Di Warung Kopi, Kami Ngobrol Tentang Cerita Pendek

Warung, kopi, kami, cerita, pendek, cerpen, elling, ngobrol, sastra, warung kopi, kami cerita, cerita pendek, kami ngobrol tentang, tentang cerita


Elling mengirim lokasi lewat pesan pribadi aplikasi Whatapps. Metadata waktu menunjukkan pukul 16.21. Sepertinya lokasi di peta google itu berada di warung kopi di Jalan Soetomo atau Jalan Pangeran Natakusuma. Saya tak merespon kiriman peta google itu. Bahkan emoticon jempol pun tak saya kirim sebagai tanda respon atas pesan japri itu. Tapi saya paham maksud Elling.

Sore sebelumnya, Elling bertandang ke rumah. “Nak nyari es lonang,” tulis Elling dalam pesan japri yang disertai dengan emoticon menutup mulut tersebut. Saya balas dengan emoticon tertawa. Elling sedang bercanda. Dan, Elling benar-benar ke rumah. Dia hanya menemukan es cincau kaleng. Hahaha…

Tak mendapat respon atas japri peta google, pukul 18.31, Elling malah mengirim foto sastrawan Bumi Lelabi Putih. Kalian pasti tahu kan? Tak mudah berjumpa dengan sastrawan yang juga guru ini. Domisilinya jauh: Kayong Utara. Ke Pontianak, kalau ada urusan kedinasan. Nah, kalau ke Pontianak, selalu luangkan waktu untuk sekadar jumpa teman sambil ngobrol tak tentu rudu. Tentu lebih banyak ngobrol soal sastra.

Ketika Elling ke rumah, saya memang cerita kalau sang sastrawan masih di Pontianak, bolehlah kita kongkow di warung kopi. Kiriman japri peta google dan foto itu memberikan pesan kepada saya, “Yok, kita ngopi.” Sekira pukul 18.15, saya meluncur ke lokasi seperti yang peta google itu. Tapi saya kelewatan hingga ke Jalan Alianyang. Ketika Elling mengirim foto tuan sastra itu, saya sedang dalam perjalanan.

“Aku dah di Alianyang.”

“Eh, ngape ke situ?” Elling membalas, “Ujung dr Sutomo, lampu merah perempatan dansen.”

Saya balik kanan. Ah, rupanya dua sastrawan terkeren di jagat Borneo Barat itu sudah anteng duduk di sebuah warkop. Jadilah kami bertiga di warkop itu. Ya, ngobrol tak tentu rudu pun dimulai. Saya memesan air jahe hangat. Elling dengan sisa kopi di cangkir yang sudah hampir habis. Penyair dari Bumi Lelabi Putih dengan botol mineral yang sudah kosong.

Saya belajar banyak dari dua orang itu soal sastra. Terutama cerita pendek. Penikmat cerita pendek mestinya tahu siapa Elling. Lelaki Tanjung Nipah yang konsisten menulis cerpen dengan materi lokal. Kompas cetak secara khusus memberinya ruang di rubrik sosok untuk Elling. Sejak 1992, lebih dari tiga dekade, Elling sudah menulis lebih dari 400 cerpen. Dia pernah menulis puisi, tetapi tidak berterima. Dia pernah berniat menulis novel, tapi juga tidak berterima.

Passion-mu bukan di puisi dan novel, Elling!”

Saya pertama ketemu Elling ketika hadir dalam sebuah kegiatan Balai Bahasa Kalbar. Ia mengenakan sarung dan blangkon di kepala. Style budaya jawa. Kami tak ngobrol lama. Saya yang sejak beberapa tahun belakangan mengasuh halaman koran, yang isinya cerita pendek dan puisi. Pada beberapa kiriman, saya membaca cerpen yang dikirim oleh Elling. Unik memang. Berbeda dengan cerpen dari pengirim lainnya. Elling mengeksplorasi hal-hal terdekat. Ia mengedepankan lokalitas. Dan, konsisten pada tiap cerpen yang ditulis.

Pada suatu ketika Elling bilang, “Siapa lagi yang mau mengenalkan tempat (daerah) kita kepada orang, kalau bukan kita.” Itu dibuktikan dia lewat cerpen yang kerap dikirim ke redaksi media. Kini dia cukup banyak mementori para cerpenis. Emak-emak yang hobi menulis kerap berkonsultasi dengan Elling soal cerpen. Elling tak pelit ilmu. Ia senang berbagi.

Obrolan kami soal cerpen malam itu harus berakhir. Hampir pukul sepuluh malam, kami bubar. Tentu, pada hari lain, akan berjumpa lagi. Tentu saja, akan ngobrol tak tentu rudu, hingga cerita tentang cerita pendek.

Halaman Belakang, 4 Januari 2023

LihatTutupKomentar
Cancel