Buku Notokng; Sebuah Pintu Masuk



Notokng
menjadi buku ketiga saya. Buku pertama berjudul Ombon; Perempuan Pengembara. Buku yang dirilis tahun 2015 itu berisi antologi puisi, yang saya tulis sejak 1996. Buku kedua berjudul Senja dan Cinta yang tak Pernah Tiba, sebuah novel galau (begitu kata orang-orang). Buku tanpa dialog itu dirilis pada 2016. 

Nah, Notokng itu buku ketiga. Dirilis akhir 2017, tetapi beredar awal 2018. Buku ini ditulis dengan latar ritual adat pada sebuah kampung, yang saya juga menjadi bagian dari kampung itu. Sudah lama sebenarnya saya ingin menarasikan dan mendokumentasikan peradaban itu. Banyak hal yang memengaruhi dalam proses penulisan buku tersebut. Lalu, saya menemukan momen yang pas untuk menarasikannya. 

Naskah selesai pada Juni 2017. Beberapa kali bongkar pasang. Ada beberapa naskah yang mesti saya perbaiki lagi. Pada Oktober 2017, naskah itu saya serahkan kepada Masri Sareb Putra, yang saya sebut sebagai penulis beken, untuk melakukan pengeditan. Bagi saya, sebagus apapun seorang penulis, dia memerlukan seorang editor untuk menjadi pembaca pertama karyanya. Masukan dari pembaca pertama inilah, yang membuat karya seorang penulis bagus menjadi istimewa. 

Saya menyebut buku ini sebagai pintu masuk bagi penulis lain untuk menyajikan yang lebih komprehensif. Buku ini hanya informasi pertama bagi mereka yang meneliti secara ilmiah, baik arkeologi hingga antropologinya. Saya senang jika ada yang melakukan itu. Pasti akan membantu, agar peradaban di komunitas kami menjadi abadi. 

Ketika ritual Notokng pada 2005, saya mengajak tiga teman pulang kampung. Ini kali pertama ritual Notokng diliput media. Waktu itu, ada Jo Seng Bie dari LKBN Antara, Moses dari Majalah Duta, dan Muhammad Syaifullah dari Kompas. Bang Syaiful – begitu saya memanggilnya, telah berpulang pada 2010. Saya berterima kasih kepada tiga orang ini. 

Kemudian pada 2016, saya kembali mengajak beberapa teman untuk melihat langsung prosesinya. Saya berterima kasih kepada Emanuel Edi Saputra dari Kompas, Severianus Endi dari Jakarta Post, dan Takon dari Ruai TV. 

Ada kegetiran dalam diri saya ketika pulang dari mengikuti prosesi itu. Pemigeng Abak menyebut bahwa tak ada lagi penerus yang mau atau mampu menjaga tradisi ini. Jika itu terjadi, maka Abak Panggel yang telah menjaga kampung selama beratus tahun akan dimakamkan bersama pemigeng abak terakhir. Tetapi naluri saya berkata, “Abak akan menunjuk orang yang tepat untuk menjadi pemigeng-nya.” Semoga saja, naluri saya ini benar. Tentu saja, harus bertarung dengan kemajuan zaman.  

Kembali ke buku. Notokng yang saya ditulis dalam bentuk novel ini, mengingatkan anak-anak, cucu, bahkan ratusan generasi setelah saya, bahwa di kampung pendahulunya, ada ritual untuk menjaga peradaban. Buku ini membuat Notokng menjadi abadi. Khairul Fuad, seorang peminat sastra yang membaca buku ini berkata, “Menuliskannya adalah mempersiapkan keabadian.”

Cukup banyak respon atas buku ini. Salah satunya dari Wida Kuswida Bhakti. Dosen di Universitas Muhammadiyah Pontianak ini menulis begini:

Lama saya tak baca novel. Saya sibuk menyusun novel sendiri. Notokng karya Budi Miank menjadi novel yang pertama saya baca lagi. Rasanya perlu menulis ulasan untuk novel itu agar tak menguap ceritanya dari kepala. Halaman awal Notokng menggunakan gaya bahasa sastra yang mengayun khayalan dengan gaya bahasa yang penuh personifikasi dan hiperbol. Sampai pada satu titik di mana khayalan itu berhenti disentak peristiwa yang sangat menakutkan dan jauh di luar nalar manusia biasa. Harapan awal tersaji kisah cinta yang berakhir bahagia seperti novel-novel jaman tahun 80-an karya penulis dalam negeri. Hehe setua ini pun masih menyisakan hasrat utk menikmati suguhan rasa dari bacaan yang menggelitik perasaan. Harapan itu pupus ketika mata dipaksa utk terus membaca Notokng sampai titik terakhir Kesimpulan terakhir (maaf yah Budi Miank jika saya salah), menurut saya, novel ini dilahirkan dari studi kualitatif penelusuran sejarah sekaligus etnografi. Apakah ini aliran sastra jaman now yg mengalami proses metamorfosis seperti ulat berubah menjadi kupu-kupu? Saya masih penasaran dengan kumpulan puisimu yang konon tidak diproduksi lagi. Ini permintaan tidak langsung yang semoga ditindaklanjuti yang punya buku.

Saya wajib berterima kasih kepada semua orang yang telah memiliki dan membaca buku ini. Kepada mereka yang membeli dalam jumlah banyak, saya beri terima kasih yang istimewa. Ada Michael Jeno, Bruder Hilarinus Tampajara, Erwin Gode, Ansfridus Andjioe, Angela Fremalco, Karolin Margret Natasa, Om Putut Prabantoro.

LihatTutupKomentar