Angan Urban


Saya menyebutnya demikian. Tentu ini subyektif. Hanya dilihat dari kacamata saya sendiri. Kata orang Pontianak, mandai-mandai jak. Tak apalah. Biar keren saja. Angan Urban untuk menyebut orang-orang (dayak) Angan yang tidak lagi tinggal di komunitas itu. Merantau, begitulah orang bilang. Orang-orang yang memilih berjuang mencari penghidupan di kota. Dengan harapan, ya bisa lebih baik jika masih menetap di kampung. Walau tak sepenuhnya harapan itu terwujud. Ada juga yang terhempas, kemudian kembali pulang.

Kami adalah orang-orang dari kampung. Negara menyebutnya desa. Orang Angan menetap di tujuh kampung, tujuh Angan: tembawang, limau, pelanjau, tutu, bangka, rampan, dan Landak. Di antara tujuh kampung itu, Angan Urban semakin semarak karena teman-teman dari Sinto ikut serta. Secara geografis, mereka masuk wilayah Kabupaten Sanggau. Sementara Angan masuk wilayah Kabupaten Landak. Tetapi, secara emosional, mereka sangat dekat dengan Angan. Kami memiliki tali persaudaraan, karena keturunan. Kami satu leluhur.

Tahun ini, tahun 2019, sudah tiga kali kami merayakan Natal sekaligus tahun baru. Ini ajang berkumpul. Ajang bertemu di antara kesibukan mencari penghidupan di tengah kerasnya kota. Kami jeda sejenak untuk bertemu, bersenda, saling tanya kabar.

Jauh dari kampung membuat kami rindu. Kerinduan itu tuntas ketika kami bertemu. Inilah cara kami untuk saling menguatkan, saling mengingatkan, dan saling membantu.

Ide berkumpul ini sudah sejak lama. Baru bisa dimulai pada 2017 untuk Natal 2016. Bermula dari saling ajak, akhirnya diputuskan untuk menjadikannya. (*)
 
LihatTutupKomentar