Tertawamu di Antara Mantra

[Foto: Freepik/Freepik]

Senja baru saja menurunkan jubah emasnya di atas bukit-bukit menjulang. Aroma hutan basah dan asap kayu bercampur jadi satu, menelusuk masuk ke setiap rongga rumah panjang di tembawang desa.

Di depan sebuah rumah baru bercat merah tanah, Laung duduk dengan gelisah. Jemarinya memainkan anyaman pingatn yang belum selesai ia rajut.

"Jangan dililit terlalu keras, Laung. Nanti malah nggak bisa dibuka kalau ubur-ubur masuk rumah," suara Ari tiba-tiba terdengar di belakangnya, penuh candaan.

Laung menoleh cepat, sedikit terkejut. "Ubur-ubur? Kita di kampung, bukan di laut, Ari."

Ari tertawa kecil, menggoyangkan daun yang digenggamnya.

"Ya, tapi katanya kalau malam pertama di rumah baru, yang datang bukan cuma manusia. Bisa saja ubur-ubur bertanduk."

Mereka berdua tertawa, namun tawa Laung cepat menguap. Matanya kembali menatap pintu rumahnya yang masih tertutup. Rumah itu baru dibangunnya sebulan lalu, hasil dari tabungan bertahun-tahun bekerja di luar Kalimantan. Tapi hari ini, bukan sembarang hari. Ini hari matuha rumah, hari di mana rumah itu akan "dihidupkan" secara adat.

Dari dalam rumah, terdengar suara langkah pelan. Nenek Inek, yang sudah lanjut usia tapi belum pernah absen dalam satu pun ritual adat desa, muncul dengan senyuman kecil.

“Laung, ari’ tadi kau suruh pulang, malah duduk-duduk di luar macam kucing kena hujan. Apa kau takut rumahmu ditolak Jubata?”

Laung bangkit dan menunduk hormat. "Bukan takut, Nek. Hanya... saya ragu."

"Ragu dengan rumahmu sendiri?" Nenek Inek mengerutkan kening, lalu duduk perlahan di bangku bambu di teras. "Atau ragu karena rumah ini belum punya isi yang lengkap? Tidak ada istri?"

Ari menyikut Laung sambil berbisik, “Aha! Kena juga pertanyaan pamungkas nenek.”

Laung hanya tersenyum kecut. “Bukan itu. Saya cuma... bingung. Kita buat adat, ikuti semua aturan leluhur. Tapi saya baru saja dari kota, dan orang di sana bilang semua ini cuma simbol. Mana yang benar?”

Nenek Inek menatap Laung lama. Matanya menyipit, meneliti wajah cucu kesayangannya.

“Laung, kau tahu apa beda antara tiang rumah dan atapnya?”

“Tiang menopang. Atap melindungi.”

“Nah. Kalau kau hanya pasang atap tapi tak ada tiang, rumahmu akan jatuh. Tapi kalau kau pasang tiang saja tanpa atap, rumahmu tetap belum sempurna. Adat itu seperti tiang dan atap. Simbol, ya. Tapi juga penopang. Kalau kau hidup tanpa simbol, lama-lama kau tak tahu lagi siapa dirimu.”

Ari menimpali dengan nada menggoda, “Berarti pacar itu simbol juga ya, Nek? Bisa ditukar kalau sudah bosan?”

Nenek Inek tertawa terpingkal. “Bisa! Tapi kalau kau tukar terus, jangan salahkan kalau hidupmu terus bocor.”

Saat malam mulai merayap, prosesi Matuha Rumah dimulai.

Kepala adat memimpin upacara. Ia mengenakan ikat kepala merah dengan benang-benang emas yang berkilau di bawah lampu pelita. Di tangannya, seikat daun kase angir sudah disiapkan. Tiga ekor ayam hitam mengorok pelan di sudut, menunggu giliran menjadi bagian dari upacara.

Beras banyu ditaburkan di pintu, tapayatn dan mangkok diletakkan di depan rumah. Kepala adat membacakan nyangahant, mantra adat yang telah diwariskan secara lisan dari nenek moyang.

Ari berdiri di belakang Laung, berbisik, “Bayangkan kalau kita bawa ini ke TikTok. Bisa viral, bro.”

Laung hanya tersenyum kaku. Perasaannya tidak bisa ikut ringan seperti Ari. Ada sesuatu yang menggantung di dada.

Setelah upacara selesai dan ayam-ayam telah dikorbankan, masyarakat duduk bersama. Nasi tumpi, poek, dan bontokng dibagikan. Riuh rendah suara orang tua dan anak-anak bergema, seperti nyanyian alam yang bersyukur.

Namun, saat semua larut dalam tawa, Laung menarik Ari ke belakang rumah.

"Aku ingin bicara," katanya pelan.

Ari mengangguk. Di bawah pohon nangka tua, mereka duduk bersila. Angin membawa aroma hutan dan sisa dupa.

"Ari," kata Laung pelan, "kau tahu aku pulang bukan hanya untuk membangun rumah. Tapi untuk mencari... jalan kembali. Aku bingung di kota. Segalanya serba cepat. Orang bicara tentang masa depan, tapi lupa siapa mereka. Aku pun hampir lupa."

Ari menunduk. “Dan di sini kau harap akan menemukan jawabannya?”

“Laung,” lanjut Ari sambil menatapnya, “kau memang selalu lebih dalam mikirnya. Aku? Asal bisa makan, bisa ketawa, bisa tidur nyenyak. Sudah cukup.”

“Tapi apa kau pernah merasa... kosong, Ari?”

Ari terdiam. Lama. Lalu tertawa pelan.

“Pernah. Apalagi kalau ditinggal cewek, kosong banget. Tapi kalau serius... ya, pernah juga. Tapi di sini, di hutan, di adat, di suara nenek yang marah-marah... itu bikin aku merasa diisi kembali.”

Laung tersenyum. “Itu dia. Aku ingin diisi kembali. Lewat ini... lewat Matuha Rumah. Biar rumah ini bukan cuma tembok, tapi juga tempat aku diingatkan siapa aku.”

Keesokan paginya, Laung duduk sendiri di teras rumahnya yang kini telah diberkati.

Nenek Inek datang membawa secangkir kopi pahit.

“Kopi pagi pertama di rumah yang sudah dimatuha. Rasanya beda, kan?”

Laung mengangguk. “Seperti... kopi yang tahu arah pulang.”

Nenek Inek tersenyum puas. “Kau tahu, Laung... Jubata itu bukan hanya di atas langit. Tapi juga di dalam dada. Kalau kau ikuti kata hatimu yang bersih, berarti kau sedang mendengarkan-Nya.”

Laung menatap langit yang mulai membiru. “Kalau begitu, saya akan tinggal. Tak lagi ke kota. Saya ingin jadi bagian dari tanah ini. Dari adat ini.”

Ari tiba-tiba muncul dari balik pohon, masih mengantuk, “Tapi jangan lupa, Laung, adat juga butuh jodoh. Kapan kamu Matuha hati?”

Tawa mereka bertiga menggema, membelah pagi yang harum oleh aroma hutan dan harapan baru.(*)

LihatTutupKomentar
Cancel