Keto Berkicau dalam Jejak Puisi


Kris Tampajara menerbitkan satu buku antologi puisi. Ia memberinya judul, "Jejak; Lipatan Musim di Tubuhmu." Isinya berupa kumpulan puisi yang ditulisnya sejak tiga tahun terakhir, 2014 hingga 2016. Totalnya ada 162 puisi. "Sama dengan jumlah tahun berdirinya tarekat Bruder MTB," kata Kris tentang jumlah puisinya tersebut.

Kris Tampajara itu nama aslinya Hilarinus Krispinus Tampajara. Sejak 1997, lelaki yang lahir di kampong Sibol ini, memutuskan untuk menyelami hidup sebagai religius bruder di tarekat Maria Tidak Bernoda. Kebiasaannya mengganggu lemari buku perpustakaan membawanya mencintai dunia literasi.

"Niat menulis baru muncul ketika seorang bruder pembimbing memaksa menulis buku harian dan kronik waktu menempuh pendidikan dasar religius," katanya memberi alasan.

Buku kumpulan sajak yang diterbitkan itu adalah satu dari sekian bukunya, di antaranya, Kamus Dayak Bakati-Indonesia (2013); dan Kearifan Lokal Tak Mati (2014), yang ditulisnya bersama Hendrikus Adam. Buku kumpulan sajak ini menjadi karya sastra pertama baginya. Keindahan segara kata yang dalam puisi-puisinya mengajak kita untuk melihat hidup lebih dalam lagi.

Tak kurang, Tokoh Sastra Pilihan Majalah Tempo 2011, Hanna Fransisca sanggup meluangkan waktu untuk memberikan endorsement pada buku tersebut.

"Ia menangkap setiap detail peristiwa, kemudian merefleksikan maknanya dalam bahasa pribadi yang puitis," tulis Hanna.

Bukan hanya Hanna yang kepincut. Yuli Nugrahani, seorang penyair yang tinggal di Lampung pun memberi apresiasi. "Ketika roh menghembusi pembaca lewat kata-kata yang kemudian menjelma permenungan yang menggerakan masihkah puisi dianggap tak punya daya," kata Yuli.

Lalu ada Roedy Haryo Widjono yang juga memberikan testimoni atas "Jejak' itu. Penyair yang tinggal di Samarinda, Kaltim ini melihat dimensi spiritualitas dalam puisi yang diterbitkan itu. Ia mewujud dalam manifestasi kasih sayang terhadap sesama dan memandang semua setara di hadapan Tuhan.

"Hal itu yang membuat kita seolah berjumpa dengan Umbu Landu Paranggi, yang puisinya kental dengan spiritualitas," tulis Roedy.

Penulis mempersonafikasikan dirinya sebagai Keto, sejenis burung yang bagi orang Dayak, memiliki makna filosofis dalam kehidupannya.

"Jika seseorang yang hendak berpergian, kemudian burung Keto berkicau, orang itu spontan akan berhenti, kemudian mendengarkannya dengan cermat," kata Kris.

Buku ini memang lebih mengisahkan sebuah perjalanan, baik secara harafiah maupun spiritualitas. Buku ini sebagai bentuk jejak dari Keto yang selalu terbang dan pada saat tertentu bisa berkicau. Seseorang harus mendengar dan memaknai kicauan itu dengan cermat, apakah ia berupa kebaikan atau sebaliknya.

Pada 'Mengingat Asal Muasal' (hal 100), ia mengajak kita untuk mengingat dari mana berasal. Jelas ia mencoba menelisik tentang ketiadaan. Seseorang yang terlahir ke dunia menjadi kaum yang tak memiliki apapun, kecuali semangat. Itu pun, jika sang waktu mau menghembuskannya.

Bagi saya, buku ini jelas mengetuk hati kita akan sebuah perjalanan hidup. Dan, hidup menjadi lebih berarti ketika kita mampu menyelaminya. Demikian!

Pontianak, 11 November 2016
LihatTutupKomentar