Cinta yang Ditulis di Anyaman Rotan

Foto: Ilustrasi

Angin sore dari hutan merambat lembut ke tepian sungai. Air Kapuas mengalir pelan, memantulkan cahaya jingga matahari yang merunduk. Di tepiannya, sebuah rumah betang berdiri gagah dengan ukiran naga dan burung enggang. Di situlah, Langit sedang menumbuk padi bersama ibunya, Ina Jujur.

“Langit, hati-hati menumbuk. Jangan kau pukul batu, nanti berasnya menangis,” ucap Ina sambil tersenyum.

Langit terkekeh. “Beras menangis? Itu kata siapa, Ina?”

Ina menatapnya dalam. “Kata para tetua. Segala yang berasal dari bumi punya jiwa. Kalau kau tidak lembut, alam pun bisa menolakmu.”

Langit terdiam. Di kejauhan, suara motor tempel mendekat. Ia menoleh. Seorang perempuan berambut pirang turun dari perahu, langkahnya mantap meski lumpur menempel di sepatunya.

“Langit!” teriak Bapa Jaya, kepala kampung, dari arah belakang. “Itu bule dari Jerman yang kuceritakan kemarin. Namanya Elena. Katanya dia ingin belajar budaya kita.”

Langit menatap sosok itu dengan rasa ingin tahu. Elena menatap sekeliling dengan mata berbinar, lalu menunduk memberi hormat seperti yang diajarkan di buku panduannya.

“Selamat sore... eh, selamat... petang?” ucapnya terbata-bata.

Bapa Jaya tertawa. “Kau cepat belajar. Tapi lidahmu belum kenal dengan sungai ini.”

Elena tersenyum malu. “Saya mau belajar. Saya ingin tahu apa artinya hidup bersama alam seperti orang Dayak.”

Langit menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Kalau ingin tahu hidup bersama alam, kau harus tahu bagaimana rasanya kehilangan.”

Elena tertegun. “Kehilangan?”

Ina Jujur menimpali lembut, “Anakku ini baru kehilangan ayahnya. Tahun lalu, ayahnya pergi bersama arus banjir yang tak pulang lagi.”

Keheningan turun sejenak. Angin sore seakan ikut menunduk.

Elena sudah mulai terbiasa hidup di betang. Ia belajar menenun rotan, mandi di sungai, bahkan ikut upacara adat yang sakral. Tapi di balik tawa dan semangatnya, hatinya bergetar setiap kali melihat Langit duduk sendiri di bawah pohon ulin.

Suatu sore, ia mendekat.

“Elena,” panggil Langit tanpa menoleh, seolah tahu langkahnya.

“Kau tahu namaku bahkan sebelum aku bicara,” kata Elena kagum.

Langit tersenyum tipis. “Hutan selalu memberi tahu. Suaramu berbeda dari daun yang jatuh.”

Elena terkekeh. “Kau terdengar seperti penyair.”

“Bukan,” jawab Langit, menatap sungai. “Aku hanya mendengar apa yang kau tak bisa lihat.”

Mereka terdiam, mendengarkan suara burung dan desir air.

“Aku ingin tinggal di sini, Langit,” ujar Elena tiba-tiba. “Aku merasa jiwaku tenang.”

Langit memandangnya. “Tinggal di sini bukan hanya soal ketenangan. Ini tentang menerima bahwa hutan bisa memelukmu, tapi juga bisa menelammu.”

Elena menatapnya lekat-lekat. “Kau takut aku tak kuat?”

“Aku takut kau datang hanya karena keindahan, bukan karena pengertian.”

Elena menggigit bibirnya. “Aku tidak datang untuk foto-foto, Langit. Aku datang karena aku ingin mengerti... termasuk mengerti kamu.”

Langit terdiam. Angin sore membawa aroma tanah basah. Ia tahu, dalam kata “mengerti” itu tersimpan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa ingin tahu.

Malam itu mereka berkumpul di depan api unggun. Bapa Jaya bercerita tentang roh penjaga hutan, sementara anak-anak tertawa mendengar candanya.

“Elena,” ujar Bapa Jaya, “kau tahu, orang Dayak percaya bahwa roh leluhur bisa menuntun kita ke jodoh yang sejati.”

Elena tersenyum lebar. “Oh, jadi kalau saya jatuh cinta pada Langit, itu mungkin karena roh leluhur?”

Semua orang tertawa, kecuali Langit yang tersedak air minumnya.

“Eh, tidak! Maksud saya... mungkin saja roh leluhur suka bercanda,” tambah Elena cepat.

Ina Jujur ikut terkekeh. “Roh leluhur pun bisa punya selera humor, Nak.”

Namun setelah tawa mereda, Langit memandang Elena serius. “Cinta itu bukan sesuatu yang bisa dipelajari seperti bahasa atau tarian. Ia seperti sungai, kadang jernih, kadang keruh, tapi selalu mengalir ke tempat yang ditentukan.”

Elena menatapnya. “Mungkin sungai kita sama, Langit. Hanya saja airku datang dari jauh.”

Langit menunduk, menahan senyum kecil. “Air dari jauh kadang membawa lumpur. Tapi mungkin, lumpur pun bisa menyuburkan tanah.”

Langit dan Elena semakin dekat. Mereka menelusuri hutan, menulis catatan budaya, dan menertawakan kesalahpahaman bahasa.

Suatu hari, saat mereka menyeberangi jembatan bambu, Langit bertanya, “Mengapa kau ingin menikah dengan orang Dayak, Elena?”

Elena berhenti. “Karena aku ingin hidup dengan orang yang bisa berbicara dengan alam. Di negeriku, kami berbicara dengan mesin.”

Langit tertawa kecil. “Kalau begitu, mesinmu akan cemburu pada hutan.”

“Tapi hutan tak akan marah jika aku mencintainya,” balas Elena cepat.

Langit menatapnya, lalu berkata pelan, “Tapi apakah kau siap mencintai hutan saat ia membisu? Saat ia mengambil apa yang kau sayangi?”

Elena terdiam lama. “Aku tidak tahu. Tapi aku ingin belajar dari kamu.”

Langit menatap matanya lama, lalu tersenyum. “Kau gila, Elena.”

Elena tertawa keras. “Sedikit kegilaan kadang perlu untuk mengerti kebenaran.”

Malam itu hujan besar datang. Sungai meluap, beberapa rumah di tepi betang tergenang. Langit bersama warga berusaha menolong. Elena, yang ikut menyalakan obor, hampir tergelincir ke sungai.

Langit menarik tangannya. “Kau gila! Ini bukan waktunya main air!”

Elena berteriak, “Aku tidak main! Aku ingin bantu!”

“Aku tak mau kehilangan lagi!” suara Langit pecah di tengah gemuruh hujan.

Elena membeku. Ia menatap wajah Langit yang basah, penuh amarah dan takut.

Lalu perlahan, ia menggenggam tangan Langit erat-erat.

“Aku tak akan pergi seperti ayahmu, Langit,” katanya lembut. “Aku datang bukan untuk mengganggu, tapi untuk menjadi bagian dari sungai ini.”

Langit menatapnya. Di matanya, ada badai dan ketenangan yang bertarung. Lalu, ia menarik Elena ke pelukannya.

Hujan turun lebih deras, tapi bagi mereka, malam itu seperti baptisan: air sungai yang menyatukan dua jiwa dari dua dunia.

Beberapa bulan kemudian, di bawah langit biru dan tabuhan gong, upacara kecil digelar. Elena mengenakan baju tradisional Dayak, di lengannya terukir tato burung enggang, simbol jiwa yang bebas namun setia pada langit.

Bapa Jaya berujar, “Kau bukan lagi perempuan dari negeri salju. Kau kini bagian dari sungai ini.”

Elena tersenyum pada Langit. “Aku tidak tahu apakah roh leluhur benar menuntunku ke sini... tapi kalau iya, aku ingin berterima kasih.”

Langit menatapnya lembut. “Mungkin bukan roh yang menuntunmu. Mungkin sungai yang memanggilmu.”

Mereka tertawa kecil. Suara burung enggang menggema di kejauhan, seolah mengamini.(*)

LihatTutupKomentar
Cancel