Gema Kayu Penjaga Ingatan Kangkuang Tua

Foto: Ilustrasi/Freepik
Matahari mulai luruh di balik rimbun pohon
ulin yang mengepung tembawang kampung. Cahayanya yang keemasan menyelinap di
antara celah-celah papan Rumah Panjang, menciptakan garis-garis panjang di
lantai kayu yang sudah mengilap oleh ribuan langkah kaki.
Di sudut serambi, seorang lelaki tua bernama Aki Anjang sedang duduk bersila. Di hadapannya, tergeletak sebatang kayu besar yang telah dipahat dengan motif Aso (naga anjing) yang meliuk-liuk rumit. Itu adalah Kangkuang.
"Kayu ini tidak pernah bohong, Lamat," ujar Aki Anjang tanpa menoleh.
Lamat, pemuda yang baru tiga tahun pulang dari kota dengan gelar sarjana hukum di pundaknya, hanya mendengus. Ia sedang asyik dengan ponselnya, mencoba mencari sinyal yang timbul tenggelam seperti ikan di sungai yang keruh.
"Maksud Aki apa? Kayu ya tetap kayu. Kalau sudah lapuk, ya jadi tanah," jawab Lamat ketus.
Aki Anjang tertawa kecil. Suaranya serak, mirip bunyi gesekan bambu. Ia mengambil pemukul kayu, lalu mengetuk pelan pinggiran Kangkuang itu. Duk. Suaranya berat, dalam, dan seolah bergetar hingga ke tulang rusuk Lamat.
"Dengar itu? Kangkuang ini dulunya adalah pohon hidup. Ia menyerahkan nyawanya untuk menjadi suara bagi kampung kita. Orang kota sepertimu mungkin merasa hebat karena punya benda kecil di tanganmu itu untuk bicara ke seluruh dunia. Tapi Kangkuang ini bicara pada jiwa yang dekat. Ia tidak butuh satelit, ia hanya butuh hati yang mau mendengar."
Lamat meletakkan ponselnya, merasa terusik oleh nada bicara sang kakek.
"Hati tidak bisa membangun jembatan beton, Aki. Hati tidak bisa membawa listrik ke desa ini. Kita ini tertinggal karena terlalu lama mendengarkan suara kayu!"
Konflik itu memercik seketika. Lamat berdiri, wajahnya memerah. Ketegangan menggantung di udara, seberat aroma kayu ulin yang basah setelah hujan sore.
"Aki selalu bicara tentang filsafat tanah dan leluhur. Tapi lihat! Tanah kita diambil perusahaan, hutan kita menipis. Dan apa yang Aki lakukan? Memukul kayu ini? Apakah Kangkuang ini bisa memanggil pengacara dari Jakarta?"
Aki Anjang terdiam. Ia tidak marah. Ia justru mengamati guratan ukiran pada Kangkuang itu dengan tatapan nanar. "Lamat, kau tahu kenapa Kangkuang ini harus dilubangi tengahnya agar bisa berbunyi?"
Lamat terdiam, tidak menyangka akan mendapat pertanyaan itu.
"Karena hanya sesuatu yang kosong yang bisa menampung suara kebenaran," lanjut Aki Anjang dengan suara rendah.
"Manusia Dayak itu seperti Kangkuang. Kita harus mengosongkan diri dari ego, dari kesombongan, agar kita bisa bergema. Kau penuh dengan ambisi kota, Lamat. Kepalamu penuh, hatimu penuh. Maka saat hidup memukulmu, kau tidak berbunyi, kau hanya retak."
Kata-kata itu menghujam Lamat. Namun, sebelum suasana menjadi terlalu melankolis, seorang pria paruh baya, Paman Jagau, muncul dari tangga kayu sambil memikul sekeranjang durian.
"Heh! Kalian berdua ini kalau tidak berdebat filsafat, pasti sedang meratapi nasib," seru Paman Jagau sambil tertawa lebar, giginya yang hitam karena sirih terlihat jelas.
"Ini, Aki, anak muda ini merasa otaknya sudah setinggi pohon Tengkawang hanya karena sudah baca buku tebal!" ejek Aki Anjang, suasana langsung mencair.
Paman Jagau meletakkan duriannya dengan bunyi gedebuk. "Lamat, kau jangan terlalu serius. Nanti cepat tua seperti Aki. Aki ini filosofis karena giginya sudah tinggal dua, jadi dia lebih banyak bicara pakai batin daripada pakai mulut!"
Lamat tidak bisa menahan tawa. "Paman bisa saja. Aku hanya kesal, Ki. Aku ingin kita maju."
"Maju itu boleh, Mat," ujar Paman Jagau sambil mulai mengupas durian dengan parang. "Tapi jangan sampai kau berlari begitu cepat sampai bayanganmu sendiri tertinggal di belakang. Orang Dayak yang kehilangan akarnya itu seperti durian ini; luarnya tajam, tapi kalau dalamnya busuk, hutan pun enggan menerimanya."
Aki Anjang kembali membelai permukaan Kangkuang. "Lamat, kemarilah. Coba kau pukul."
Lamat ragu, namun ia mendekat. Ia mengambil pemukul kayu yang berat itu.
"Ingat," bisik Aki Anjang, "Memukul Kangkuang bukan soal tenaga. Ini soal irama jantung. Dalam filsafat kita, Adat dituang, Hukum dibaka. Adat itu dituang seperti air, ia harus mengalir menyesuaikan wadah tapi tidak pernah berubah sifatnya. Jangan pukul dia sebagai musuh, pukul dia sebagai kawan."
Lamat menghela napas. Ia memukul Kangkuang itu. Dung... Dung...
Suaranya bergema melewati atap rumah, melintasi sungai, dan seolah menembus kabut yang mulai turun. Ada getaran aneh yang menjalar ke tangan Lamat. Ia merasa seolah kayu itu sedang bercerita tentang banjir besar seratus tahun lalu, tentang pesta panen yang meriah, dan tentang duka saat seorang tetua wafat.
"Kau dengar?" tanya Aki Anjang lembut. "Kangkuang ini adalah alarm bagi nurani kita. Dulu, jika ada bahaya, ia dipukul dengan nada cepat. Jika ada kematian, nadanya lambat. Sekarang, dunia sedang bising, Lamat. Orang-orang berteriak tapi tidak ada yang mendengar. Kangkuang ini mengajarkan kita untuk kembali pada frekuensi yang sama."
Lamat terdiam lama, matanya menatap hutan yang menghitam di kejauhan. "Maafkan aku, Aki. Aku terlalu banyak bicara soal hukum manusia, sampai lupa hukum alam."
"Sudah, sudah!" Paman Jagau memotong sambil menyodorkan sebiji durian yang kuning tembaga. "Jangan sampai air mata kalian jatuh ke durian ini, nanti rasanya jadi asin! Lebih baik kita makan. Lamat, kalau kau ingin jadi pengacara hebat, kau harus punya suara sekeras Kangkuang, tapi hati selembut isi durian ini."
Mereka bertiga tertawa di serambi itu. Di tengah modernitas yang mulai merayap masuk lewat sinyal-sinyal tak kasat mata, Kangkuang itu tetap setia mematung di sana. Sebuah balok kayu yang bukan sekadar alat musik, melainkan sebuah bejana kosong yang menyimpan rahasia tentang cara bertahan hidup: bahwa untuk tetap teguh di tanah ini, seseorang tidak boleh hanya menjadi kuat, tapi juga harus berani bergema demi sesamanya.
Malam jatuh di Sahamp. Dan ketika Aki Anjang memukul Kangkuang sekali lagi untuk menandakan waktu istirahat, suaranya terdengar seperti doa yang purba, menyatukan langit dan tanah Kalimantan dalam satu getaran yang abadi.(*)
