Rajah di Tubuh Ayah

[Foto: Freepik/@rawpixel.com]

Sungai Kapuas mengalir tenang, menyapu tepi-tepi hutan yang masih perawan. Di sana, di sebuah kampung kecil di pedalaman Kalimantan, kehidupan sehari-hari masih dipenuhi dengan suara alam, suara kicau burung, gemericik air, dan gelegar tawa anak-anak yang berlari di tanah yang subur.

Namun, di balik keindahan itu, ada kisah yang tersembunyi, kisah tentang kehidupan seorang lelaki tua dan tubuhnya yang penuh dengan rajah, yang menjadi saksi bisu perjalanan panjang dan tak selalu indah.

Usang, lelaki yang kini telah berusia senja, duduk di beranda rumahnya yang sederhana. Wajahnya sudah keriput, matanya tajam memandang dunia meski tubuhnya lemah. Tubuhnya yang kurus dan dipenuhi tato menceritakan lebih banyak daripada sekadar garis dan simbol. Setiap goresan adalah cerita, setiap gambar di kulitnya adalah kenangan akan perjuangan yang telah dilalui.

Anaknya, Lian, seorang pemuda yang baru saja pulang setelah bertahun-tahun merantau, duduk di samping ayahnya. Lian menatap tubuh ayahnya yang dipenuhi tato, namun tak pernah ia benar-benar bertanya tentangnya.

Sejak kecil, ia sering mendengar cerita tentang rajah-rajah itu, tetapi tidak pernah ada satu pun cerita yang benar-benar bisa membuatnya memahami apa yang tersimpan di balik setiap goresannya.

"Ayah, kenapa tubuhmu penuh dengan gambar-gambar itu? Apa yang sebenarnya ada di balik rajah-rajah ini?" Lian memecah keheningan.

"Gambar-gambar itu lebih banyak bicara daripada aku, Nak. Mereka adalah catatan perjalanan hidupku, setiap langkah yang kuambil. Rajah ini, seperti sungai yang mengalir, selalu mengingatkan kita pada waktu yang tak pernah bisa kembali," kata Usang tertawa kecil, suaranya penuh keriput.

"Tapi... kenapa tidak pernah Ayah bercerita lebih banyak padaku? Aku sudah lama merantau, Ayah, dan aku tak tahu banyak tentang masa lalu Ayah," ujar Lian tersenyum cemas.

"Bukan karena aku tak ingin bercerita, Lian. Tapi, seperti sungai yang tak pernah berhenti mengalir, ada banyak kenangan yang terlalu berat untuk diceritakan. Setiap rajah ini adalah luka, dan luka itu tak selalu bisa sembuh dengan kata-kata," sahut Usang menghela napas.

"Tapi, Ayah, aku ingin tahu! Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu. Tentang semua yang terjadi," kata Lian dengan suara sedikit marah.

Usang memandang anaknya dengan tatapan yang dalam. Ia tahu, anaknya sudah dewasa, sudah siap untuk mendengar. Namun, tak semua cerita bisa disampaikan dengan mudah.

"Baiklah, Nak. Kalau kamu benar-benar ingin tahu, aku akan ceritakan. Di sini, di tubuh ini, ada gambar burung enggang. Itu adalah simbol kebebasan, harapan yang tak pernah terwujud. Dahulu, aku ingin terbang jauh, menjelajahi dunia. Tapi tak semua impian bisa terwujud, Lian. Kehidupan ini selalu menuntut pengorbanan," Usang memberi penjelasan.

Lian memandang tatapan ayahnya, ada kesedihan yang mendalam di sana, namun juga kekuatan yang sulit dijelaskan. Lian tahu, rajah-rajah itu bukan hanya sekadar gambar; mereka adalah bagian dari perjalanan hidup ayahnya yang penuh liku.

"Kenapa Ayah tak pernah mencoba mewujudkan impian itu? Kenapa tetap tinggal di sini, di kampung ini?" tanya Lian dengan suara pelan.

"Mimpiku itu memang besar, Nak. Tapi tak semua hal bisa kita kontrol. Ketika aku muda, aku juga berpikir bisa melangkah jauh. Tapi hidup di kampung ini, dengan tanah yang subur dan hutan yang lebat, mengajarkanku bahwa kebebasan bukan hanya tentang pergi. Kadang, kebebasan yang sejati adalah menerima keadaan dan tumbuh bersama tanah ini," jawab Usang.

"Tapi, Ayah... aku merasa seperti terjebak di sini. Aku ingin melihat dunia, melihat lebih banyak dari yang kita punya di sini. Kenapa aku harus terus tinggal di tempat yang tak memberi kesempatan untuk berkembang?" tanya Lian lagi sambil mendengus, sedikit kesal.

"Ah, Nak... Dunia itu luas, memang. Tapi ingat, kadang dunia itu juga bisa menjadi penjara. Kamu mencari kebebasan di luar sana, tapi apakah kamu sudah siap untuk menerima konsekuensinya? Hidup di luar sana, banyak yang harus dikorbankan, banyak yang akan hilang," jawab Usang dengan senyuman kecil.

"Aku tak takut, Ayah. Aku sudah dewasa. Aku bisa menghadapi apa pun," kata Lian.

"Kau merasa seperti itu karena kau belum melihat apa yang sudah kujalani. Dunia ini tak selalu adil, Nak. Tak semua mimpi bisa jadi kenyataan. Aku dulu juga seperti kamu, punya banyak mimpi besar. Tapi kadang, hidup memberi kita pilihan yang tak kita inginkan. Seperti rajah-rajah ini di tubuhku, aku tak bisa menghapusnya. Mereka akan selalu ada, sebagai kenangan, sebagai pelajaran," jawab Usang.

Lian menunduk, merasa tercenung. "Aku mengerti, Ayah. Mungkin aku terlalu terburu-buru mengejar mimpi tanpa melihat apa yang sudah ada di depanku."

Usang menepuk bahu Lian dengan lembut, senyumnya masih terjaga meski ada ketegangan dalam percakapan mereka. Dalam diam, keduanya mendengar suara burung terbang di atas mereka, membawa angin segar yang seolah menghapus ketegangan itu.

"Lian, setiap rajah ini mengingatkan kita pada satu hal penting. Bahwa hidup itu penuh dengan ketidakpastian. Kadang kita tak tahu apa yang akan terjadi, tapi kita tetap harus terus berjalan. Seperti sungai ini, kita tak tahu ke mana arusnya akan membawa, tapi kita harus mempercayai perjalanan itu."

Lian dengan mata yang mulai berbinar. "Apakah Ayah menyesal, Ayah? Menyesal karena mimpi-mimpi itu tak terwujud?"

"Menyesal? Tidak, Nak. Aku tak pernah menyesal. Semua yang terjadi adalah bagian dari perjalanan hidupku. Mungkin aku tak bisa terbang seperti burung enggang, tapi aku bisa menyaksikan kehidupan ini dengan mata yang penuh hikmah. Itu lebih berharga daripada segala impian yang tak terwujud," kata Usang.

"Lalu, apa yang bisa aku lakukan, Ayah? Bagaimana aku harus menghadapi semua ini?" tanya Lian lagi.

"Kamu akan menemukan jalanmu sendiri, Lian. Tapi ingat, jalan itu tak selalu lurus. Kadang, kita harus melewati rintangan, bahkan air yang deras. Jangan takut. Tumbuhlah di mana pun kamu berada, dan jangan lupakan akarmu. Seperti rajah-rajah ini, apa yang kita alami akan selalu membentuk kita," Usang menjawab dengan tersenyum bijak.

"Aku akan berusaha, Ayah. Aku tak akan melupakan apa yang telah Ayah ajarkan," kata Lian.

Malam pun semakin larut, dan meskipun percakapan mereka baru saja dimulai, keduanya merasa bahwa pemahaman mereka semakin dalam. Lian tahu bahwa, seperti ayahnya, ia juga harus belajar menerima kenyataan. Mungkin dunia itu besar dan penuh tantangan, namun tak semua perjalanan membutuhkan jarak yang jauh. Beberapa hal yang kita cari mungkin sudah ada di depan mata kita.

"Tidurlah, Nak. Esok masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dan ingat, hidup ini seperti rajah-rajah kita. Tidak ada yang bisa diubah, tapi kita bisa belajar dari setiap goresannya," kata Usang.

Lian mengangguk, merasa lebih tenang. Mungkin, seperti rajah yang terukir di tubuh ayahnya, hidup ini penuh dengan makna yang tersembunyi, terkadang kita hanya perlu melihat lebih dalam untuk memahami apa yang sebenarnya ada di baliknya.(*)

LihatTutupKomentar
Cancel