Ke Mana Arah Pulangmu


Hujan tak henti mengguyur sejak subuh. Di jendela yang mulai berembun, seorang perempuan duduk diam. Namanya Sekar, dan di wajahnya tersimpan luka yang tak bisa dilihat oleh mata biasa.


Tiga bulan lalu, ia kehilangan segalanya: pekerjaannya, rumah kontrakan yang tak sanggup lagi ia bayar, dan... anak satu-satunya, Gibran—dipanggil Tuhan saat demam tinggi tak sempat diobati. Dunia menertawakan air matanya, dan Sekar pun tak tahu harus tertawa atau ikut gila.


“Tak apa jengah dengan derita,” katanya lirih, menirukan lirik lagu yang pernah didengarnya di stasiun kereta. Suara itu datang dari penyanyi jalanan, nyaring namun bergetar, seperti dada Sekar setiap malam.


Ia menghabiskan hari-harinya dengan bertanya, “Harus apa?” kepada langit yang tak menjawab. Ia lelah. Terlalu kecewa sampai ingin menyerah, tapi setiap kali ia berdiri di jembatan layang, menghadap kematian, suara Gibran memanggil, “Mama, jangan pergi dulu.”


Hari ini, ia berjalan pelan ke panti asuhan di ujung kota. Bukan untuk menitipkan apa-apa, hanya ingin merasakan kembali suara tawa anak-anak. Mereka tidak tahu siapa Sekar. Tapi satu anak perempuan berambut ikal menghampirinya dan menggenggam tangannya dengan polos.


“Kakak tersesat, ya? Arah pulangmu ke mana?” tanyanya.


Sekar menunduk, menahan air mata yang siap pecah. “Aku juga sedang mencarinya.”


Di tengah lorong panti yang sunyi, anak-anak menyanyi. Lagu sederhana, tapi lirih dan suci. Sekar tak tahu siapa yang mengajarkan, tapi nadanya familiar:


“Yang termuliakan… bagi yang bertahan…”

Sekar terdiam. Seperti ada yang memeluknya, tak kasat mata. Bukan Gibran, bukan Tuhan, bukan siapa-siapa. Hanya rasa: bahwa ia belum kalah. Bahwa kesedihan tak selamanya kutukan, dan keheningan bisa jadi pintu pulang.


Ia berjalan keluar panti dengan langkah yang masih gemetar, tapi kali ini berbeda. Langit masih abu-abu, tapi hatinya tidak.


“Ke mana arah pulangmu?” ia bertanya sekali lagi, kali ini pada dirinya sendiri. “Ke arah cahaya yang masih menunggu giliran.”


Kadang, yang pulih bukan yang tak pernah retak. Tapi yang bertahan, bahkan saat tak lagi percaya.

LihatTutupKomentar
Cancel