Tuhan di Antara Tawa dan Luka
[Foto: Ilustrasi]
"Pada mulanya adalah Sabda, dan Sabda itu
bersama-sama dengan Allah..."
Mikael membaca Yohanes 1:1 dengan suara pelan, duduk bersandar di bangku kayu dekat taman pastoran. Angin sore membawa wangi kembang sepatu dan suara anak-anak OMK berlatih lagu pujian.
"Aku pikir kamu udah lupa cara buka Alkitab," suara Clara datang dengan senyum sarkastis.
Mikael menoleh, menutup Alkitabnya dengan pelan. "Aku mungkin mundur dari seminari, tapi aku nggak pernah mundur dari Sabda. Dia masih tinggal di sini," katanya sambil menunjuk dadanya.
Clara duduk di sebelahnya, merapikan rambutnya yang tertiup angin. "Tapi kamu nggak pernah kelihatan di pendalaman Kitab Suci. Udah tiga tahun BKSN, kamu hilang."
"Aku sibuk ngajarin filsafat. Nietzsche lebih cerewet dari Paulus," Mikael terkekeh, lalu menambahkan, "Tapi Sabda bukan cuma untuk dibaca, Clara. Ia untuk dihidupi... meskipun kadang lewat jalan yang bengkok."
Clara menatapnya lama. "Dan kamu pikir jalanmu lurus-lurus saja?"
Sebelum Mikael sempat menjawab, muncul Pastor Rafael dengan langkah ringan. "Aduh, ini dua orang favorit saya sedang berdebat teologi atau diskusi mantan pacar lama?"
Mereka tertawa. Suara tawa itu seperti sejenak mengusir bayang-bayang luka yang tersembunyi.
"Padahal saya dulu berharap Mikael yang mimpin BKSN tahun ini," kata Pastor Rafael. "Tapi dia lebih sibuk jadi Socrates Katolik."
"Aku cuma takut salah tafsir, Romo," kata Mikael, pura-pura serius. "Kalau baca Kitab Suci terlalu dalam, bisa-bisa malah mengklaim tahu pikiran Tuhan."
"Bagus! Itu namanya takut akan Tuhan, awal dari segala hikmat," jawab Pastor Rafael sambil mengedip. "Tapi jangan lupa: iman tanpa komunitas itu kayak misa tanpa umat—sunyi."
---
Malam itu, Mikael duduk di kamarnya, menatap salib di dinding. Kilasan masa lalu menari di matanya—ruang adorasi di seminari, malam-malam gelisah, dan keputusan keluar yang tak pernah benar-benar selesai dipahami.
Tuhan, apa Kau masih bersamaku ketika aku memilih keluar?”
Lingkungan itu sedang meriah. Panggung sederhana dipasang, Alkitab dihias, dan Tomas—yang super enerjik—mengatur OMK untuk drama Kitab Suci.
"Bang Mikael! Jadi kamu akhirnya mau bantu pendalaman BKSN?!" teriak Tomas.
"Aku hanya datang untuk melihat. Dan... mungkin jadi komentator filsafat di belakang layar."
Clara menghampiri. Wajahnya serius. "Mikael, kamu nggak bisa terus berdiri di luar dan menilai dari kejauhan. Sabda itu hidup saat kita masuk ke dalam kisahnya. Bukan cuma jadi penonton."
Mikael menatap Clara, seperti ingin menjawab sesuatu, tapi yang keluar justru gurauan, "Kalau Sabda itu hidup, semoga dia nggak alergi sama skeptis seperti aku."
Clara menahan senyum. "Kalau Yesus bisa duduk makan dengan pemungut cukai, Dia juga nggak bakal keberatan ngopi bareng filsuf gagal."
---
Mikael akhirnya duduk bersama kelompok. Awalnya diam, tapi saat ayat Lukas 10:38-42 tentang Marta dan Maria dibacakan, dia tak tahan untuk bicara.
"Aku rasa kita semua pernah jadi Marta—sibuk dalam kegiatan rohani tapi lupa untuk duduk diam seperti Maria."
Seseorang bertanya, "Lalu bagaimana menyeimbangkan keduanya?"
Mikael menjawab, perlahan, "Mungkin dengan menyadari bahwa mendengarkan Sabda itu bukan soal berhenti beraktivitas, tapi hadir penuh dalam setiap tindakan. Sabda itu bukan hanya didengar di kapel, tapi juga di dapur, di pasar, di jalanan."
Clara mengangguk, matanya bersinar. Tapi kemudian bertanya, lirih, "Kalau Sabda itu selalu hadir, kenapa kamu pergi dari hidup yang dulu? Dari jalan panggilanmu?"
Suasana hening.
Mikael menarik napas. "Karena aku takut. Takut bahwa aku hanya mencintai panggilan itu, tapi belum mencintai Tuhan dengan cukup jujur. Aku memilih pergi... bukan karena aku benci gereja, tapi karena aku belum sanggup mencintai-Nya tanpa syarat."
Romo Rafael yang duduk di belakang tersenyum. "Dan tetap kamu kembali, meski bukan sebagai frater, tapi sebagai saudara yang membawa hikmat dari pergulatan. Tuhan tak pernah menghapus panggilan. Dia hanya mengalihkannya ke medan baru."
Setelah pendalaman selesai, Tomas mendekat ke Mikael.
"Bang, kamu tahu nggak, cara kamu bicara tadi kayak Santo Agustinus. Tapi versi yang lebih galau."
Mereka tertawa.
Mikael menjawab, "Agustinus pernah bilang, 'Hatiku gelisah sebelum beristirahat dalam-Mu.' Mungkin kita semua, termasuk kamu, masih dalam tahap gelisah."
Clara tersenyum tipis. "Gelisah itu rahmat, asal nggak kamu jadikan alasan untuk lari terus."
Mikael menatap langit malam. "Aku nggak lari lagi. BKSN ini... semacam ziarah batin. Mungkin bukan kebetulan kita semua di sini. Sabda itu benar-benar hidup, Clara."
Pastor Rafael berseru dari kejauhan, "Kalau kamu udah bisa bicara kayak begitu, berarti kamu siap mimpin kelompok minggu depan!"
Mikael menjawab cepat, "Asal Romo yang masakin makan malamnya!"
"Hahaha! Romo bisa masak mi instan pakai doa Rosario!"
Tawa meledak di udara malam. Tapi di balik tawa itu, tersimpan damai yang lahir dari perjumpaan: antara kata dan jiwa, antara luka dan Sabda, antara panggilan dan kenyataan.(*)