Di Warung Kopi, Kami Ngobrol Tentang Cerita Pendek
Sore
sebelumnya, Elling bertandang ke rumah. “Nak nyari es lonang,” tulis Elling
dalam pesan japri yang disertai dengan emoticon menutup mulut tersebut. Saya
balas dengan emoticon tertawa. Elling sedang bercanda. Dan, Elling benar-benar
ke rumah. Dia hanya menemukan es cincau kaleng. Hahaha…
Tak mendapat
respon atas japri peta google, pukul 18.31, Elling malah mengirim foto
sastrawan Bumi Lelabi Putih. Kalian pasti tahu kan? Tak mudah berjumpa dengan
sastrawan yang juga guru ini. Domisilinya jauh: Kayong Utara. Ke Pontianak,
kalau ada urusan kedinasan. Nah, kalau ke Pontianak, selalu luangkan waktu
untuk sekadar jumpa teman sambil ngobrol tak tentu rudu. Tentu lebih banyak
ngobrol soal sastra.
Ketika Elling
ke rumah, saya memang cerita kalau sang sastrawan masih di Pontianak, bolehlah
kita kongkow di warung kopi. Kiriman japri peta google dan foto itu memberikan pesan
kepada saya, “Yok, kita ngopi.” Sekira pukul 18.15, saya meluncur ke lokasi
seperti yang peta google itu. Tapi saya kelewatan hingga ke Jalan Alianyang.
Ketika Elling mengirim foto tuan sastra itu, saya sedang dalam perjalanan.
“Aku dah di
Alianyang.”
“Eh, ngape
ke situ?” Elling membalas, “Ujung dr Sutomo, lampu merah perempatan dansen.”
Saya balik
kanan. Ah, rupanya dua sastrawan terkeren di jagat Borneo Barat itu sudah
anteng duduk di sebuah warkop. Jadilah kami bertiga di warkop itu. Ya, ngobrol tak
tentu rudu pun dimulai. Saya memesan air jahe hangat. Elling dengan sisa kopi
di cangkir yang sudah hampir habis. Penyair dari Bumi Lelabi Putih dengan botol
mineral yang sudah kosong.
Saya
belajar banyak dari dua orang itu soal sastra. Terutama cerita pendek. Penikmat
cerita pendek mestinya tahu siapa Elling. Lelaki Tanjung Nipah yang konsisten
menulis cerpen dengan materi lokal. Kompas cetak secara khusus memberinya ruang
di rubrik sosok untuk Elling. Sejak 1992, lebih dari tiga dekade, Elling sudah
menulis lebih dari 400 cerpen. Dia pernah menulis puisi, tetapi tidak
berterima. Dia pernah berniat menulis novel, tapi juga tidak berterima.
“Passion-mu
bukan di puisi dan novel, Elling!”
Saya pertama
ketemu Elling ketika hadir dalam sebuah kegiatan Balai Bahasa Kalbar. Ia mengenakan
sarung dan blangkon di kepala. Style budaya jawa. Kami tak ngobrol lama. Saya yang
sejak beberapa tahun belakangan mengasuh halaman koran, yang isinya cerita
pendek dan puisi. Pada beberapa kiriman, saya membaca cerpen yang dikirim oleh
Elling. Unik memang. Berbeda dengan cerpen dari pengirim lainnya. Elling
mengeksplorasi hal-hal terdekat. Ia mengedepankan lokalitas. Dan, konsisten
pada tiap cerpen yang ditulis.
Pada suatu
ketika Elling bilang, “Siapa lagi yang mau mengenalkan tempat (daerah) kita
kepada orang, kalau bukan kita.” Itu dibuktikan dia lewat cerpen yang kerap
dikirim ke redaksi media. Kini dia cukup banyak mementori para cerpenis. Emak-emak
yang hobi menulis kerap berkonsultasi dengan Elling soal cerpen. Elling tak
pelit ilmu. Ia senang berbagi.
Obrolan kami
soal cerpen malam itu harus berakhir. Hampir pukul sepuluh malam, kami bubar. Tentu,
pada hari lain, akan berjumpa lagi. Tentu saja, akan ngobrol tak tentu rudu,
hingga cerita tentang cerita pendek.
Halaman
Belakang, 4 Januari 2023