Arang di Wajah, Terang di Jiwa

[Foto: Ilustrasi/Freepik]

Desa Batu Rungan kembali bersolek. Gong digantung di balai adat, ratusan lamang masih mengepul di bambu-bambu yang ditumpuk di atas perapian. Anak-anak berlarian di tanah lapang, wajah mereka dicoret arang hitam sebagai tanda telah ikut dalam Laq Pesyai.

Bagi suku Dayak Wehea, Laq Pesyai bukan sekadar ritual pasca panen. Ia adalah jembatan antara dunia dan langit, antara manusia dan leluhur, antara rasa syukur dan harapan.

Di bawah pohon belian yang rindang, dua pria duduk bersisian.

“Tahun ini banyak tikus menyerbu ladang. Tapi hasil panen tetap melimpah. Mungkin karena doa Balian Uwan yang makin keras suaranya,” kata Keli, pria paruh baya, sambil tergelak kecil.

“Suara keras bukan jaminan doa sampai ke langit, Keli,” sahut Agan, temannya, tertawa. “Kadang suara pelan, tapi ikhlas, justru lebih didengar.”

Mereka tertawa lagi. Tapi dari caranya menatap ladang, terlihat ada sesuatu yang belum selesai.

“Jadi... kau akan bicara pada Lian hari ini?” tanya Keli, kini lebih pelan.

Agan menarik napas panjang. “Ia sudah milik orang kota, Keli. Aku ini seperti batang nyatoh, kokoh, tapi diabaikan karena tumbuh di tanah sendiri.”

“Jangan samakan cinta dengan kayu, kawan,” gumam Keli. “Kalau kau masih cinta, katakan. Jangan tunggu sampai kita hanya bisa bicara dengan arwah.”

Malam mulai turun. Di balai adat, musik sape’ menggema, menyatu dengan suara gong yang ditabuh perlahan. Lelaki dan perempuan menari, melingkar mengelilingi sesajen. Di tengahnya, Balian Uwan memimpin doa adat, matanya setengah terpejam, suara lirih namun kuat:

“O Sang Pencipta, penjaga langit dan bumi,

Kami ucapkan syukur, atas padi yang kami simpan,

Atas air hujan yang Kau turunkan,

Atas leluhur yang menuntun jalan kami.”

Semua menunduk, kecuali satu orang, Lian. Perempuan dengan rambut tergerai, mata setajam bilah mandau. Ia berdiri di sisi balai, mengenakan ta’a bermotif burung enggang. Matanya bertemu dengan Agan, sekejap yang terasa lebih panjang dari dentuman gong.

“Lian...”

Suara itu menahan langkah Lian yang hendak kembali ke rumah. Agan berdiri di bawah cahaya obor. Wajahnya penuh arang, tapi sorot matanya bersih.

“Sudah lama tidak kita bicara,” lanjut Agan.

“Aku pulang karena Laq Pesyai, bukan untuk bicara tentang masa lalu.”

“Masa lalu itu akar, Lian. Kalau dipotong, pohonmu akan tumbang.”

Lian menatap Agan tajam. “Kau yang membiarkanku pergi. Ketika aku ingin sekolah ke Samarinda, kau justru menyuruhku mengejar ilmu. Sekarang kau menyalahkanku karena aku jadi milik kota?”

Agan terdiam. Lidahnya kelu. Ia mengingat hari itu—Lian menangis, memintanya menunggu. Tapi ia terlalu kaku, takut dianggap lelaki yang menghalangi mimpi.

“Aku tidak menyalahkanmu,” akhirnya Agan berkata. “Aku hanya… belum selesai dengan rasa ini.”

Lian menarik napas, matanya mulai basah. Tapi ia tertawa kecil. “Kau selalu datang terlambat, Gan. Bahkan saat panen, kau selalu datang setelah orang lain selesai menjemur padi.”

“Tapi aku selalu ikut makan bersama,” kata Agan, tersenyum kecil.

“Tentu. Karena makanan terakhir biasanya paling enak,” timpal Lian, kali ini tertawa.

Mereka terdiam bersama. Gong berdentang dari balai, tanda prosesi persembahan segera dimulai.

Keesokan harinya, ritual terakhir berlangsung. Sebuah rakit dari batang kayu ringan didorong ke sungai, membawa sesajen: lamang, ikan bakar, buah hutan, dan tuak. Di ujung rakit, balian memercikkan air sungai ke sekeliling.

“Sebagai tanda berbagi dengan leluhur, agar ladang tak kosong, agar rumah tetap hidup,” ucapnya.

Agan berdiri bersama Keli di tepi sungai. Di kejauhan, Lian ikut berdiri dengan keluarganya. Ada sosok lelaki kota di sampingnya. Keli mendesah.

“Ada hal yang memang bukan milik kita, Gan.”

Agan menjawab pelan, “Atau belum waktunya.”

Keli menoleh. “Kau masih berharap?”

“Harapan bukan untuk hari ini saja, Ki. Leluhur kita pun menanam pohon untuk cucunya, bukan untuk dirinya.”

Keli tertawa lirih. “Filsuf dari ladang. Tapi hatimu tetap kosong.”

Beberapa hari setelah perayaan, Lian datang ke pondok Agan, sendiri.

“Ini lamang terakhir dari Ibu. Katanya, hanya untuk orang yang wajahnya penuh arang.”

Agan tertawa. “Kalau begitu, aku harus mencoret arang setiap hari.”

Lian duduk di bale-bale bambu. Hening sebentar. Lalu ia berkata, “Aku tidak jadi menikah. Orang kota itu tak kuat tinggal di hutan. Ia menganggap ritual kita primitif.”

Agan menunduk. “Sayangnya, aku hanya bisa memberi hutan. Bukan apartemen dan AC.”

“Tapi aku hanya ingin rumah. Yang diisi tawa, ladang, dan canda seperti ini.”

Agan menatapnya. “Lian, jika aku masih mencintaimu, dan jika kau juga…”

Lian memotong, “Jangan berandai. Karena aku juga masih mencintaimu.”

Agan tertawa, untuk pertama kali dengan lega. “Kalau begitu, kita tanam padi lagi. Tapi kali ini, aku datang lebih dulu.”

Beberapa bulan kemudian, ladang kembali hijau. Gong belum ditabuh lagi, tapi desa sudah bernyanyi dalam suara cangkul dan sapa. Agan dan Lian menanam bersama. Keli datang membawa tuak, menggoda mereka.

“Hei, jangan bercanda terlalu banyak! Kalau panen gagal, salahkan cinta kalian!”

Lian membalas, “Kalau panen melimpah, berarti cinta kami disetujui alam.”

Keli mengangkat gelas tuak, “Untuk ladang, untuk leluhur, dan untuk dua orang yang akhirnya paham: kadang yang lama tertunda, tapi tidak pernah sia-sia.”

Gong memang belum ditabuh lagi. Tapi suara tawa mereka sudah lebih nyaring.

Dan di wajah mereka, arang Laq Pesyai masih tersisa, seperti bekas doa yang tak pernah hilang.(*)

LihatTutupKomentar
Cancel