dan Alokng, kurang diminati. Riam Bengaris hanya berupa kolam besar saja. Jika ingin berenang tanpa arus yang kuat, Riam Bengaris boleh menjadi destinasinya. Sementara Riam Alokng hanya berupa kolam kecil yang dalamnya mencapai sepuluh meteran. Sangat jarang orang mandi atau berenang di riam ini.
Menurut cerita, Riam Alokng ini memiliki mistis. Bahkan cenderung menjadi tempat yang sakral. Warna airnya sangat gelap. Dia merupakan kolam yang kiri dan kanannya berdinding bebatuan. Cahaya matahari sangat sulit masuk ke Riam Alokng karena tertutup perpohonan. Hal ini membuat Riam Alokng menjadi gelap seperti hari menjelang malam. (*)
Minuman-minuman seperti tuak, juga minuman bersoda terhidang. Kami bersenda dalam tawa. Apalagi sudah lama tak bersua. Rindu itu terjawab ketika orang-orang di kampung menyapa dengan ramah. Kami adalah orang-orang dari Angan yang hidup merantau. Kami adalah tingo’, begitu orang-orang Angan menyebutnya.
Tingo’ merujuk pada tunggul kayu yang ada di ladang. Tingo’ tinggal di ladang sebagai penjaga. Dia tidak ikut pulang karena hidupnya telah merantau. Nah, filosofi tingo’ di ladang itulah, orang-orang tua dulu menyebut para perantau itu dengan tingo’. Sebutan ini untuk mengganti nama orang yang merantau tersebut, dengan alasan agar tak rindu kampung halaman, terutama mereka yang menempuh pendidikan di perkotaan. Kami adalah tunggul yang tertinggal di luar kampung, menjadi kaum urban.
Para perantau dari Angan Tembawang kerap memilih pulang kampung jika Natal tiba. Vanessa dan Pedagi, contohnya. Keduanya anak yang lahir dari orangtua asal Angan Tembawang yang tinggal di Pontianak, sangat senang kalau diajak pulang kampung. Vanessa bahkan meminta izin pulang lebih awal dari jadwal pulang kedua orangtuanya. Begitu juga Pedagi, adiknya. Vanessa lahir di Pontianak, begitu juga adiknya, Pedagi. Tetapi, jika libur sekolah, keduanya kerap mengajak atau meminta pulang ke Angan.
“Biar enak mandi di sungai,” kata Pedagi memberi alasan.
Kedua orangtuanya tak bisa menolak. Keinginan kuat kedua anaknya tersebut dipenuhi. Pernah satu hari, ketika libur idulfitri, ibunya mengajak berlibur ke pantai di Singkawang. Keduanya menolak. Tidak tahu kenapa menolak. Ketika diajak pulang ke kampung, keduanya mengiyakan. Jadilah mereka pulang kampung. Padahal jalan menuju kampung belum begitu bagus. Jika dari masuk dari Jelimpo, Kabupaten Landak, jalan sudah beraspal walau belum sampai di kampung.
Lokasi Pancui Marage berada di wilayah administrasi Desa Angan Tembawang. Sebuah desa di Kecamatan Jelimpo. Ia masuk Kabupaten Landak. Desa terakhir sebelum memasuki wilayah administrasi Kabupaten Sanggau. Desa Angan Tembawang ini memiliki akses yang cukup dekat Batang Tarang, yang masuk wilayah Kabupaten Sanggau.
Ada tiga pintu masuk ke Angan Tembawang. Dua lewat Batang Tarang, satu lagi lewat Jelimpo. Jika lewat Batang Tarang, Kabupaten Sanggau, bisa juga lewat Jelimpo, Kabupaten Landak. Jika dari Jelimpo, perjalanan agak lebih mudah. Dari Jelimpo yang berjarak tempuh sekitar 12 kilometer itu sudah diaspal sekitar 10 kilometer. Sisanya masih pengerasan. Berharap, tahun-tahun berikutnya aspal sudah bisa hingga pusat desa.
Jika lewat Batang Tarang, rutenya jauh lebih sulit. Jaraknya juga lebih jauh dibandingkanjika lewat Jelimpo. Jalan yang sudah diaspal hanya pada ruas yang menjadi kewenangan Pemkab Sanggau. Itu pun belum seluruhnya. Bahkan sekarang sudah mengalami kerusakan lagi. Terutama pada jalur yang menghubungkan Muya dan Sinto.
Sinto merupakan kampung terakhir yang masuk wilayah Sanggau. Kampung ini berada di atas perbukitan. Jarak kampung ini dengan batas kabupaten hanya sekitar 200 meter. Nah, jarak kampung Sinto dengan Angan Tembawang sekitar lima kilometer. Anak-anak dari Sinto lebih memilih bersekolah di Angan Tembawang.
Ruas jalan Muya menuju Sinto cukup berat. Selain sempit karena kayu-kayu kecil yang tumbuh sepanjang jalan tak dipangkas. Jika menggunakan kendaraan roda empat, akan kesulitan jika berlintasan. Batu-batu kecil dan berukuran sedang memenuhi ruas jalan. Jika hujan, beberapa titik akan licin, juga ada genangan-genangan pada lobang-lobang yang bisa menjebak. Salah sedikit bisa amblas.
Ada dua bukit yang harus ditaklukan pada rute ini. Pertama, orang setempat menyebutnya, Mungu’ Mpales. Jalur ini menanjak sekitar 45 derajat. Cukup panjang. Jika berjalan kaki, waktu tempuh dari kaki hingga puncak bukit bisa memakan waktu sekitar satu jam. Jika menggunakan sepeda lebih lama lagi karena beban mendorong sepedanya. Kalau menggunakan sepeda motor mesti hati-hati.
Ruas jalan menanjak itu mengalami kerusakan yang cukup parah. Ada selokan yang terbuat secara alami karena kikisan air dan menjadi tempat air mengalir jika hujan. Jenis tanah yang lembek akan membuat jalan menjadi licin. Jika ingin melintasinya menggunakan mobil, pastikan mobilnya bergardan ganda. Jika tidak, urungkan saja niat untuk melewati jalur tersebut.
“Sekarang jalur ini semakin sulit dilewati,” kata Yanto, warga asal Sinto.
Lalu ada satu bukitnya. Orang setempat menyebutnya Mungu’ Ilung. Perbukitan ini tidak begitu panjang. Tetapi jalur mendakinya rumit karena di tengah bukit ada tikungan yang cukup tajam, ditambah lagi pada tikungan itu ada titik jalan yang rusak parah. Banyak sepeda motor yang tidak sanggup mendakinya jika membawa muatan, seperti karet atau bahan pangan lainnya, yang hendak dijual di Batang Tarang.
Begitu menuruni Mungu’ Ilung, maka sudah memasuki wilayah Angan Tembawang. Patok batas antardesa sekaligus kabupaten itu, berada di kaki Mungu’ Ilung. Jalur setelah Mungu’ Ilung lebih mudah karena tak ada jalan menanjak yang begitu tinggi. Namun, kerusakan masih terdapat pada semua titik. Hampir tak ada jalur yang bagus. Semuanya hanya pengerasan yang sudah berlangsung sejak lama. Batu-batu kecil, sedang hingga besar mengisi ruas jalan tersebut.
***
Tiga hari sebelum Natal 2018, Kelompok Sadar Wisata Desa Angan Tembawang berbenah. Mereka bekerja memperbaiki beberapa ruas jalan menuju riam yang rusak, memperbaiki jembatan kecil yang menghubungkan sungai kecil di tepian sawah agar kendaraan roda dua bisa leluasa melintas. Mereka juga mempersiapkan lokasi untuk kendaraan bermotor.
Beberapa anggotanya mengangkut pasir dan batu dari sungai untuk menutup bagian lokasi parkir yang tergenang. Beberapa lagi, sedang memotong kayu dan membelahnya, yang dipakai untuk pijakan standar sepeda motor, agar tidak tenggelam ke tanah.
“Kami perkirakan, jumlah pengunjung akan banyak tahun ini. Melihat dari tahun-tahun sebelumnya,” kata Among, Ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Angan Tembawang.
Pada hari-hari menjelang Natal, juga tahun baru, kunjungan ke Riam Angan cukup tinggi. Ada yang sekadar mandi, swafoto, atau menikmati segarnya udara hutan-hutan yang belum terkontaminasi polusi.
Di Angan Tembawang ada air terjun. Orang-orang Angan menamakannya Pancui Marage. Pancui dalam bahasa Be’ Aye – bahasa yang dituturkan orang Angan-berarti pancuran atau air jatuh dari tempat yang lebih tinggi. Marage itu nama lokasinya. Air terjun dan riam ini berada di Sungai Rentawan, yang bermuara di Sungai Landak. Ada empat riam di Pancui Marage-yang kerap dikunjungi-yakni Riam Game’, Riam Bengaris, Riam Along, dan Riam Ango’. Sementara satu lagi, Riam Marage yang berada di hulunya, yang jaraknya cukup jauh dari empat riam sebelumnya.
Belum diketahui secara pasti, mengapa orang-orang Angan menamakan kumpulan riam ini dengan sebutan Pancui Marage. Nama ini kayaknya baru disepakati. Mungkin baru tahun 2016. Bisa jadi nama itu dipilih, agar lebih mudah mengingatnya karena Marage merupakan uncak dari Sungai Rentawan. Nama yang cuku unik dan mudah diingat. Lebih lokalistik. Bernuansa kearifan lokal, istilah orang-orang pintar.
Riam Marage semakin dikenal. Era digital ini, orang-orang yang berkunjung ke tempat itu menjadi promotornya. Mereka memposting lokasi riam yang dikunjungi di laman-laman fesbuk. Banyak pengikutnya yang memberi komentar atau sekadar menekan tombol like. Banyak juga yang datang ke Pancui Marage setelah melihat postingan teman-teman di fesbuk.
Herkulanus Asrin, misalnya. Warga Pontianak ini sengaja meluangkan waktunya untuk berkunjung ke Pancui Marage. Menggunakan sepeda motor, usai mengantar putrinya di Asrama Maniamas, Ngabang, Asrin berkunjung ke Pancui Marage.
“Airnya jernih. Segar. Hutannya juga masih bagus. Semoga tetap terjaga seperti ini,” katanya.
Tak lupa, Asrin berswafoto di riam-riam yang menjadi gugusan Pancui Marage. Ia juga memposting foto-foto itu ke laman fesbuknya.
Banyak yang ingin berkunjung ke tempat itu. Hutan alam yang perawan ditambah lagi kesejukan air dan trip menuju ke tempat itu cukup menantang. Para petualang sangat senang menikmati hutan alam yang masih lebat seperti di Pancui Marage ini.
Tahun baru 2017, pas tanggal satu Januari, Uskup Agung Pontianak Mgr Agustinus Agus meluangkan waktunya untuk melihat dan menikmati riam-riam di Pancui Marage. Ramai orang ikut serta. Dari posting-posting fesbuk, semuanya bergembira. Senang bisa menikmati riam yang tersembunyi di hutan Kalimantan itu. Kemudian, mereka berharap suatu hari nanti bisa kembali ke tempat itu. Mungkin mereka sudah minum airnya sehingga tergoda untuk kembali lagi.
Tempat favorit di Pancui Marage ini ada dua. Pertama, Riam Game’. Riam ini memiliki luncuran, seperti plosotan di Taman Kanak-kanak, dari batu yang terbentuk secara alami selebar dua meter, dengan panjang luncuran sekitar empat meter. Air yang deras dan jernih melintasi batu luncuran itu. Di tempat ini, orang-orang bisa bermain luncuran seperti di Taman Kanak-kanak. Air yang mengalir menjadi pendorong utama.
Di atas luncuran itu ada kolam air yang cukup besar. Ya seperti sebuah teluk yang dalamnya mencapai tiga meteran. Di atas kolam air itu mengalir air dengan deras melintas bebatuan. Bagi yang bernyali atau ingin merasakan sensasi lain, bisa menghanyutkan diri melewati celah-celah batu. Dorongan air yang deras akan membuat tubuh-tubuh orang terombang-ambing seperti menaiki wahana di tempat permainan.
Riam kedua yang jadi favorit para pengunjung adalah Riam Ango’. Ango’ dalam bahasa Be’ Aye bermakna panjang atau tinggi. Iya, Riam ini memiliki air terjun yang cukup tinggi yakni sekitar 10 meter. Jika hujan cukup deras, gemuruh airnya terdengar hingga kampung terdekat, seperti Angan Rampan dan Angan Landak. Jika kemarau, debit airnya berkurang.
Di bawahnya ada sebuah kolam air yang cukup dalam. Arusnya cukup deras. Pengunjung yang belum bisa berenang sebaiknya tidak terjun ke kolam air tersebut. Bagi mereka yang bisa berenang, tempat ini mengasyikan. Pengunjung juga bisa berada di bawah air yang terjun. Merasakan sensasi ditimpa air terjun dari ketinggian 10 meter. Wuiiihhh, sedaaapp. Sejuuuukkk….
Sedangkan dua riam lainnya, yakni Bengaris dan Alokng, kurang diminati. Riam Bengaris hanya berupa kolam besar saja. Jika ingin berenang tanpa arus yang kuat, Riam Bengaris boleh menjadi destinasinya. Sementara Riam Alokng hanya berupa kolam kecil yang dalamnya mencapai sepuluh meteran. Sangat jarang orang mandi atau berenang di riam ini.
Menurut cerita, Riam Alokng ini memiliki mistis. Bahkan cenderung menjadi tempat yang sakral. Warna airnya sangat gelap. Dia merupakan kolam yang kiri dan kanannya berdinding bebatuan. Cahaya matahari sangat sulit masuk ke Riam Alokng karena tertutup perpohonan. Hal ini membuat Riam Alokng menjadi gelap seperti hari menjelang malam. (*)