Tulang Belian Hati Anak Seminari

[Foto: Freepik/Freepik]

Angin sore menyusup melalui celah dinding rumah betang milik Amai Jusup. Di luar, suara burung enggang bersahutan dengan tawa anak-anak yang mandi di sungai. Di dalam rumah, dua orang laki-laki duduk bersila menghadap tungku.

Salah satunya, berusia sekitar 60 tahun, berjanggut putih seperti akar beringin tua, adalah Amai Jusup sendiri. Di depannya, duduk Adrianus, putranya yang baru kembali dari seminari Katolik di Pontianak.

“Jadi, kau mau tinggalkan semuanya demi jubah?” tanya Amai Jusup sambil menyeruput kopi yang hitam legam.

Adrianus tersenyum tipis. “Aku tidak meninggalkan, Amai. Aku justru pulang untuk menyatukan.”

“Huh, menyatukan katanya.” Amai mendengus. “Lalu adat ini kau apakan? Roh leluhur? Tempat-tempat keramat? Kau pikir mereka bisa dibaptis juga?”

Suasana hening sejenak. Api di tungku berderak. Di luar, terdengar suara peluit Mama Lena, ibu Adrianus, memanggil ayam.

“Amai,” jawab Adrianus perlahan. “Aku tidak datang membawa perang. Aku hanya ingin belajar berdamai. Dari kalian, dari kampung ini.”

Amai Jusup berdiri, berjalan pelan ke arah dinding, lalu menunjuk pada ukiran kayu bergambar enggang dan pohon ulin. “Dulu, sebelum kau tahu kata ‘Injil’, kau tahu arti ini. Pohon ulin itu lambang kekuatan. Tapi dia tumbuh lambat. Kayunya keras, tapi butuh waktu untuk jadi. Begitu juga manusia. Kalau terlalu cepat memilih, bisa patah seperti kayu ramin.”

Adrianus memandang ayahnya dengan mata yang sedikit berkaca. “Amai, justru karena itu aku kembali. Aku ingin menjadi ulin, bukan ramin.”

Tiba-tiba terdengar suara tawa keras dari arah pintu. Yulita, adik perempuan Adrianus, masuk dengan membawa seikat daun singkong.

“Halah, dua filsuf kampung berdebat lagi,” katanya sambil meletakkan daun di atas lantai kayu. “Kalau kalian jadi ulin semua, siapa yang mau jadi sapi pengangkut beban? Ulin kan diam saja, keras kepala!”

Adrianus tertawa, dan Amai ikut tersenyum meski tetap muram.

“Aku tidak menentang jalanmu, Adrianus,” kata Amai akhirnya. “Tapi jangan jadikan kami korban pemurnianmu.”

Malam itu, suasana rumah betang berubah menjadi pertemuan keluarga. Lilin-lilin menyala, dan bau kemenyan serta damar memenuhi udara. Seperti biasa, setiap malam Jumat, Mama Lena mengajak keluarga berdoa bersama. Tapi malam ini, ada yang berbeda.

Adrianus membawa salib kecil yang dibawanya dari Pontianak. Saat dia meletakkannya di meja, Amai Jusup memandang dengan tajam.

“Ini rumah Dayak, bukan kapel Katolik.”

“Dan salib ini tidak membawa perang, Amai. Ini hanya tanda bahwa kasih bisa hidup di mana saja.”

Mama Lena memotong ketegangan dengan cepat. “Sudah. Kita berdoa. Tapi jangan lupa adat. Habis doa Katolik, tetap tabur beras di pelangkahan.”

Yulita berbisik pada Adrianus. “Mama itu kayak pendingin udara. Kalau Amai nyala terus, dia tinggal tekan tombol adem.”

Mereka tertawa kecil.

Selesai doa dan tabur beras di pelangkahan rumah, Amai Jusup akhirnya duduk di samping Adrianus.

“Anakku,” katanya lirih. “Dulu waktu kau lahir, aku menebang pohon belian dan menanamnya sebagai penanda. Kini kau kembali dengan salib di tangan. Aku bertanya dalam hatiku, apa masih ada roh kampung di dadamu?”

“Amai, apakah roh kampung hanya hidup dalam adat dan kayu?” balas Adrianus. “Atau ia juga hidup dalam kasih, pengorbanan, dan kesetiaan? Bukankah itu juga ajaran nenek moyang?”

Amai menghela napas panjang.

“Darah kita darah ramin, mudah patah saat muda. Tapi kalau dirawat, bisa kuat. Tapi hati-hati, Adrianus. Jangan jadikan imanmu palu yang memecahkan yang tidak sepaham.”

“Dan jangan jadikan adat sebagai penjara yang mengunci cinta,” balas Adrianus pelan.

Keesokan harinya, rombongan dari kota datang. Pastor Lukas dari Pontianak datang berkunjung ke kampung, ingin berbicara dengan tokoh adat. Adrianus bertugas menjembatani.

Pertemuan berlangsung di balai adat. Amai Jusup, sebagai tetua kampung, berdiri di depan rombongan.

“Selamat datang, Pastor,” katanya tegas. “Kampung kami tidak menolak Tuhan. Tapi jangan ajari kami melupakan leluhur.”

Pastor Lukas tersenyum. “Tuhan yang kami sembah, bukan Tuhan yang mencabut akar. Tapi Tuhan yang menumbuhkan cabang dari akar yang sudah ada.”

Amai memandang Adrianus. “Kau ajarkan itu padanya?”

“Dia yang ajarkan padaku, Amai,” jawab Adrianus.

Suasana jadi ringan. Yulita, yang ikut hadir, menyela, “Wah, akhirnya ada yang lebih keras kepala dari Amai. Tapi lebih bijak sedikit.”

Semua tertawa. Termasuk Amai Jusup.

Beberapa minggu kemudian, di bawah pohon belian yang dulu ditanam Amai saat kelahiran Adrianus, digelar upacara kecil, Adrianus diberi restu adat untuk kembali ke Pontianak dan melanjutkan panggilan hidupnya sebagai calon imam.

“Jangan lupakan kampung ini,” kata Amai sambil menggenggam tangan putranya.

“Tak akan, Amai. Aku adalah tulang belian dari tanah ini.”

Mama Lena memeluknya, matanya berkaca. Yulita tersenyum lebar sambil berbisik, “Kalau nanti jadi pastor, jangan lupa doakan kakakmu ini cepat laku.”

Adrianus tertawa, “Yang penting, calon suamimu bukan roh hutan ya!”

“Kalau pun iya, yang penting bukan pastor,” balas Yulita cepat.

Tawa meledak. Di bawah pohon belian, keluarga itu berdiri bersama. Tak sempurna, tapi saling menerima. Tak seragam, tapi saling mengasihi.(*)

LihatTutupKomentar
Cancel