Topeng di Wajah Hutan

[Foto: Ilustrasi]

Kabut pagi menuruni perbukitan seperti asap dupa dari roh leluhur. Di Kampung Sungai Tembawang, di tepian hutan yang masih belantara, udara masih beraroma tanah basah dan getah pohon meranti. Seekor enggang melintas di atas atap rumah panjang, menandai pagi dengan teriakannya yang nyaring.

Adui, seorang pemuda dengan rambut sedikit gondrong dan kulit legam, berdiri di depan rumah sambil mengamati sungai yang mengalir tenang. Di tangannya, tergenggam sepotong kayu ulin yang separuh sudah diukir menjadi topeng.

“Kau masih main dengan kayu itu saja, Di?” suara dari belakang terdengar berat namun hangat.

Itu suara  Apai Laman, pamannya, seorang pembuat topeng Buta yang disegani di kampung itu. Kumisnya tebal, matanya tajam, tapi senyumnya selalu menyimpan damai.

“Main? Ini bukan main, Pai,” kata Adui tanpa menoleh. “Aku sedang berbicara dengan kayu ini. Ia belum mau membuka rahasianya.”

“Ha! Kalau begitu, kau bicara dengan makhluk yang keras kepala,” jawab Apai Laman sambil tertawa. “Kayu ulin itu tak suka orang yang terburu-buru. Ia hanya bicara dengan orang yang sabar.”

Adui menatap hasil ukirannya. Masih kasar, belum menyerupai wajah apa pun.

“Aku ingin membuat topeng Buta seperti punyamu, Pai. Tapi aku ingin wajahnya tersenyum, bukan menyeramkan. Biar roh jahat bingung, apakah ia musuh atau kawan.”

Apai Laman terdiam sejenak, lalu menghela napas.

“Kau berpikir seperti orang muda yang baru belajar filsafat hutan,” ujarnya. “Tapi topeng Buta bukan dibuat untuk menipu, melainkan untuk menegaskan keberanian. Wajahnya keras karena ia harus menghadapi hal-hal yang tak bisa kita lihat.”

“Tapi apakah keberanian selalu harus tampak menakutkan?” Adui menatap pamannya. “Bukankah dalam senyum pun ada kekuatan?”

Apai Laman terkekeh pelan.

“Kau memang cucu dari bapakku yang keras kepala itu. Ia juga pernah bilang hal yang sama waktu muda. Tapi akhirnya ia tetap membuat topeng Buta dengan wajah garang. Katanya, roh jahat hanya paham bahasa ketegasan, bukan kelembutan.”

Adui menatap hutan yang membingkai kampung mereka.

Ada desir halus dari pepohonan, seperti bisikan roh.

****

Hari itu, kampung tengah bersiap untuk  upacara sunatan anak kepala adat. Rumah panjang dipenuhi perempuan menumbuk padi, menyiapkan lauk dari hasil buruan, dan laki-laki memperbaiki tiang bambu untuk tempat gantung topeng.

Di tengah kesibukan itu, datanglah Mila, gadis berambut panjang yang matanya cerah seperti permukaan sungai. Ia membawa beberapa anyaman daun untuk hiasan.

“Adui, kau belum selesai juga? Semua orang sudah menunggu topengmu,” ujarnya sambil menaruh anyaman di meja.

“Sabar, Mila. Topeng ini belum selesai bicara denganku.”

“Kau ini, kalau bicara tentang kayu, seperti bicara tentang pacar,” katanya sambil tertawa kecil.

“Setidaknya kayu ini tidak suka marah tanpa sebab.”

Mila mendengus.

“Oh begitu? Jadi aku suka marah tanpa sebab?”

“Bukan begitu, tapi kadang kau marah karena sebab yang aku tak mengerti,” jawab Adui sambil tersenyum nakal.

“Ah, dasar pemahat yang lebih mencintai kayu daripada manusia.”

Mila menatapnya sebentar, lalu menunduk.

Canda itu membawa aroma ketegangan yang samar.

Beberapa hari belakangan, mereka memang sering berselisih, tentang mimpi, tentang kota, tentang masa depan.

“Mila,” kata Adui pelan, “apa kau benar ingin meninggalkan kampung setelah upacara nanti?”

“Ya. Aku ingin sekolah di Pontianak. Aku tak mau hidup di sini selamanya, di bawah bayang-bayang hutan dan topeng.”

“Tapi hutan ini rumah kita. Topeng ini pelindung kita.”

“Atau penjara kita,” sahut Mila cepat. “Kau tak pernah berpikir keluar, Di. Kau terlalu sibuk mencari makna di dalam kayu. Padahal dunia lebih luas dari sekadar ukiran.”

Keduanya terdiam. Di luar, suara gong menggema, memanggil orang berkumpul.

“Kalau kau pergi,” kata Adui perlahan, “siapa yang akan menenun daun untuk hiasan topengku?”

“Kau bisa minta tolong roh hutan,” jawab Mila dengan senyum pahit, lalu berbalik pergi.

****

Malam sebelum upacara. Bulan separuh menggantung di langit. Di halaman rumah panjang, Api unggun besar menyala, menari di wajah orang-orang yang bersiap untuk ritual.

Adui duduk di depan rumah, memahat dalam cahaya redup.

Topengnya hampir selesai: matanya bulat besar, tapi bibirnya melengkung dalam senyum tenang, bukan garang seperti biasanya.

Apai Laman datang membawa kendi tuak.

“Kau belum tidur juga?”

“Belum, Pai. Topeng ini baru mau membuka wajahnya malam ini.”

Apai duduk di sebelahnya. Mereka minum tuak bersama.

Asap dari tungku mengelus wajah mereka seperti kabut tipis.

“Kau tahu, Di,” kata Apai Laman, “setiap topeng Buta adalah doa. Doa yang diukir, bukan diucap. Tapi doa juga bisa salah bila niatnya kabur.”

“Aku tahu, Pai. Tapi apakah salah bila doaku adalah agar roh jahat tidak lagi takut, tapi mengerti?”

“Hati-hati, Adui. Mengerti tidak selalu berarti jinak. Kadang roh jahat mendekat bukan karena takut, tapi karena penasaran.”

Adui tertawa kecil.

“Mungkin mereka cuma kesepian. Sama seperti manusia.”

Apai menatap ke arah hutan, lalu berucap pelan:

“Manusia dan roh sama-sama mencari tempat pulang. Bedanya, manusia sering lupa jalan, roh tidak.”

***

Pagi upacara.

Gong dan gendang menggema. Anak-anak menari dengan wajah berseri, perempuan menabur beras, dan laki-laki membawa topeng Buta di depan barisan.

Namun, ketika Apai Laman hendak mengambil topeng buatannya dari meja, ia tertegun.

“Mana topengku yang diukir semalam?” serunya.

Orang-orang saling berpandangan.

Lalu seseorang menunjuk ke arah sungai.

Tampak Adui berjalan pelan, membawa topeng buatannya sendiri, menuju tepi air. Wajah topeng itu tersenyum lembut.

“Adui! Jangan gunakan topeng itu!” teriak Apai.

Tapi pemuda itu hanya menoleh sebentar.

“Biarlah topeng ini ikut menari dengan senyum. Mungkin roh akan senang.”

Mila, yang berada di antara kerumunan, menatap dengan cemas.

Musik dimulai.

Adui menari di bawah matahari, tubuhnya berputar mengikuti tabuhan. Orang-orang menatap heran, gerakannya indah tapi aneh, seperti meniru gerak burung dan bayangan.

Tiba-tiba, angin besar datang dari arah hutan. Daun berguguran, api obor menari liar.

Gendang berhenti.

Topeng di wajah Adui bergetar, lalu terbelah sedikit di pipinya — seperti sedang menangis.

“Adui!” Mila menjerit.

Adui jatuh berlutut. Nafasnya terengah.

Tapi di wajahnya masih ada senyum.

“Aku baik-baik saja,” katanya pelan. “Roh itu tidak jahat. Ia hanya... ingin pulang.”

Apai Laman berlari mendekat, memeluknya.

“Bodoh! Kau membuka gerbang antara dunia manusia dan roh tanpa izin!”

“Tapi... kalau gerbang selalu tertutup, bagaimana kita tahu siapa di baliknya?”

Apai tak bisa menjawab.

Sementara Mila menangis diam-diam.

***

Sore hari setelah upacara. Angin tenang kembali.

Upacara berjalan selamat, tapi suasana tetap ganjil. Orang-orang membicarakan tentang “topeng yang menangis”.

Adui duduk di beranda, menatap topeng yang kini retak di pipinya.

“Lucu,” katanya pada Mila yang duduk di sampingnya. “Topeng ini akhirnya punya dua wajah. Satu tersenyum, satu menangis. Seperti manusia.”

“Kau membuatku takut tadi, Di. Aku pikir roh akan membawamu pergi.”

“Mungkin roh hanya ingin mengingatkan bahwa keberanian bukan tentang menakutkan siapa pun, tapi tentang menerima bahwa semua makhluk, baik roh maupun manusia, punya alasan untuk hidup.”

Mila menatap topeng itu lama-lama.

“Mungkin... aku juga salah. Aku pikir kampung ini penjara, tapi ternyata ia juga punya senyumnya sendiri.”

Adui tertawa pelan.

“Jadi, kau batal ke Pontianak?”

“Belum tahu. Tapi mungkin aku akan pergi hanya untuk belajar, bukan untuk lari.”

“Kalau begitu, aku akan membuat topeng baru untukmu. Wajahnya tidak garang, tidak juga tersenyum. Tapi jujur.”

“Dan kalau aku rindu kampung, aku akan melihat topeng itu.”

Mereka berdua tertawa, canggung tapi hangat.

Sementara Apai Laman menatap dari jauh, sambil menggeleng pelan.

“Anak muda memang aneh,” gumamnya. “Tapi mungkin justru dari keanehan mereka, tradisi bisa bernapas lagi.”

****

Malam turun lagi. Hutan kembali berdesir.

Di sudut rumah panjang, Apai Laman duduk menatap topeng tua peninggalan leluhur. Ia berbicara lirih seolah kepada udara.

“Bapa, kau dengar? Cucu kita membuat topeng Buta yang tersenyum. Apa itu salah?”

Angin berhembus lembut, menggoyang lampu minyak di dekatnya.

“Mungkin,” lanjutnya pelan, “topeng yang tersenyum juga bisa melindungi, asal senyumnya lahir dari keberanian, bukan dari rasa takut.”

Di luar, suara Adui terdengar bercanda dengan Mila, meniru gaya Apai yang suka bicara dengan kayu.

“Hei, Mila! Kayu ini bilang, ia lebih suka kau daripada aku!”

“Ah, kau gila, Di!”

“Gila sedikit tak apa, asal hati waras!”

Tawa mereka berpadu dengan suara jangkrik dan desir angin malam.

Di hutan, entah di mana, seekor burung enggang menjerit sekali lagi, seperti memberi restu bagi kehidupan yang terus bergerak antara yang terlihat dan yang tak terlihat.(*)

LihatTutupKomentar
Cancel