Tugal di Atas Arang

[Foto: Ilustrasi]

Angin pagi menyusup di antara batang kayu yang baru ditebang. Asap masih mengepul tipis dari sisa pembakaran lahan kemarin. Bau arang dan tanah basah mengisi udara. Di tengah ladang, terlihat Tayan, lelaki paruh baya dengan dada terbuka, menancapkan tugal ke tanah hitam.

“Tugal ini, Yan,” kata Dara, adiknya yang lebih muda, “bukan cuma lubang untuk padi. Itu lubang untuk doa juga.”

Tayan berhenti, menatap adiknya. Wajahnya penuh arang, tapi matanya tajam.

“Kau mulai lagi dengan filsafatmu itu?” ia terkekeh pelan, lalu menancap tugal lebih dalam. “Nanti kau bilang tanah ini punya roh, terus kita harus bisik-bisik.”

“Memang!” jawab Dara cepat. “Jangan sembarangan. Kau lupa Bojah Losu minggu lalu? Kita sudah panggil roh padi, tapi kau tetap berteriak-teriak macam orang main sabung ayam!”

Tayan tertawa keras. Tapi di balik tawanya, ada getir yang tersimpan.

“Aku tidak sedang menantang roh padi, Dar,” katanya pelan. “Aku cuma sedang menantang hidup.”

***

Seminggu sebelumnya, mereka memulai penebasan. Semak belukar dibersihkan, dan batang kayu diruntuhkan satu demi satu. Semuanya dilakukan dengan gotong-royong. Tayan, yang baru kembali dari kota setelah tujuh tahun, menjadi bahan canda warga kampung.

“Eh, kota buatmu putih, Yan. Tapi ladang bikin kulitmu laki-laki lagi!” celetuk Jungkai, teman lamanya, sambil tertawa.

“Kalau kau mau putih terus, tinggal saja di kota! Jadi artis!” tambah Liau, sambil memamerkan gigi yang ompong satu.

Tayan hanya tersenyum tipis. Ia tahu mereka bercanda. Tapi tak semua candaan bisa menutupi jarak yang telah tumbuh selama ia meninggalkan kampung, terutama dengan ayahnya, Pak Alut, tokoh adat yang keras dan penuh prinsip.

“Kau dulu lari dari ladang. Sekarang kau balik mau panen apa?” kata Pak Alut waktu mereka pertama kali bertemu lagi.

“Aku tidak lari, Bapak. Aku mencari cara lain menanam hidup,” jawab Tayan.

Ladang telah ditebang dan dikeringkan. Tiba saatnya pembakaran. Prosesi dilakukan dengan hati-hati, sesuai adat. Api dinyalakan dari arah timur, mengikuti arah matahari. Asap mengepul, menari-nari di udara. Ada doa yang dilantunkan dalam bahasa Dayak Mali.

Dara berdiri di samping Tayan.

“Kau tahu kenapa kita bakar dari timur?” tanya Dara.

“Supaya hantu barat tidak ikut panen?” jawab Tayan, nyengir.

Dara menyikut perutnya. “Kita mulai dari arah datangnya cahaya. Karena yang ditanam di tanah ini bukan cuma padi, tapi harapan.”

“Dan kenangan yang hangus juga?” Tayan membalas lirih.

Mereka terdiam. Dalam diam itu, tercium aroma masa lalu. Dulu, di ladang yang berbeda, mereka menanam bersama ibu mereka, sebelum ibu pergi bersama air banjir yang datang tanpa ampun.

Saat penanaman tiba, semua turun ke ladang. Ibu-ibu menyanyi nyanyian tua. Anak-anak berlarian membawa kantong benih. Tayan dan Dara bekerja bersama: satu melubangi tanah, satu lagi menabur padi.

“Dulu, waktu kecil, Ibu bilang setiap benih harus ditanam dengan senyum,” kata Dara.

“Karena senyum itu pupuk paling awal?” balas Tayan.

“Karena hidup ini terlalu sering digaruk luka. Kalau menanam pun kau marah, lalu kapan kau damai?”

Tayan terdiam. Ia menancap tugal lebih pelan. Di sela-sela itu, mereka bertukar gurauan dengan Jungkai dan Liau.

“Yan, kalau kau salah tugal, nanti padi tumbuh miring kayak hatimu tuh, miring ke kota!” teriak Liau.

“Tenang saja,” balas Tayan. “Kalau miring, kita makan nasi sambil berdiri. Biar seimbang!”

***

Tiga bulan berlalu. Padi mulai menguning. Ladang menjadi lautan emas yang bergoyang saat angin datang. Tapi di balik keindahan itu, konflik lama muncul lagi. Pak Alut tiba-tiba datang ke ladang, berdiri di pinggir pasah tana.

“Kau masih belum mengerti, Yan,” katanya tanpa basa-basi. “Berladang itu bukan sekadar tanam dan panen. Ini urusan menjaga hubungan kita dengan alam. Dengan leluhur. Dengan yang gaib. Kau terlalu banyak hitung-hitungan kota.”

“Aku sudah kembali ke tanah ini, Pak,” balas Tayan. “Aku tak butuh dihitung. Aku hanya ingin dihargai.”

Pak Alut menatap putranya. Wajah tuanya keras, tapi matanya seperti sedang mencari jawaban yang lama hilang.

“Kalau begitu,” katanya pelan, “buktikan. Jangan hanya datang saat panen. Tapi juga jaga pasah tana-mu. Menjaga bukan cuma supaya padi tak dimakan burung. Tapi supaya jiwamu juga tidak dimakan kesombongan.”

Tayan menunduk. Dara menepuk bahunya, pelan.

***

Di malam sebelum panen, dilakukan upacara jelang panen. Tayan berdiri bersama warga lain, di tengah nyanyian dan tabuhan gendang.

Salah satu tetua adat, Nini Kelam, memercikkan air ke atas padi sambil menggumamkan mantra.

“Padi ini, punya mata, punya telinga,” bisik Nini Kelam. “Jangan kau bersiul, jangan kau berteriak. Ia bisa pergi kalau hatimu kotor.”

Tayan memejamkan mata. Ia mendengar desir padi, seolah mereka sedang berbisik satu sama lain.

“Kau ingin kami tumbuh? Maka tumbuhkan dulu hatimu.”

Musim panen datang. Semua bekerja sambil tertawa. Karung demi karung padi dikumpulkan. Lumbung kampung terisi.

Di tengah semua itu, Pak Alut datang ke pasah tana yang dibangun Tayan. Ia duduk di samping anaknya. Lama mereka terdiam.

“Dulu, aku terlalu keras, Yan,” katanya. “Aku kira laki-laki harus jadi batu. Tapi mungkin, lebih baik jadi tanah. Menyerap luka, dan memberi hidup.”

“Dan aku terlalu ingin jadi api, Pak,” balas Tayan. “Membakar yang tak kupahami. Tapi aku lupa, api juga bisa membentuk abu yang menyuburkan.”

Mereka tertawa kecil.

“Jadi, kita ini sekarang tanah atau api?” tanya Pak Alut.

“Kita ini tugal, Pak. Kadang menusuk, tapi membuka jalan bagi benih.”

Di ujung ladang, Dara menulis sesuatu di tanah dengan ranting:

“Padi yang tumbuh, tidak lupa tanahnya. Orang yang pulang, tidak lupa jalannya.”

LihatTutupKomentar
Cancel