Reuni Kecil yang Universal


Hujan turun merintik. Awan menutup terang matahari. Pukul setengah delapan, orang-orang bergerak menuju Gua Maria yang Dikandung Tidak Bernoda, Pusat Damai. Ada misa pada Minggu pagi itu.

Misa dimulai pukul delapan. Umat sudah mengisi bangku-bangku memanjang. Sebagian membawa alas berupa koran untuk alas duduk. Sabtu malam, hujan mengguyur gua itu. Bangku keramik belum kering benar. Pagi itu tanda hujan juga terlihat.

Kami memilih bangku yang membelakangi anak sungai. Air keabuan mengalir. Agak deras. Ada tebing menurun yang menjorok ke sungai kecil itu. Bila tak hati-hati, atau lupa bahwa kursi tak ada sandaran, maka pasti terjatuh masuk sungai kecil itu.

Cukup ramai umat yang datang. Misa pagi itu dipimpin oleh Pastor Iosephus Erwin, seorang kapusin. Kami menjadi orang yang berbeda di gua itu. Sebab, sejak tamat dari SMP Yos Sudarso, juga meninggalkan asrama, sebagian dari kami belum pernah kembali ke gua itu. Sudah 25 tahun berlalu.

Saya dan beberapa teman yang tak menetap di Pusat Damai datang menghadiri reuni kecil, yang kami gagas karena dipertemukan secara virtual. Kami menyebutnya reuni lintas angkatan, agar tak memberi kesan eksklusif. Bagi kami, alumni itu satu. Ia universal. Angkatan hanya soal siapa duluan masuk. Dengan begitu, kami tetap memberir ruang dan kesempatan, juga mempersilakan alumni yang lain juga turut serta.

Usai misa, acara reuni kami gelar di komplek persekolahan. Sangat sederhana. Jauh dari kemegahan. Tapi kami merayakan dengan gembira. Guru, baik yang masih aktif, pensiun, bahkan sudah mengabdi di sekolah lain, kami undang. Tidak semuanya datang. Tapi kami senang, mereka menyambut kami seperti ketika kami masuk ke sekolah itu.

Pun begitu dengan teman-teman sekelas, seangkatan, bahkan berbeda leting. Kami yang sudah lama tak bersua sapa, berusaha keras memutar kembali ingatan pada masa-masa culun dan lucu dulu. Jika sudah mampu memutar ulang rekaman itu, kami tertawa senang sambil menggoda tabiat masa imut dan menggemaskan.

Kadang kami mengernyitkan dahi. Kadang tepuk jidat, jika kelupaan-kelupaan lebih kuat dari ingatan. Kemudian berusaha keras menceritakan kelucuan masa kecil agar teman mampu mengingat.
Reuni kecil yang universal itu sungguh mengesankan. Kami datang dengan kerinduan yang kemudian kami tumpahkan bersama.

Tapi, pesta selalu berakhir. Kami kemudian pamit pada satu sama lain, dengan cara kami sendiri. Semua berharap, selalu ada ruang dan waktu untuk pertemuan kembali. (*)

Pusat Damai, 23 Oktober 2016
Budi Miank
LihatTutupKomentar