Nyanyian Jubata dari Bukit Angin

[Foto: Ilustrasi]

Kabut pagi masih menggantung di atas  Kampung Tembawang Tujuh, ketika bunyi  gong tua memecah hening. Di pelataran rumah betang,  Apai Galang, tetua kampung, berdiri dengan mata terpejam, menggumamkan mantra. Di hadapannya, seekor ayam putih mengelilingi sesajen yang terdiri dari nasi kopal, beras kuning, dan bunga langak.

“Ayam ini tak tahu bahwa hari ini ia jadi utusan,” celetuk Kila, pemuda kampung yang terkenal suka bergurau.

Jaya, adiknya, menoleh sambil menyikut.

“Jangan main-main. Hari ini ritual besar. Jubata bisa tersinggung.”

“Kalau Jubata setuju dengan gurauan, barangkali Dia juga sedang tertawa sekarang,” jawab Kila santai, meski matanya ikut memandang khusyuk pada ritual Ngampar Bide.

Apai Galang membuka mata.

“Anak muda,” ucapnya dengan suara serak namun mantap. “Tertawa boleh, tapi jangan lupa, di balik setiap canda, ada ruh yang mendengar.”

Kila menunduk, setengah malu, setengah tertawa.

Tiga hari sebelum upacara, hujan turun di luar musim. Air sungai naik, ikan-ikan mati mengapung di permukaan. Beberapa warga mengeluh sakit, panas tak kunjung reda.

“Itu pertanda,” ujar Apai Galang di balai adat. “Kita harus minta izin. Jangan sembrono dengan tanah tempat kita berpijak.”

Di antara para warga, Mak Naya, seorang janda tua yang keras kepala, berdiri.

“Dulu juga banjir, tapi tak perlu upacara segala. Sekarang, tiap ada batuk pilek sedikit, langsung cari ayam putih!”

Tawa beberapa warga pecah. Namun, Nini Uyung, istri Apai Galang, menimpali dengan lembut.

“Dulu kita masih akrab dengan hutan, dengan sungai. Sekarang kita terlalu banyak menolak alam, lupa menunduk kepada tanah. Ini bukan soal ayam, Mak Naya. Ini soal ingatan.”

Usai rapat adat, Kila dan Jaya duduk di tepi Huma Tapang, lahan nenek moyang yang dulu luas, kini tinggal setengah.

“Kadang aku bingung,” kata Jaya sambil melempar batu kecil ke sungai. “Kita ini minta perlindungan pada alam, tapi setiap hari kita siksa dia.”

Kila tersenyum miris.

“Makanya manusia itu lucu. Kita minta maaf, lalu besoknya kita tebang pohon lagi. Seperti pacar yang selingkuh tapi bilang masih cinta.”

Mereka tertawa, namun suara tawa itu cepat larut dalam keheningan.

“Menurutmu, Jubata masih mau dengar doa kita?” tanya Jaya.

“Kalau Jubata menyerah, mungkin sudah lama kampung ini tenggelam,” jawab Kila. “Tapi mungkin, yang sudah menyerah itu kita.”

Malam menjelang. Api unggun dinyalakan di halaman rumah betang. Kali ini, bukan hanya Ngampar Bide, tapi Nyapet juga dilakukan, sebagai tolak bala terhadap penyakit yang menyebar diam-diam.

Kila duduk bersama Apai Galang yang sedang menyiapkan nasi purut.

“Apai,” tanya Kila pelan, “kenapa kita tetap lakukan ini meski banyak yang tak percaya lagi?”

Apai Galang menatap langit.

“Karena doa bukan hanya untuk yang percaya. Tapi juga untuk yang lupa.”

Ia menaburkan nasi purut ke angin, lalu berkata, “Sumangat orang kampung ini mulai pudar. Mereka saling curiga, saling jauh. Ritual ini bukan sekadar sesajen. Ini tali yang menyambung sumangat kita.”

Kila terdiam. Ia tahu, maksud Apai lebih dalam dari sekadar doa. Ini tentang luka-luka lama yang tak sembuh, perpecahan karena tanah warisan, anak-anak yang tak pulang, orang tua yang ditinggal mati dalam sepi.

Keesokan paginya, saat Bide digelar, anyaman tikar dari daun pandan, suasana mulai ramai. Namun di balik itu, terjadi perdebatan kecil.

“Kenapa harus ayam putih? Kalau tak ada, kenapa tak pakai ayam kampung biasa saja?” tanya Jaya pada Apai.

“Karena putih itu lambang kesucian, permohonan, niat bersih,” jawab Apai sabar.

“Lalu kalau niat kita tak bersih tapi ayamnya putih?” sindir Jaya.

Mak Naya yang lewat, nyeletuk, “Kalau begitu, suruh saja ayam yang memimpin kampung ini. Dia lebih suci dari kita!”

Tawa kembali pecah. Bahkan Apai pun ikut tertawa kecil.

Namun dari kejauhan, Mara, putri tunggal almarhum mantan kepala adat, berkata lirih,

“Yang paling suci kadang bukan ayam atau tikar, tapi keikhlasan yang kita sembunyikan di hati.”

Kila menoleh padanya.

“Kadang aku curiga kamu penyamun yang menyamar jadi penyair.”

Mara tersenyum. “Kalau aku penyamun, mungkin yang aku curi duluan itu hatimu.”

Mereka saling tatap, lalu tertawa.

Sore itu, saat ayam disembelih dan darahnya dipercikkan ke tanah, Kila mendekat kepada Apai Galang.

“Aku ingin tahu... apa benar, darah bisa jadi perantara?”

Apai mengangguk. “Darah adalah wujud paling jujur dari hidup. Ia tak bisa berpura-pura. Maka roh leluhur akan mengerti.”

Tiba-tiba Jaya masuk, wajahnya cemas. “Mara pingsan di belakang betang!”

Semua berlari. Ternyata Mara kelelahan dan belum makan sejak pagi. Kila mendekat, memangku kepala Mara.

“Kenapa kau puasa hari ini?” tanya Kila pelan.

Mara membuka mata setengah sadar. “Karena... aku ingin ikut merasakan lapar yang kalian beri pada ayam kurban...”

Kila menahan napas. Apai berdiri di belakang mereka, mengangguk perlahan.

“Anak ini,” katanya, “telah mengerti arti pengorbanan.”

Malam terakhir ritual. Gong dipukul tiga kali, tanda doa telah naik ke langit. Warga mulai bubar, namun langit tetap gelap, awan menggantung.

Namun tepat tengah malam, hujan turun pelan-pelan. Tak deras. Tapi lembut, seolah mencuci dosa-dosa yang tersisa.

Apai Galang berdiri di pelataran rumah betang, menatap langit. Kila berdiri di sampingnya.

“Apai,” katanya, “kalau ritual ini tak berhasil, apa yang akan kita lakukan?”

Apai menjawab, “Kita ulang lagi. Sebab yang gagal bukan ritualnya, tapi hati kita yang belum selesai berdamai.”

Jaya datang, menggoda, “Atau mungkin Jubata masih tertawa karena Kila terus menggoda Mara.”

Kila menoyor kepala Jaya.

“Daripada kau, yang tiap malam menggoda bantal!”

Tawa mengalir, ringan, hangat, seperti aliran sungai yang tenang setelah badai reda.

Seminggu kemudian, penyakit mulai mereda. Hujan turun teratur. Pohon-pohon kembali hijau. Tapi yang paling terasa bukan hanya alam yang membaik, melainkan tatapan warga yang mulai ramah, tawa yang kembali terdengar, dan doa yang tak lagi malu-malu diucapkan.

Kila menatap huma dari bukit, bersama Mara.

 “Jubata mungkin tidak tinggal di langit,” kata Kila.

Mara menoleh, “Lalu di mana?”

“Di antara tangan yang saling membantu, dan hati yang belajar memaafkan.”

Mara tersenyum.(*)

LihatTutupKomentar
Cancel