Sayap yang Tak Kembali
[Foto: Ilustrasi]
Di lembah subur Kampung Bahau Mului, di mana
kabut turun perlahan setiap pagi dan nyanyian burung enggang menyatu dengan
desir angin hutan, berdirilah sebuah rumah panjang. Di sinilah cerita bermula, dari
seorang pemuda bernama Jatuq, anak kepala adat, pewaris darah tua Dayak Kenyah.
Ayahnya, Batoq Langit, dihormati seluruh kampung. Ia adalah pria dengan sorot mata tajam dan senyuman lambat yang seperti datang dari masa lalu. Namun sejak kematian istri tercinta, Batoq Langit sering termenung di beranda, memandangi langit yang jauh, seakan menanti enggang datang membawa pesan leluhur.
Sore itu, Jatuq duduk bersila di dekat tungku, bersama sahabatnya yang jenaka, Ulung, yang sejak kecil selalu bersamanya, seperti bayangan yang tak bisa diusir.
"Jatuq, kau pikir suara enggang itu apa? Leluhur bersin? Atau mereka ribut di langit karena kehabisan tuak?" kata Ulung.
Jatuq terkekeh, meski senyumnya tak sampai ke mata.
"Kalau pun benar, mungkin mereka bersidang. Menentukan apakah aku layak jadi penerus ayahku… atau lebih cocok jadi penjual gelang di pasar hulu," ungkap Jatuq.
Ulung merendahkan suara, menyenggol bahu Jatuq.
"Atau jadi penyair yang gagal. Kau lebih sering bicara pada hutan daripada pada manusia," ujar Ulung.
"Karena manusia terlalu banyak berbicara, tapi tak mendengar."
Mereka diam sejenak. Di kejauhan, enggang melintas. Sayapnya mengepak pelan, bayangnya menari di pucuk-pucuk pohon. Bagi Dayak, itu pertanda: tamu agung, kabar leluhur, atau kadang... peringatan.
Malamnya, suara gendang memanggil. Rapat adat diadakan. Kepala-kepala kampung berkumpul di rumah panjang. Di tengah-tengah mereka, Batoq Langit berdiri. Gagah meski tubuhnya tak lagi muda.
"Sudah tiba waktunya. Aku akan menyerahkan tongkat ke Jatuq. Tapi hanya jika ia mampu membawa Enggang turun dalam mimpinya. Kalau tidak... ia belum layak," kata Batoq Langit.
Semua mata memandang Jatuq. Beberapa dengan hormat. Beberapa... dengan keraguan.
"Tak semua darah bisa menanggung langit, Jatuq. Enggang hanya turun pada mereka yang mampu memikul makna: kesetiaan, kemuliaan, keberanian," ungkap Tetua Benak.
Jatuq menunduk. Ia merasa dadanya sesak. Mampukah ia membawa simbol leluhur dalam mimpinya? Apa makna dari semua ini, ketika dunia luar sudah mencibir adat sebagai sisa masa silam?
Setelah pertemuan, ia bergegas ke bukit suci, Gunung Humaq Batu, tempat biasanya para leluhur menampakkan diri dalam mimpi. Ulung mengikutinya.
"Kau mau menantang enggang di bukit? Kalau aku, lebih baik mimpi makan ikan bakar tiga ekor," kata Ulung.
"Diamlah. Kalau aku gagal, aku takkan pernah bisa duduk di sisi ayahku," ungkap Jatuq.
"Lalu kenapa harus duduk di sisi siapa-siapa? Kau bisa duduk di sisi dirimu sendiri."
Jatuq memandang sahabatnya. Kata-kata itu terdengar seperti gurauan, tapi mengguncang sesuatu dalam dirinya. Siapa yang ia kejar? Harapan ayahnya? Atau keinginan masyarakat? Atau... rasa bersalah pada ibunya yang tak pernah sempat ia jaga?
Di atas bukit, malam turun perlahan. Jatuq menutup mata. Angin dingin menari di rambutnya. Dan dalam tidur, enggang datang. Tapi bukan membawa damai, melainkan luka.
Ia melihat ibunya menangis. Di bawah pohon besar, tubuh ibunya terbujur. Suara enggang menggelegar, tapi Jatuq tak bisa mendekat. Di antara mereka, ada dinding dari kabut dan bisikan.
"Kau ingin jadi pelindung, tapi kau bahkan tak bisa menjaga satu nyawa. Kepemimpinan bukan warisan darah. Ia adalah luka yang disembuhkan, bukan dibenamkan," suara leluhur menggema.
Jatuq terbangun dengan napas memburu. Ulung duduk di dekatnya, menatapnya dengan sorot penuh tanya.
"Kau bermimpi?" tanya Ulung.
"Enggang datang. Tapi ia tak memberiku tongkat. Ia memberiku... beban,” jawab Jatuq.
Saat kembali ke kampung, Jatuq menemui ayahnya. Mereka duduk berdua di beranda rumah panjang. Tak ada kata-kata untuk waktu lama, hanya suara bambu beradu dan serangga malam.
"Mengapa ibu mati sendiri di rumah, Ayah? Mengapa kau biarkan dia tanpa siapa-siapa?"
Batoq Langit terdiam. Dadanya naik turun.
"Karena aku memilih rapat adat saat itu. Aku memilih rakyat. Dan kehilangan rumahku sendiri."
Jatuq memalingkan wajah. Matanya panas.
"Lalu kenapa sekarang kau mendorongku menempuh jalan yang sama?"
"Karena aku berharap kau bisa memilih lebih baik dari aku."
Diam. Berat. Tapi tulus.
"Kau tak harus menjadi aku. Tapi jika enggang memanggilmu, jangan tutup telingamu."
Tiga hari kemudian, upacara dilangsungkan. Jatuq berdiri di tengah lingkaran tetua, di depan patung Enggang raksasa. Di hadapannya, bulu ekor enggang diserahkan. Biasanya simbol keberhasilan. Tapi ia angkat tangan.
"Aku belum layak menerima ini," kata Jatuq.
Desah terdengar dari masyarakat. Bahkan Ulung tampak terkejut.
"Aku melihat mimpi. Tapi bukan kemenangan. Aku melihat luka yang belum sembuh. Ibuku. Ayahku. Aku. Kami semua luka yang menari dalam adat."
"Jika aku diberi waktu, aku ingin menyembuhkan dulu. Bukan untuk diriku, tapi untuk kami semua."
"Maka engkau... lebih layak dari yang kau kira," kata Tetua Benak.
Bulu enggang dikembalikan ke altar. Tak ada penobatan hari itu. Tapi dalam senyap, enggang terbang melintas langit kampung, dan kabut pun menyingkir perlahan.
Beberapa minggu kemudian, Jatuq terlihat memahat kayu di bawah rumah panjang. Ia membuat ukiran enggang, bukan sebagai simbol kekuasaan, tapi sebagai tanda ingatan. Ulung datang membawa tuak.
"Kau tahu, kalau enggang itu tahu kau tolak penobatan, mungkin dia akan gugat kau ke pengadilan leluhur."
"Semoga saja mereka belum tahu cara bikin undang-undang."
"Atau mereka justru akan pilih kau jadi presiden langit. Karena kau satu-satunya yang menolak kekuasaan."
Mereka tertawa. Batoq Langit berdiri di kejauhan, memandang anaknya yang kini tak hanya menjadi pewaris, tapi pengurai luka masa silam.(*)