Suara dari Tembawang

[Foto: Ilustrasi]

Kabut pagi menyelimuti Kampung Tewang Kandang. Udara lembap, daun-daun pisang bergemerisik diterpa angin, dan suara burung enggang terdengar jauh dari ujung hutan. Rian berdiri di serambi rumah panjang, menatap matahari yang malu-malu naik dari balik pepohonan.

Remaja berumur tujuh belas tahun itu menghela napas panjang. “Aneh, di sini tak ada sinyal,” gumamnya sambil memandang ponsel yang hanya menampilkan ikon silang.

Dari dapur, suara tawa neneknya, Ine Aju, terdengar. “Sinyal di sini bukan dari tiang besi, cucu. Tapi dari bumi dan langit. Kalau kau mau dengar, kau akan dapat kabar dari pohon, dari air, dari burung di atas.”

Rian tersenyum kecut. “Nenek bercanda, ya?”

Ine Aju menatapnya dengan mata keriput yang masih tajam. “Kau orang kota, ya. Semua dianggap bercanda kalau tak bisa masuk layar.”

Suara tawa mereka menyatu dengan desau daun.

Hari itu, Rian berjalan bersama Lau, sepupunya yang sebaya, ke arah tembawang, hutan kebun peninggalan leluhur. Lau membawa parang di pinggang, sementara Rian hanya menenteng botol air.

“Jadi ini yang kalian sebut tembawang?” Rian bertanya. “Kelihatannya cuma hutan.”

Lau terkekeh. “Cuma hutan? Kau tahu, tembawang itu bukan sekadar pohon tumbuh. Di sini, ada arwah leluhur, ada benih kehidupan. Tiap pohon ditanam dengan doa.”

Rian mengangkat alis. “Kau percaya begitu?”

“Kalau tak percaya, kenapa kita masih hidup sampai sekarang?” jawab Lau santai. “Lihat pohon durian itu. Nenek bilang, dulu kakek menanamnya waktu baru menikah. Sekarang buahnya buat kita. Itulah waktu yang dipelihara.”

Rian terdiam sejenak. Ia menyentuh kulit kasar batang durian tua itu. Rasanya hangat. Entah kenapa, dadanya terasa bergetar aneh.

“Kalau di kota,” katanya pelan, “waktu rasanya malah dikejar-kejar.”

Lau menatapnya. “Di sini, waktu menunggu kau siap.”

Sore itu, mereka duduk di pinggir sungai yang airnya bening. Lau mencuci tangan, sementara Rian menatap bayangan dirinya di air.

“Lau,” katanya tiba-tiba. “Aku bingung. Di kota, aku merasa bebas. Tapi di sini, aku malah merasa... pulang. Padahal aku tak pernah tinggal di sini.”

Lau tersenyum kecil. “Pulang bukan soal tempat, Rian. Pulang itu saat jiwamu kenal sesuatu, meski matamu baru pertama kali melihatnya.”

Rian menatap sungai. Seekor ikan kecil melintas, menggetarkan permukaan air.

“Tapi kalau semua orang kota kembali ke sini, apa kampungmu masih tenang?” tanya Rian.

“Itu dia,” jawab Lau. “Kami butuh orang seperti kau juga. Yang tahu kota, tapi masih ingat akar.”

Malamnya, mereka duduk di dekat api unggun di halaman rumah panjang. Orang-orang kampung sedang menumbuk padi, anak-anak berlari sambil membawa obor kecil. Rian ikut menatap nyala api.

Ine Aju duduk di sampingnya, memegang rokok daun. “Kau tahu, cucu, dulu kakekmu pernah bilang: manusia dan hutan itu saudara. Kalau hutan hilang, manusia pun kehilangan darahnya.”

Rian menatap api yang berkilat di matanya. “Tapi di kota, orang menebang pohon demi rumah. Demi hidup.”

Ine Aju menghela napas pelan. “Hidup yang mana, cucu? Kalau untuk hidup kau membunuh sumber hidup, itu bukan hidup, itu bertahan sambil sekarat.”

Rian diam. Api itu seperti bicara padanya.

Keesokan harinya, Rian dan Lau kembali ke tembawang. Hujan turun pelan, mengalir di daun-daun besar. Di antara suara hujan, Rian mendengar sesuatu, samar, seperti nyanyian.

“Kau dengar itu?” tanya Rian.

Lau menoleh. “Apa?”

“Suara seperti... orang bernyanyi.”

Lau tertawa kecil. “Itu mungkin burung tingang, atau bisa juga hutan sedang senang karena hujan.”

Rian menggeleng, setengah percaya setengah bingung. “Di kota, yang bisa nyanyi cuma manusia.”

“Di sini,” jawab Lau, “semua bernyanyi. Kau cuma belum belajar mendengarnya.”

Menjelang sore, mereka menemukan sebatang pohon besar tumbang melintang di jalan. Akar-akar besarnya mencuat, memperlihatkan tanah merah yang basah.

“Sayang sekali,” kata Rian, “padahal besar sekali.”

Lau menunduk. “Ini bukan sekadar tumbang, Rian. Ini tanda.”

“Tanda apa?”

“Tanda bahwa kita mulai lupa menjaga.”

Rian memegang batang pohon itu. Di kulit kayu yang pecah, ada bekas gergaji. “Ada orang yang menebang.”

Lau menatapnya tajam. “Itulah manusia yang haus. Mereka tak lagi dengar suara tembawang.”

Rian menatap hutan yang tiba-tiba terasa lebih sunyi.

Malamnya, Rian tak bisa tidur. Ia mendengar suara serangga dan air dari kejauhan. Pikirannya melayang. Ia merasa bersalah, entah kenapa. Ia teringat kata-kata nenek: “Kalau hutan hilang, manusia kehilangan darahnya.”

Keesokan paginya, ia mendatangi Lau. “Aku ingin bantu bersihkan tembawang,” katanya.

Lau menatapnya heran. “Kau? Anak kota yang takut pacet?”

Rian tertawa kecil. “Anggap saja latihan jadi Dayak sungguhan.”

Mereka tertawa bersama, tawa yang jujur dan ringan. Tapi di mata Rian, ada semangat baru, semangat yang belum pernah ia rasakan di kota.

Beberapa hari berlalu. Rian belajar menebas semak, menanam bibit durian, dan menimba air dari sumur bambu. Tangannya lecet, kulitnya terbakar matahari. Tapi di wajahnya ada senyum yang tulus.

Suatu sore, ia berkata pada Lau, “Lucu ya. Di kota, aku punya segalanya tapi merasa kosong. Di sini, aku punya sedikit, tapi rasanya penuh.”

Lau menjawab sambil menatap senja. “Karena di sini, yang kau dengar bukan bising. Tapi sunyi yang bicara.”

Hari terakhir sebelum kembali ke kota, Ine Aju memberinya seikat daun lawang dan sebungkus tanah dari tembawang.

“Bawa ini,” kata sang nenek. “Kalau hatimu gelisah di kota, ciumlah tanah ini. Ia akan mengingatkanmu pada asalmu.”

Rian menerima dengan mata yang hangat. “Terima kasih, Nek.”

Ine Aju tersenyum. “Ingat, cucu. Hutan bukan hanya rumah pohon. Ia rumah jiwa. Jangan jadi manusia yang kehilangan rumah.”

Saat perahu motor melaju di sungai menuju kota, Rian menatap ke belakang. Tembawang semakin jauh, tapi hatinya terasa dekat. Ia menggenggam kantong tanah di dadanya.

Dalam hembusan angin, seolah terdengar suara: “Kalau kau sudah tahu suara kami, jangan lagi berpura-pura tuli.”

Rian menutup mata. Ia tahu, sebagian dirinya telah tinggal di sana, di antara akar-akar pohon dan nyanyian hujan.

Dan di dalam hatinya, ia berjanji: akan kembali, bukan sekadar berlibur tapi menjaga.(*)

LihatTutupKomentar
Cancel