Bayangan Tangkitn di Ambang Senja

[Foto: Ilustrasi]

Matahari baru saja menggantung malas di atas cakrawala, mewarnai langit Desa Teluk Naga dengan jingga keemasan. Kabut tipis masih berarak di permukaan Sungai Kapuas, menyelimuti deretan rumah panggung kayu ulin yang tegak kokoh di tepiannya. Dari salah satu rumah, asap tipis mengepul dari dapur, menguar aroma kopi hitam dan singkong rebus yang baru diangkat.

Di balai desa, Pak Jaga, Kepala Adat yang bijaksana dengan rambut memutih dan sorot mata tajam, sedang berbincang serius dengan Pamaliatn Tua, Inyik Dara.

Wajah Inyik Dara yang keriput dipahat oleh waktu dan pengalaman, namun matanya masih memancarkan kekuatan yang tak tergoyahkan. Di samping mereka, duduklah seorang pemuda bernama Rangga, dengan tatapan gelisah yang sulit disembunyikan.

 “Inyik, sudah tiga hari Rara demam tak kunjung turun. Badannya kurus kering, seolah jiwanya dihisap makhluk halus,” suara Pak Jaga berat, penuh kekhawatiran. Rara adalah cucu kesayangan Pak Jaga, gadis cilik yang biasanya ceria, kini terbaring lemah.

Inyik Dara mengangguk pelan, jemarinya memutar-mutar untaian manik-manik tua yang melingkari pergelangan tangannya.

“Jiwa itu seperti angin, Pak Jaga. Dia berhembus, dia pergi, dia kembali. Terkadang, karena benturan batin, angin itu tersesat.”

Ia melirik Rangga yang sejak tadi menunduk. “Ada apa, Rangga? Mengapa matamu seperti melihat hantu di siang bolong?”

Rangga mendongak, wajahnya pias. “Aku… aku merasa bersalah, Inyik. Aku sempat bertengkar hebat dengan Rara tiga hari yang lalu. Tentang mainan kayu yang kubuat untuknya. Dia tidak suka, lalu kami saling membentak. Setelah itu, dia jatuh sakit.”

Inyik Dara tersenyum tipis, senyum yang jarang terlihat namun penuh makna. “Ah, begitu rupanya. Kau kira pertengkaran itu yang membuat jiwanya pergi? Manusia memang suka menunjuk jari pada hal-hal kasat mata. Padahal, seringkali yang tidak terlihatlah yang paling berpengaruh.”

 “Maksud Inyik?” tanya Rangga bingung.

 “Jiwa itu, Rangga, tidak mudah pergi hanya karena sebatang kayu atau sepatah kata. Dia pergi karena keseimbangan dalam dirinya terganggu. Mungkin hatinya terlalu rapuh menerima benturan, atau mungkin ada bisikan lain dari alam yang membuatnya linglung. Pertengkaranmu hanyalah percikan api, bukan badai utamanya.” Inyik Dara menghela napas.

“Tapi baiklah, demi Rara, kita akan lakukan Baliatn malam ini. Aku akan mencari sumangat-nya.”

Pak Jaga langsung berdiri. “Terima kasih, Inyik. Kami akan persiapkan segala sesuatunya.”

Malam itu, Desa Teluk Naga diselimuti aura sakral. Di balai desa, api unggun menyala terang, menerangi wajah-wajah penduduk yang berkumpul dengan khidmat. Aroma kemenyan dan sesajen memenuhi udara.

Di tengah lingkaran, Inyik Dara telah berganti pakaian adatnya, kain tenun ikat yang kaya warna melilit tubuh ringkihnya, dihiasi kalung manik-manik dan bulu burung enggang. Di tangannya, ia memegang tangkitn, bilah kayu panjang dengan ujung pipih yang dihiasi ukiran.

Musik gendang dan suling mulai mengalun perlahan, mengisi keheningan malam. Inyik Dara memejamkan mata, kepalanya sedikit mendongak, seolah berbicara dengan sesuatu yang tak terlihat. Kemudian, ia mulai bergerak.

Kakinya mengentak-entak tanah, mengikuti irama musik yang semakin cepat. Gerakan tangkitn-nya luwes, mengayun ke kiri dan ke kanan, seolah menebas jalan di tengah belantara gaib.

Rangga duduk di antara kerumunan, menyaksikan setiap gerakan Inyik Dara dengan tatapan penuh takjub dan sedikit takut. Di sampingnya, Panyampakng, seorang pria paruh baya bernama Bakuh, duduk bersila, siap menerjemahkan pesan-pesan dari Inyik Dara jika diperlukan.

Tiba-tiba, Inyik Dara mengeluarkan suara-suara aneh, seperti gumaman panjang yang bercampur dengan lolongan lirih. Tubuhnya bergetar hebat. Bakuh mendekat, menempelkan telinganya.

“Dia… dia sedang berbicara dengan roh penjaga hutan,” bisik Bakuh kepada Pak Jaga. “Dia mencari jejak sumangat Rara yang hilang.”

Entakan kaki Inyik Dara semakin keras, seolah ia sedang berlari menembus alam lain. Tangkitn-nya diayunkan dengan kecepatan tinggi, menciptakan desir angin yang misterius. Wajahnya berkeringat, namun matanya masih terpejam erat, menunjukkan fokus yang luar biasa.

Beberapa jam berlalu. Suasana semakin tegang. Tiba-tiba, Inyik Dara jatuh berlutut, napasnya tersengal-sengal. Tangkitn terlepas dari tangannya. Bakuh segera mendekat.

 “Apa yang Inyik lihat?” tanya Bakuh, suaranya pelan.

Inyik Dara perlahan membuka matanya. Pandangannya kosong sejenak, lalu perlahan kembali fokus.

“Sumangat Rara… dia tidak jauh. Terperangkap di antara dua dunia. Dia terkejut, merasa tidak diinginkan. Seperti anak sungai yang jernih, dia terlalu mudah keruh karena lumpur kecil.”

Rangga sontak merasa disambar petir. Tidak diinginkan? Apakah ini karena pertengkaran mereka?

Inyik Dara menoleh ke arah Rangga. “Kau, anak muda. Apa yang kau rasakan di hatimu saat bertengkar dengan Rara?”

Rangga menunduk. “Aku… aku marah. Merasa jerih payahku membuatkan mainan tidak dihargai.”

 “Dan Rara?”

 “Dia… dia bilang aku pemarah. Tidak mau mendengarkan.”

Inyik Dara menghela napas panjang. “Itulah dia. Dua hati yang sama-sama keras, menolak untuk saling memahami. Sumangat Rara mencari ketenangan, dan ketika ia tidak menemukannya, ia memilih bersembunyi. Alam tidak membedakan besar kecilnya sebuah konflik, Rangga. Yang penting adalah getaran yang ditimbulkan. Getaran negatif sekecil apapun bisa mengganggu keseimbangan.”

Pak Jaga mengangguk. “Jadi, apa yang harus kita lakukan, Inyik?”

 “Kita harus memanggil sumangat-nya kembali dengan kebaikan. Dengan pengakuan. Dengan tawa.” Inyik Dara bangkit berdiri, meskipun agak limbung.

“Rangga, kau harus berbicara padanya. Bukan dengan kata-kata penyesalan yang mendayu, tapi dengan janji tawa dan kebahagiaan.”

Pagi berikutnya, Rangga mendatangi rumah Pak Jaga. Rara masih terbaring lemah, namun demamnya sedikit mereda. Rangga duduk di samping ranjang Rara, memegang tangan mungilnya yang dingin.

 “Rara…” panggil Rangga pelan. “Kakak minta maaf soal mainan itu. Kakak tahu Kakak salah. Kakak terlalu egois dan tidak mau dengar kemauanmu.”

Rara tidak merespons, hanya menatap kosong ke langit-langit.

 

Rangga menarik napas dalam-dalam. Ia teringat kata-kata Inyik Dara: "janji tawa dan kebahagiaan."

 “Tapi tahu tidak, Ra?” Rangga mencoba mengubah nada suaranya menjadi lebih ceria, meskipun hatinya perih.

“Waktu Kakak buat mainan itu, Kakak membayangkan kamu tertawa. Kakak bahkan hampir memotong jariku sendiri waktu pahatannya meleset. Lalu, Pak Jaga datang dan bilang, ‘Wahai Rangga, jangan kau potong jarimu, nanti siapa yang akan memetik durian untuk cucuku yang cantik ini!’” Rangga menirukan suara Pak Jaga dengan intonasi kocak.

Sebuah sudut bibir Rara berkedut tipis.

Rangga melanjutkan, semangat.

“Dan tahu tidak? Kemarin, waktu Inyik Dara Baliatn, dia mengentak-entak seperti mau menari poco-poco. Untung tangkitn-nya tidak dipakai untuk menebas pohon pisang Pak Jaga, bisa gawat!”

Kali ini, Rara tertawa kecil, suara tawa yang begitu dirindukan. Meskipun lemah, tawa itu bagai embun pagi yang menyirami hati Rangga. Air mata haru membasahi pipinya.

 “Rara, kakak janji. Nanti kalau kamu sudah sembuh, Kakak akan buatkan mainan apa saja yang kamu mau. Mau perahu dari kulit durian? Atau rumah-rumahan dari daun pisang? Atau mungkin patung Pak Jaga sedang tidur mendengkur? Dijamin lebih bagus dari yang kemarin!” Rangga membumbuinya dengan gurauan.

Rara kembali tertawa, kali ini lebih lepas. Wajahnya mulai merona.

Beberapa hari kemudian, Rara sudah bisa duduk dan makan. Demamnya hilang sepenuhnya. Senyum cerianya kembali menghiasi Desa Teluk Naga.

Inyik Dara datang menjenguk. Ia menatap Rara, lalu beralih ke Rangga. “Lihatlah, Rangga. Sumangat itu sudah kembali. Bukan karena mantra atau tarian semata, tapi karena ada niat baik dan pengakuan yang tulus. Manusia seringkali lupa, bahwa obat paling mujarab adalah hati yang lapang dan lidah yang tak enggan meminta maaf.”

Rangga mengangguk, hatinya dipenuhi rasa syukur.

“Aku mengerti, Inyik. Aku belajar banyak. Konflik itu seperti lumpur di sungai, dia akan selalu ada. Tapi kejernihan airnya tergantung seberapa cepat kita mengendapkan lumpur itu.”

Inyik Dara tersenyum.

“Betul sekali. Hidup ini adalah tentang menyeimbangkan. Antara memberi dan menerima, antara marah dan memaafkan, antara bising dan hening. Seperti alam, dia mengajarkan kita bahwa setiap badai pasti berlalu, dan setelahnya, akan selalu ada pelangi.”

Di kejauhan, Pak Jaga berjalan mendekat sambil membawa buah durian. “Nah, ini dia pemetik durianku yang tangannya utuh! Dan ini dia cucuku yang sudah sehat!”

Ia tertawa renyah, menciptakan melodi kebahagiaan yang menyebar ke seluruh penjuru desa. Di tepi Sungai Barito, angin berhembus lembut, seolah ikut menari merayakan kembalinya sebuah jiwa yang damai.(*)

LihatTutupKomentar
Cancel