Jejak Bunga Terong di Kulit Langit

[Foto: Ilustrasi/FB]

Sore itu, di tepian Sungai Tembawang, suara karatung, gendang dari kulit kijang, berdenting pelan, menyatu dengan desir angin yang menyentuh pucuk pohon ulin.

Langit jingga, seperti api yang enggan padam.

Di sebuah rumah panjang, Asang duduk di beranda, mengasah parang warisan ayahnya.

“Parang ini sudah tumpul, Nak?” tanya Amai Dira, ibunya, sambil menata manik-manik yang baru selesai dirangkai.

Asang tersenyum kecil. “Bukan parangnya yang tumpul, Mai. Tapi mungkin hatiku yang mulai kehilangan tajamnya.”

Amai Dira menatap anaknya lama. “Hati yang tumpul biasanya karena rindu yang tak disuarakan. Kau masih memikirkan Mira?”

Asang diam. Suara burung enggang di kejauhan seperti menjawab dengan nada getir.

Esoknya, di bawah pohon tapang, Asang duduk bersama Bung Sawi, sahabat karibnya.

Mereka memandang dua pemuda kampung lain yang sedang membuat tato di tepi sungai.

Jarum bambu menari di kulit, tinta hitam dari jelaga damar perlahan membentuk motif bunga terong.

Bung Sawi menggoda, “Kalau kau yang ditato, bunga terongnya mungkin akan tumbuh jadi bunga layu. Karena hatimu masih belum selesai dengan kenangan.”

Asang menimpali, “Hahaha... lebih baik bunga layu daripada bunga plastik, Saw. Kau tahu, bunga plastik tak pernah mati, tapi juga tak pernah hidup.”

Bung Sawi tertawa lepas. “Filsafatmu lagi! Kadang aku heran, Asang. Kau bicara seperti tetua adat, tapi hidupmu seperti anak muda yang tersesat di pasar malam.”

Asang tersenyum, namun matanya redup. “Tato bunga terong itu… bukan cuma hiasan, Saw. Ia lambang keberanian. Kalau aku menorehkannya di kulit, apakah itu berarti aku sudah berani menghadapi masa lalu?”

Bung Sawi menepuk bahu Asang. “Berani bukan soal tak takut. Tapi soal menatap takutmu tanpa menunduk.”

Sore menjelang malam, kampung mereka ramai dengan persiapan Gawai Hudoq.

Amai Dira meminta Asang membantu menyiapkan persembahan untuk roh leluhur.

Ketika Asang mengangkat tampah berisi beras kuning, seorang perempuan datang, Mira.

Perempuan dengan senyum yang dulu ia jaga seperti rahasia hutan.

Kini kembali setelah dua tahun belajar di Pontianak.

Asang,” sapanya pelan.

Suara itu, lembut seperti aliran sungai setelah hujan.

“Mira…,” jawab Asang canggung. “Kau pulang?”

“Ya. Untuk Gawai. Dan… untuk menjelaskan sesuatu.”

Bung Sawi, yang kebetulan lewat, berbisik jahil, “Wah, penjelasan dari masa lalu! Jangan-jangan ada utang cinta yang belum lunas.”

Asang melirik tajam, tapi Mira tertawa kecil. “Bung Sawi masih seperti dulu. Mulutnya lebih cepat dari pikirannya.”

Bung Sawi mengangkat tangan, pura-pura hormat. “Betul, tapi pikiranku biasanya sudah kalah duluan oleh rasa ingin tahu.”

Ia berlalu, meninggalkan mereka berdua di antara cahaya lentera dan wangi dupa.

Mira menatap langit yang mulai gelap. “Aku tak sempat pamit dulu waktu berangkat ke Pontianak. Bukan karena aku ingin lari, tapi karena aku takut kalau menatap matamu, aku tak jadi pergi.”

Asang diam. Di hatinya ada seribu kalimat yang tak keluar.

“Dan kau tahu?” lanjut Mira, “Aku membawa sedikit tanah dari halaman rumahmu. Aku simpan di botol kecil. Supaya aku ingat asalku.”

Asang menatapnya. “Tapi kau tak kembali untukku.”

Mira menarik napas panjang. “Aku kembali untuk diriku. Tapi dalam diriku… masih ada bagian kecil yang ingin bertemu kau.”

Ada hening panjang. Hening yang berat tapi hangat.

Amai Dira muncul, membawa dupa. “Kalian ini, kalau mau bicara soal hati, jangan di depan rumah. Nanti roh leluhur ikut mendengarkan dan salah paham,” ujarnya dengan nada setengah bercanda.

Mira tersipu, sementara Asang tertawa kecil.

“Baik, Mai. Kami pindah ke tepi sungai saja, biar air yang jadi saksi.”

Malam itu, di bawah langit bertabur bintang, mereka duduk di tepi sungai.

Dari kejauhan, terdengar suara gong dan tawa anak-anak yang bermain api kecil.

Mira berkata, “Kau tahu arti bunga terong?”

Asang mengangguk pelan. “Simbol keberanian dan keteguhan. Pelindung dari roh jahat.”

Mira membuka lengannya. Di sana, tampak tato bunga terong yang baru. Warnanya masih pekat.

“Aku membuatnya di Pontianak. Supaya aku tak lupa keberanian yang pernah tumbuh di sini. Dan… supaya aku bisa memaafkan ayahku.”

Asang terkejut. “Ayahmu?”

Mira menatap air sungai yang memantulkan cahaya bintang. “Ia tak setuju aku pergi. Katanya, perempuan Dayak harus menjaga rumah, bukan mengejar dunia. Tapi aku ingin membuktikan, akar bisa tumbuh di mana saja selama masih tahu tanah asalnya.”

Asang terdiam. Lalu berkata pelan, “Mira, kadang aku berpikir… mungkin bunga terong itu juga lambang luka. Karena sebelum menjadi indah, kulit harus ditusuk dulu.”

Mira tersenyum getir. “Dan dari luka itu, lahirlah keberanian.”

Keesokan paginya, Bung Sawi datang dengan semangat. “Asang! Hari ini kau harus ditato juga. Kalau tidak, aku akan kabarkan ke seluruh kampung bahwa Asang takut jarum lebih dari takut kehilangan Mira!”

Asang memukul bahunya. “Kau ini memang tak punya rahasia yang aman, Saw.”

Bung Sawi terkekeh. “Rahasia itu seperti durian. Kalau disimpan terlalu lama, baunya tetap akan tercium!”

Amai Dira yang sedang menumbuk beras tertawa. “Kalian dua memang cocok. Satu banyak bicara, satu banyak diam. Dua-duanya sama-sama tak cepat kawin!”

Semua tertawa. Bahkan Mira yang lewat sambil membawa anyaman ikut tersenyum.

Namun di balik tawa itu, ada getir yang masih menunggu waktu untuk diucapkan.

Hari Gawai tiba. Gong bertalu-talu, asap dupa melingkar ke langit, dan para penari hudoq menari dengan topeng kayu besar.

Warna merah, kuning, dan hitam menyatu di udara.

Asang berdiri di dekat tungku api, menatap bara yang menyala. Di sebelahnya, Mira berdiri diam.

“Aku sudah memutuskan,” kata Asang tiba-tiba.

Mira menoleh. “Tentang apa?”

“Asal keberanian.”

Ia menggulung lengan bajunya. “Aku akan menato bunga terong, malam ini.”

Mira tersenyum lembut. “Untuk siapa?”

“Untuk diriku. Tapi juga untuk leluhurku. Dan mungkin… sedikit untukmu.”

Mira menunduk, pipinya memerah. “Kalau begitu, aku akan menemanimu.”

Malam semakin larut. Di tepi sungai, Asang duduk di atas tikar rotan.

Seorang tetua adat, Apai Jangkung, menyiapkan alat tato dari bambu kecil dan jelaga damar.

Apai Jangkung berkata pelan, “Bunga terong bukan sekadar lukisan. Ia adalah doa yang menempel di tubuh. Sekali ia ditoreh, ia menjadi bagian dari perjalanan hidupmu. Kau siap?”

Asang mengangguk.

Jarum bambu mulai menari di kulitnya. Sakit. Tapi juga hangat.

Mira memegangi tangannya.

“Rasa sakitnya… seperti waktu kau pergi,” bisik Asang sambil tersenyum.

Mira menatapnya lembut. “Tapi sekarang aku di sini. Dan mungkin, seperti tato itu, aku akan tetap ada di bagian hidupmu, meski nanti kita berjalan di jalan yang berbeda.”

Asang menatap langit. “Bunga terong ini… akan jadi pengingat bahwa keberanian bukan berarti melawan dunia, tapi berdamai dengan luka.”

Apai Jangkung mengangguk pelan. “Kau belajar cepat, Asang. Leluhur pasti tersenyum malam ini.”

Beberapa hari kemudian, ketika Asang sudah sembuh, Bung Sawi datang membawa cermin kecil.

 “Lihat, Asang! Tatonya bagus! Tapi sayang, wajahmu tetap sama, belum bertambah tampan.”

Asang tertawa. “Kalau ketampanan bisa ditato, kau pasti sudah penuh gambar dari kepala sampai kaki.”

Bung Sawi berpura-pura tersinggung. “Kau menghina seni tubuh, Asang! Tapi tak apa, nanti aku akan tato bunga pisang, biar cocok dengan sifatku yang suka menggoda.”

Amai Dira yang lewat ikut menimpali, “Bunga pisang tak lama mekar, Bung Sawi. Cocok benar dengan hatimu yang tak pernah bertahan lama pada satu gadis!”

Suasana pun pecah oleh tawa.

Namun di hati Asang, ada kedamaian yang baru tumbuh.

Di kulitnya, bunga terong itu seolah berdenyut, hidup, seperti napas leluhur yang mengalir bersama darahnya.

Ia menatap sungai, lalu berbisik pelan:

“Terima kasih, Bapa di langit, karena aku telah belajar: keberanian sejati bukanlah tanpa rasa sakit, melainkan menari bersama rasa itu tanpa kehilangan arah.”

Dan dari kejauhan, Mira melambai, rambutnya diterpa angin sore.

Antara mereka, tak ada janji, hanya pemahaman:

Bahwa seperti bunga terong, setiap pertemuan dan perpisahan memiliki akar yang sama, keberanian untuk tumbuh.(*)

LihatTutupKomentar
Cancel