Gugur dan Bertunas


Saya duduk di tangga, tak jauh dari relief yang bercerita tentang sejarah kerajaan di tanah Borneo bagian Barat, pukul 08.00, yang haru pada medio November 2016.  Cahaya matahari menerobos dari celah daun Ketapang, menelisik ke dalam pori-pori yang menggetarkan. Saya sendirian, sebelum lima menit kemudian, seorang pedagang singgah menggelar dagangan.

Selembar daun jatuh. Warnanya menguning. Ia jatuh karena umur, juga lamur. Umur itu usia. Jika daun berumur tak jatuh, pohon tak sanggup menahan lebatnya para daun. Satu-satu ia akan gugur. Satu-satu juga ia akan bertunas. Gugur dan tunas adalah hakekat daun.

Daun yang jatuh tak memilih tempat untuk singgah. Ia pasrah mengikuti arah angin yang menuntunnya. Begitu juga jika bertunas. Ia tak memilih pada dahan atau ranting, ujung atau pangkal. Ia menerima saja, seperti daun yang lebih dulu bertunas menerima kehadirannya, walau tak ada perayaan.

Di bawah pohon, di antara relief, diselingi keriuhan knalpot, apa gerangan arti daun yang jatuh di pukul delapan pagi itu? Di tahun 2016, saya telah melupakan ragam makna dari semua pertanyaan itu.

Waktu itu, semua orang masuk dalam arena kata-kata yang sebenarnya tak substantif. Linimassa dipenuhi prasangka. Semua berebut, bahkan paling terdepan, untuk mengabarkan hal-hal yang tak substantif tadi.

Saya memandangi daun tadi. Seperti kata Tere Liye, dalam satu novelnya, "Daun yang jatuh tak pernah membenci angin." Begitulah daun. Ia pasrah karena hidup mesti berakhir.

Lalu saya teringat Sapardi Djoko Darmono. Dalam satu penggalan puisinya, ia menulis, "aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu." Semua mengingatkan saya bahwa mencintai, dalam konteks kemanusiaan, sangatlah sederhana.

Pontianak, 17 November 2016
Budi Miank
LihatTutupKomentar