Luka Marta
“Menakutkan!” kata Marta.
Perempuan paro baya itu mulai membuka tabir gelap hidupnya. Dahinya mengernyit. Wajahnya yang mulai keriput masih tersirat luka masa lalu yang perih. Matanya menyimpan lebih banyak rahasia lagi terkait peristiwa yang menimpanya sepuluh tahun silam.
Delapan anggota keluarganya, termasuk suaminya, jadi korban keganasan orang-orang yang kehilangan akal sehatnya. Perkelahian massal di kampungnya telah melahirkan banyak duka bagi perempuan-perempuan lain seperti dirinya. Orang-orang saling menghabisi. Sebuah tragedi yang benar-benar dibumbui rasa benci.
Marta tercekat. Ia seperti kehilangan daya ingat ketika melanjutkan kisah pahit hidupnya. Lidahnya tiba-tiba kelu untuk kembali bercerita. Sensoriknya tak sanggup menggerakan lidahnya untuk berkata-kata. Ia tercenung. Merenung sejenak sambil menunggu kata-kata yang pas untuk menggambarkan pahitnya kehidupan masa lalu, yang membuat dirinya harus berada di tempat penampungan, tempat yang tak bisa dibilang manusiawi. Ia seolah tak ingin kembali ke masa seperti itu lagi. Hingga satu dasawarsa peristiwa itu, Marta tak pernah tahu apa yang memicu bentrok berdarah itu terjadi. Bentrok yang membuat banyak nyawa melayang. Perkelahian yang membuat banyak orang kehilangan kerabatnya. Tragedi yang menjadikan Marta dan orang-orang lainnya sebagai pengungsi. Terusir dari tanah yang selama ini memberinya kehidupan. Ia hanya ingat malam evakuasi agar selamat dari amuk massa yang sudah kehilangan daya pikirnya sebagai seorang manusia.
“Saya sebenarnya tidak mau lari. Tapi keponakan saya memaksa. Biarlah kami mati, tapi kamu jangan. Saya bawa lima anak waktu lari. Tidak ada orang mau membawa. Mereka takut karena anak-anak saya masih kecil. Takut menangis di tengah hutan jadi ketahuan. Belum lagi lapar. Mereka takut tidak bisa selamat.”
Ada amarah dalam hatinya ketika diperintahkan lari oleh keponakannya. Amarah yang tak bisa diutarakan. Amarah yang hanya dipendam selama masa pelariannya. Amarah yang hanya melahirkan air mata. Bukan hanya dirinya, tapi banyak perempuan lain yang juga mengalami hal serupa.
Di malam pelariannya, Marta tak sempat bertemu Akra, suaminya. Ia sudah tak tahu lagi, di mana lelaki yang telah menikahinya seperempat abad lalu itu. Dari lelaki itulah, dari rahimnya lahir anak. Tapi Marta yakin Akra masih hidup. Ia juga yakin suatu hari nanti, Ia dan Akra akan kembali bersama, melanjutkan sumpah setianya sebagai suami istri, seperti yang pernah diucapkan di altar Tuhan, yang disaksikan ribuan umat di kampungnya. Dengan berkat dari Pastor Antonio Guido, yang berasal dari Italia, pada pagi yang basah karena hujan tak mau jeda, janji suci perkawinan itu dilangsungkan. Ia dan Akra mengucap janji setia sehidup semati. Seperti yang tertulis dalam kitab suci, “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
Marta perlu sepuluh tahun untuk percaya jika Akra sudah meninggal. Tapi ia tak tahu bagaimana caranya Akra meninggal. Marta juga tak tahu di mana kuburannya. Ingin rasanya ia mengunjungi makam Akra, tapi Marta tak tahu harus pergi ke mana mencari makamnya. Tak pernah sekalipun nyekar ke makam suami seperti yang dilakukan perempuan-perempuan lain, yang tahu makam suaminya. Marta hanya berdoa dengan tetes air mata, jika tiba waktunya peringatan hari arwah.
“Tak pernah sekalipun saya sembahyang kubur. Saya tak tahu harus ke mana mencarinya. Saya hanya berdoa saja semoga Akra mendapat tempat di sisi kanan Tuhan,” kata Marta.
Suaranya tercekat. Tanpa ia sadari bulir-bulir air bening mengalir dari sudut matanya. Keriput di tulang pipinya membuat wajahnya bagai sungai-sungai kecil yang menjadi tempat air matanya mengalir. Ia mengusapnya dengan tangannya. Hatinya perih. Luka jiwanya belum sembuh benar. Ia tak sanggup melupakan apa yang telah terjadi pada masa lalunya.
“Kami memaafkan mereka yang telah membuat hidup kami seperti ini, tapi kami mungkin tidak bisa melupakan peristiwa itu,” kata Marta. Kali ini, sorot matanya berubah.
***
Sejak pelariannya, Marta memilih menjalani hidup sendiri. Ia membesarkan lima anaknya. Yah, Marta memilih sebagai single parent. Sekuat daya dan pikirnya, ia menghidupi anak-anaknya yang belum bisa mandiri. Apalagi satu anaknya, Fitra yang masih belia saat dibawa lari.
“Ia masih merah. Baru 40 hari,” kata Marta.
Marta lari tidak membawa harta bendanya. Satu-satunya harta adalah baju yang melekat dibadannya.
“Kalau mandi. Baju itu diperas, dipakai lagi. Setiap hari begitu terus. Sampai dua minggu. Itu dicuci, diperas, dipakai lagi,” kataya.
Tak ada cerita indah dalam sebuah pelarian. Rasa khawatir terus menghampiri. Was-was ada orang-orang yang berbuat di luar akal dan logika. Marta ingat betul pada malam pelarian itu. Ratusan orang mendatangi kampungnya. Semua laki-laki di kampung itu tak sanggup menahan amukan massa. Sebagian dari orang-orang yang bertahan habis menjadi korban. Rumah-rumah yang beratap daun dan berdinding papan dibakar. Ternak-ternak dibunuh begitu saja. Para pengamuk benar-benar beringas. Mereka seperti bukan mereka yang sebenarnya sebagai seorang manusia yang memiliki akal dan logika. Mereka benar-benar seperti telah dikuasai roh yang tidak baik. Tak ada lagi rasa welas asih pada tiap diri para pengamuk itu. orang-orang beringas itu berteriak histeris seperti sedang kerasukan. Tanpa henti mereka mengumbar kata-kata makian. Sumpah serapah kepada orang-orang yang kemudian menjadi korbannya. Para pengamuk itu benar-benar sudah bertindak kriminal tanpa bisa dicegah. Marta bergidik melihat apa yang mereka lakukan. Ia bahkan tak sanggup melihat orang yang begitu dikenal juga ikut menjadi bagian para pengamuk itu, bahkan lebih beringas dari orang-orang lainnya. Di bagian lain, Marta tak sanggup menahan laju air matanya saat melihat orang yang disayangnya, adik bungsunya, menjadi bulan-bulan para pengamuk yang tak manusiawi itu. Tak ada yang bisa mencegah amuk massa.
Satu jam kemudian, datang dua truk tentara dari ibu kota kabupaten. Seratus tentara turun dari truk. Tembakan peringatan diberikan. Tembakan itu membubarkan amuk massa. Para pengamuk kocar kacir. Masing-masing kabur menyelamatkan diri. Dalam sekejap, bentrok berdarah itu usai. Marta kesal karena tentara terlambat datang. Korban sudah bertumbangan. Mayat-mayat tanpa kepala bergelimpangan. Rumah-rumah hanya menyisakan arang hitam. Ternak-ternak sudah menjadi bangkai. Tak banyak yang selamat. Marta salah satunya. Ia selamat karena bersembunyi di kebun karet yang tak jauh dari rumahnya. Ia bersama lima anaknya yang masih kecil cepat bersembunyi begitu mendengar akan ada penyerangan dari para pengamuk itu.
“Cepat naik,” perintah seorang tentara berpangkat sersan dua kepada Marta saat melakukan evakuasi orang-orang yang masih tersisa. Marta menolak. Tapi Sukra, keponakannya memaksa.
“Bibi harus pergi. Bawa mereka ini. Biar kami yang tertinggal di sini,” kata Sukra malam itu.
“Cepat naik,” kembali tentara itu memerintahkan Marta naik truk.
“Kami mau dibawa ke mana?” tanya Marta.
“Evakuasi dulu. Supaya tidak ada korban lagi kalau terjadi amuk massa susulan,” jawab tentara itu.
Marta naik ke truk itu. Lima anaknya yang masih kecil juga ikut, termasuk Fitra yang baru berusia 40 hari. Berurai air mata, Marta ikut bersama ratusan orang lainnya untuk keluar dari kampungnya. Tak ada yang bisa dibawa. Semua sudah benar-benar habis terbakar. Rumah yang menjadi tempat berteduh baginya sudah dirampas dengan paksa, dengan cara dibakar. Ia hanya membawa baju di badan. Marta benar-benar telah kehilangan segalanya.
Truk itu bergerak perlahan meninggalkan kampungnya. Orang-orang dalam truk menjerit histeris. Tak mudah bagi mereka untuk menerima kenyataan pahit. Malam yang pekat. Marta tak bisa melihat kiri kanan jalan. Terpal pada truk menghalangi matanya. Apalagi sudah malam. Lampu-lampu jalan tidak menyala. Anak-anaknya menangis terus. Apalagi Fitra yang masih merah. Truk yang bergoyang-goyang membuat sebagian anak-anak mabuk. Marta tak tahu hendak dibawa ke mana. Ia pasrah saja. Hanya berharap truk yang membawanya bisa menyelamatkannya.
Tiba-tiba truk yang membawanya berhenti. Badannya terhuyung agak kuat. Hampir saja ia terjerembab jika tak ada tubuh lain yang menghalanginya. Beberapa orang menggerutu karena sopir truk yang berhenti secara mendadak. Marta tak tahu tempat penghentian itu. Ia hanya mendengar perintah dari luar truk agar segera turun. Di tempat itu, sudah banyak orang-orang lain yang lebih dahulu tiba. Ia tahu hal itu dari suara riuh yang terdengar dari bak truk tersebut. Rupanya sudah ada orang-orang senasib dengannya yang lebih dahulu dievakuasi. Marta kemudian sadar bahwa bentrok massal itu tak hanya mengorbankan dirinya dan orang-orang sekampung saja, tapi banyak orang dari kampung lainnya. Hanya satu yang sama: orang-orang itu memiliki latar belakang garis keturunan yang sama. Itu saja.
“Cepat turun,” suara dari luar truk.
“Ayo, cepat,” tambah yang lainnya.
Tiga puluh orang dalam truk itu kemudian diturunkan. Anak-anak yang lebih dahulu. Kemudian ibu-ibu. Terakhir turun para lelaki yang bisa diselamatkan dari bentrok di kampungnya. Semua pergi tanpa membawa harta benda yang telah dikumpulkan bertahun-tahun. Semua pergi dengan tetes air mata. Hasil memeras keringat hanya menjadi satu kenangan. Marta juga turun. Sambil mengendong anak perempuannya, ia terus terisak. Air mata terus mengurai. Ia belum bisa menerima kenyataan hidupnya.
Marta kemudian diperintahkan menuju tenda yang sudah dipersiapkan. Semua orang dalam truk yang sama tadi, diminta memasuki tenda yang diketahuinya milik tentara. Marta segera tahu kalau dia dan orang-orang sekampungnya yang menjadi korban bentrok sosial itu mengungsi di barak tentara. Tak ada cerita indah di barak itu. Semua bercampur aduk.
Di tenda nomor sepuluh, Marta bersama lima anaknya ditampung sementara. Ia memasuki tenda berukuran enam kali empat belas meter, yang bisa memuat 50 orang. Orang-orang sudah ada yang lebih dulu ditampung dalam tenda berwarna hijau tua itu. Marta berjalan perlahan mencari ruang kosong dalam tenda. Sesekali ia menyapa orang-orang yang senasib dengannya. Kadang ia melemparkan senyum. Senyum getir. Senyum luka.
Di ujung tenda, sebelah utara, Marta menemukan sedikit ruang kosong. Ia bergegas mengajak anak-anaknya menuju ujung tenda.
“Kita di sini saja ya,” katanya.
Tak ada jawaban dari anak-anaknya. Mereka ikut saja apa yang dilakukan ibunya. Dua anaknya yang beranjak remaja membantu membersihkan ruang kosong itu dengan membuang sampah-sampah kecil. Menyapu pasir-pasir yang memenuhi lantai karpet di atas bilah-bilah papan.
Tak ada pembatas dari ruang-ruang itu. Kalau pun ada hanya kain-kain yang terongok, juga tas-tas korban bentrok massal dari daerah lain, yang bisa diselamatkan. Marta dan anak-anaknya tak memiliki semua itu. Mereka hanya mengenakan pakaian di badan saja. Sudah tiga hari tidak berganti pakaian. Gerah menyerang tubuh mereka. Lapar juga menyergap. Sejak hari pertama meninggalkan desa, tak banyak makanan yang bisa disantap. Semua serbaterbatas karena berbagi dengan banyak orang. Bantuan dari orang-orang yang bersimpati belum berdatangan. Hidup di tenda-tenda penampungan sementara benar-benar di luar nalar dan akalnya. Tak seperti kehidupan di rumahnya, walaupun di kampung, memiliki rasa damai. Apalagi ada suami dan anak-anak yang ceria.
Raut muka Marta kembali sedih kala ingat masa-masa itu. Tetapi, kali ini, ia mampu bertahan agar air matanya tidak keluar. Ia tak ingin terlihat cengeng di depan anak-anaknya, juga orang-orang yang senasib dengannya. Marta berusaha tersenyum kepada petugas yang datang mendatanya. Menjawab pertanyaan dengan kalimat terbata. Ada resah dalam setiap kalimat yang terucap.
***
“Sampai hari ini, saya tidak tahu apa salah yang telah kami lakukan. Sampai hari ini, kami juga tak pernah tahu mengapa orang-orang itu begitu beringas kepada kaum kami,” kata Marta kembali tercekat.
Ia berhenti sejenak. Satu bulir air bening mengalir di pipinya. Air itu mengingatkannya pada peristiwa yang membuatnya kehilangan suami. Wajah suami selalu hadir pada malam-malam sebelum tidur. Wajah yang selalu mengajaknya tersenyum. Wajah yang melindungi. Wajah yang tak pernah ada guratan duka. Wajah yang selalu gembira.
Setelah peristiwa itu, semuanya menjadi kelam. Tak ada kegembiraan yang selalu dihadirkan suaminya ketika pulang bekerja. Tak ada lagi cerita lucu yang selalu diceritakan setiap kali selesai santap malam di meja makan dapur. Semua sirna. lenyap.
Hanya luka yang tersisa. Luka yang tak pernah sembuh. (*)