Enggang dalam Dongeng Ibu


Ketika masih anak-anak, ibu sering mendongeng. Satu di antaranya, tentang burung enggang. Cerita burung enggang ini selalu ibu ceritakan hingga aku tamat sekolah dasar, ketika usiaku 12 tahun.  Ini kisah yang mengantar kami, anak-anaknya, tidur. Dalam ceritanya, ibu bertutur kalau enggang itu juga manusia. Ia terlahir sebagai saudara kandung, laki dan perempuan. Seperti anak kebanyakan, enggang suka bermain. Kadang ia acuh nasehat ibu bapaknya. Tak jarang pula, Enggang melawan perintah. Ia lebih senang bermain-main.  

Ibu bapak Enggang bekerja sebagai petani. Setiap hari, sejak pagi hingga senja, orangtuanya bekerja di ladang. Enggang kerap tak ikut. Ia menunggu rumah. Begitu setiap harinya. 

Ketika ibu dan bapaknya berangkat kerja, enggang baik yang laki maupun perempuan gemar bermain gasing. Jika sudah bermain gasing, enggang lupa rumah. Lupa tugas-tugas yang diberikan ibunya. Bahkan, enggang lupa makan. Kadang, ia pulang lebih telat dari ibunya yang seharian bekerja di ladang 

Jika berangkat ke ladang, ibunya meminta enggang untuk memasak sehingga saat pulang tak lagi disibukkan urusan dapur. Enggang mengiyakan permintaan ibunya. Dengan rasa gembira, karena janji Enggang, ibunya berangkat ke ladang. Enggang tinggal di rumah dengan satu pesan ibunya: memasak. 

Setelah ibunya berangkat, Enggang bersama saudara kandungnya mengambil mandau, sejenis parang. Mereka ke hutan tak jauh dari rumah menebang kayu untuk membuat gasing. Di samping rumah, Enggang membuat gasing. Sampah-sampah kayu bekas tarahan (pahatan) berserakan. Enggang enggan mengumpulkannya, apalagi membersihkan. 

Beberapa jam kemudian, dua buah gasing sudah jadi. Enggang dan saudara kandungnya mulai bermain. Mereka menikmati permainan itu. Mereka lupa, jika hari sudah menjelang senja. Mereka lupa pesan ibu agar memasak nasi. Mereka benar-benar terlena oleh permainan gasing itu.  

Senja pun tiba. Ibu Enggang pulang dari ladang. Ia melihat Enggang masih bermain gasing. Ketika masuk ke rumah, ibunya meliha nasi dan sayur belum dimasak. Sang ibu marah besar. Tapi ia tak langsung memarahi enggang. 

Diam-diam, ibunya mengambil sampah-sampah kulit kayu dan potongan-potongan kayu sisa Enggang membuat gasing. Ampas kulit kayu dimasukan ke dalam periuk nasi. Sedangkan sisa-sisa potongan kayu dimasukan ke mangkuk sayur. 

Puas bermain, Enggang pulang ke rumah. Rasa lapar menyergap keduanya. Lemari makan dibuka. Periuk nasi juga dibuka. Enggang kaget. Ia melihat kulit dan potongan kayu yang tersaji. Ia pun menangis sekaligus kecewa karena ibunya terlalu marah, hingga memberi makan dua anaknya dengan kulit kayu. 

Dalam tangis dan kemarahannya, Enggang berlari keluar rumah. Bersama saudara kandungnya, Enggang berjanji mau jadi burung. Ia pun mengambil pelepah pinang. Kemudian diikatnya pada kedua lengannya. Enggang mulai terbang. Awalnya dari jendela rumah, kemudian ke ujung atap, lalu ke bumbungan. Begitu tiba di bumbungan, Enggang mulai pindah ke dahan terendah pada sebatang pohon. Kemudian berlanjut, hingga pada dahan tertinggi pohon tersebut.  

Doa Enggang terkabul. Dua manusia, laki dan perempuan, itu benar-benar menjadi burung. Ia pun bersumpah tak akan turun ke bumi dan hanya tinggal di rimba raya pada pohon-pohon yang tinggi. 

Melihat dua anaknya jadi burung, ibu dan bapak Enggang menyesal. Keduanya menangis dan meminta agar anaknya kembali. Ia pun berharap agar Enggang tak meninggalkan keduanya.  

Di pohon, tempat Enggang belajar terbang, keduanya orangtuanya terus berharap dan meminta. Dengan satu harap, Enggang akan kembali menjadi manusia lagi. Tapi apa lacur, Enggang sudah terlanjur jadi burung. Biarpun begitu, ibu bapaknya tetap berharap. 

Pada satu titik asanya habis, kedua orangtua itu berdoa, "jika anakku tak bisa lagi kembali menjadi manusia. Biarlah kami menjadi sarang anai-anak yang selalu melekat pada bagian terbawah pohon ini, hingga nanti suatu saat anak-anakku kembali jadi manusia." 

Nah, itulah sebabnya jika kita menemukan pohon yang di bawahnya ada dua sarang semut sejenis anai-anak yang menempel pada pohon, maka itu diyakini sebagai ibu dan bapak enggang.(*) 
LihatTutupKomentar