Aku Ingin Menuntaskan Rindu

Aku menulis surat ini saat purnama sedang paripurna. Sesunggukan pungguk mengiringi tarian huruf-huruf yang mengalir bagai air di sungai rinduku. Huruf-huruf yang bertemu menjadi jejak kata-kata. Giliran kata-kata bersua menghadirkan kalimat yang tak bisa kutafsirkan, bagai titis hujan tadi sore. Itulah aku yang terus menulis surat untukmu.

Tak begitu penting bagiku, apakah surat-surat itu dibaca atau sekadar memenuhi keranjang sampah di kamar tidurmu? Bagiku, menemuimu dengan lautan kata-kata dalam surat menjadi pengobat dahaga cinta yang kusemai sejak tujuh tahun lalu.

Aku menyadari surat tak sepenuhnya bisa menuntaskan rindu. Aku tahu, surat tak mampu menjawab segala tanya yang diamanatkan pemilik semesta. Aku memahami keterbatasan-keterbatasan ruang pada kertas, yang menampung ribuan karakter huruf itu.

Aku sadar, hanya dengan menemuimu, aku bisa menuntaskan rindu. Bisa mendapat jawab atas pertanyaan-pertanyaan yang belum kuterima jawabannya darimu.

Oh, kekasihku. Aku rindu pada teduh matamu. Aku rindu pada dua lesung yang mencekung di pipimu ketika senyum kau hadirkan. Aku rindu aroma tubuhmu yang tak bisa kutemui pada harum bunga. Aku rindu manjamu. Aku rindu pada semua hal tentang dirimu. 

Oh ya, aku masih ingat ketika terakhir kali kita bertemu di dermaga tak jauh dari tepian Kapuas. Rambutmu yang panjang tergerai menari ditiup angin. Suitan panjang penarik sampan menggoda kita. Debur ombak kecil dari tongkang melintasi sungai pecah di dinding turap. Kembali ke sungai yang menghantarnya lagi menabrak dermaga. Kaleng minuman bersoda yang terapung, terombang-ambing oleh riak ombak. Anak-anak lanting yang terjun dari bibir dermaga. Mereka merayakan kebebasan, merayakan sungai yang airnya tak lagi jernih.

Kita betah berlama-lama menyaksikan semua itu sambil menikmati surya yang tenggelam. Kita mengabaikan semua suitan panjang para penarik sampan. Kita hanya menyungging senyum pada mereka, sambil sesekali melambaikan tangan. Mereka membalas dengan teriakan kecil. Kita tenggelam cahaya temaram matahari yang bergegas menuju peristirahatan. Kita menikmati senja yang begitu pendek, tetapi kita yakini bisa melahirkan cerita cinta yang panjang.

Ada rasa malas untuk beranjak dari dermaga kayu itu. Hingga malam benar-benar tiba. Kita tetap tak beranjak. Lampu-lampu jalan telah dinyalakan. Lampu taman yang berbentuk bundar juga telah menyala. Tetapi, kita tidak menemukan kunang-kunang.

"Tak ada kunang-kunang di kota ini," katamu.

Aku hanya tersenyum mendengar itu. Aku tahu, kamu benar soal itu. Kunang-kunang sudah diganti dengan lampu kerlap kerlip, seperti lampu Natal yang dipasang di gua-gua Natal di dalam gereja. Begitu juga di taman dekat dermaga ini. Pada pohon-pohon itu, semestinya menjadi taman bermain kunang-kunang, tak juga kita temui. Ia sudah diganti oleh lampu light emitting dioda. Warna warni pula. Berkedip bergantian. Begitu sempurna.

Itu satu babak dari kisah kita yang bisa kutulis hari ini. Masih banyak babak lainnya. Aku janji akan menuliskannya pada suratku yang lain. Ini caraku mengingatmu, mengenangmu, juga menuntaskan rinduku padamu. Aku hanya berharap, kamu mau membaca surat ini. Tak perlu kau baca semua, cukup kau pilih bagian-bagian yang mampu mengingatkanmu padaku. Pada babak-babak kisah cinta kita.

Rasanya cukup untuk hari ini. Aku harus meneruskan hidup. Semoga kamu juga merindukan hari-hari indah bersamaku, seperti aku merindukan segala hal tentangmu.

Budi Miank | 191217
LihatTutupKomentar