Hujan di Taman Kota
DARA menatap hujan dari balik jendela kamarnya. Butiran-butiran air yang jatuh mengingatkannya pada Josh, kekasihnya yang setahun ini tak pernah beri kabar. Dara rindu saat bersama Josh bermandikan hujan di taman kota.
Keduanya sengaja tak beranjak dari kursi taman itu, merelakan tubuh diguyur hujan yang jatuh dari langit. Dara ingin mengulang masa-masa itu. Ingin merasakan dekapan lengan kekar milik Josh. Merasakan hangat yang mengalir dalam setiap sudut nadinya walaupun hujan membuat orang-orang menepi. Sungguh, Dara ingin mengulang kembali.
Hujan belum juga reda. Ingin ia menghentikannya, tapi Dara segera tahu hujan itu anugerah bagi banyak orang. Air yang jatuh ke bumi dengan kecepatan rendah itu, dengan bulir-bulir jernih dan ada sela dalam tiap tetesannya, melahirkan banyak cerita bagi pujangga.
Kendati tak sanggup menitiskan tetes hujan, Dara tetap menikmatinya hingga ia benar-benar reda. Hujan telah membantunya untuk mengingat masa-masa indah bersama Josh. Dan, tentu saja ia ingin mengulang kembali.
“Josh, aku menunggu kabarmu,” batin Dara.
Ia masih ingat ketika di taman kota. Hujan telah menghipnotis dirinya untuk meresonansikan ingatannya pada masa-masa bersama Josh di bangku taman kota. Dengan kata-kata yang nyaris tak terdengar, bahkan kalah nyaring dengan detak jarum jam, Dara teringat sebuah ucapan yang ia tak tahu milik siapa, “di dalam hujan, ada lagu yang hanya bisa didengar oleh mereka yang rindu.”
Setelah hujan reda, ilalang dan rerumputan melahirkan aroma khas yang tak mungkin dilupakannya. Ya wangi khas senyawa petrichor. Dara yang sedari tadi menikmatinya dari jendela kamar nelangsa. Perlahan ia tutup tirai ungu hadiah dari Josh, yang diberikan sehari sebelum lelaki tampan itu berangkat ke Jakarta. Dara menghempas tubuhnya di tempat tidur yang seprainya juga berwarna ungu. Ya, Dara suka ungu. Baginya ungu bukan sekadar penantian, ungu juga sebagai simbol cinta.
Dara melirik selulernya. Berharap ada panggilan atau satu pesan masuk. Dan, ia berharap itu datang dari Josh. Tapi Dara dirundung kecewa. Tak ada call maupun message yang masuk ke seluler dengan chasing ungu itu. Ia kembali menekur diri di depan meja rias yang cerminnya mulai kusam. Dara memaki dirinya sendiri.
Ia marah karena tak bisa melupakan Josh, yang sudah pergi setahun lalu. Ia belum bisa menutup pintu cintanya untuk lelaki berwajah tirus itu. Walau ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk mengingat kembali apa yang pernah dilakukan bersama Josh.
Berkali-kali ia mengingatkan dirinya, biarkan semua jejak bersama Josh hilang oleh hujan dan debu-debu jalan yang tertiup angin. Tetapi, sekali lagi, Dara tak bisa membohongi hatinya. Ia tetap membutuhkan Josh untuk berkeluh kesah tentang rindu, cinta, juga tentang malam-malam yang sembab. Dan, Dara yakin Josh juga memiliki rasa yang sama.
Itulah sebabnya, ia masih memiliki harapan suatu hari nanti, Josh datang dan kembali memeluknya. Sama seperti saat-saat pertama kali mereka jatuh cinta.
“Aku rindu kamu, Josh,” gumam Dara.
***
Dara menggeliat. Alarm yang di-setting di selulernya melahirkan suara berisik. Dara tak hirau. Ia masih senang bergumul dengan bantal dan selimut di kamarnya. Matanya masih malas untuk terbuka. Kantuk belum mau beranjak. Padahal jarum jam di dinding kamar dengan ukuran tiga kali tiga itu sudah menunjukkan pukul enam tiga puluh.
Setengah jam lagi, ia harus berangkat ke kampus, yang jaraknya dari indekos sekitar satu kilometer. Ya, kira-kira setengah jam naik sepeda motor. Setengah jam lagi, mata kuliah kalkulus akan dimulai. Dosen yang memberi materi sangat disiplin. Tak ada kompromi bagi mahasiswa yang telat masuk.
Telat lima menit, tak boleh ikut kelas. Dara sudah dua kali tidak ikut mata kuliah ini. Ia tak ingin tiga kali bolos. Itu akan mengurangi persentase kehadirannya di kelas. Jika kurang dari 70 persen saja, maka ia tak bisa ikut ujian akhir semester. Ini pertanda ia harus mengulang kembali mata kuliah empat satuan kredit semester itu.
Dara bangun dengan mata yang masih sembab sisa kantuk karena tidur sudah larut semalam. Sekenanya ia sambar handuk dan berlari memasuki kamar mandi di kamarnya.
Dua menit kemudian, ia keluar dari kamar mandi. Segera ia berganti pakaian. Waktu semakin mepet. Ia harus segera tiba di kampus untuk ikut mata kuliah jam pertama. Sepeda motor matik biru dikebutnya melintasi jalan yang penuh berangkal batu.
Sesekali ia mengutuki jalan yang tak kunjung diperbaiki. Sudah bertahun- tahun, ia melewati jalan itu, sudah bertahuntahun juga tak pernah diperbaiki. Banyak lubang juga. Kalau hujan tiba, air akan tergenang pada lubang-lubang itu. Kalau lagi muism panas, debu menjadi menu sehari-hari. Tak ada jalan lain menuju kampus. Mau tidak mau, Dara harus melewati jalan tersebut.
Tiba di parkiran, tak sempat lagi ia merapikan sepeda motornya. Satpam kampus yang menegurnya pun tak dihiraukannya. Ia berlari sekencang-kencang agar tak terlambat dosen yang mengajar mata kuliah kalkulus pagi itu. Dara tiba di kelas bersamaan dengan dosen yang mengajar. Ia tersenyum sambil menganggukan kepala.
“Selamat pagi, Pak,” sapanya.
Theo, dosen muda yang baru kembali dari program pascasarjana di sebuah universitas ternama di Jakarta, hanya mengangguk membalas dengan senyum juga.
“Tumben nggak telat?” tanya Theo.
Dara hanya senyum. Ia tak menjawab pertanyaan Theo. Gadis berkulit kuning langsat itu bergegas menuju kursinya di baris kedua dari depan. Dari sudut itu, Dara leluasa menikmati wajah ganteng Theo. Banyak mahasiswa cewek yang terpikat oleh paras dosen itu. Dara juga merasakan hal yang sama. Tapi ia belum bisa melepaskan Josh dari lembaran-lembaran cintanya.
Dara tak lagi fokus pada bahan yang diajarkan oleh Theo. Ia hanya mendengarkan suara Theo saja. Suara yang begitu dikenalnya. Iya, suara yang mirip dengan kepunyaan Josh. Pikirannya pun melayang mencari bayangan Josh. “Dara, pulang. Sudah selesai,” kata Dhea, teman sebangkunya.
“Hayo, melamun? Josh ya?”
Dara tersipu. Ia kaget. Theo sudah tidak ada di depan kelas. Seisi kelas sudah kosong. Ia tak bisa menyembunyikan kegalauannya. Tetapi, Dara tak ingin temannya mengetahui kalau dirinya sedang merindu pada Josh. Segera ia berkemas. Tanpa sepatah kata, Dara tinggalkan Dhea yang masih menunggu jawaban dari pertanyaannya tadi.
***
Sebentar lagi Valentine. Kata orang-orang itu hari kasih sayang. Hari yang paling romantis bagi seseorang yang sudah memiliki pacar atau pasangan hidup. Hari yang tepat untuk mengucapkan rasa sayang terhadap pasangan. Apalagi kalau sedang mesra-mesranya. Hari yang ditunggu-tunggu banyak orang. Dara juga menunggu datangnya hari valentine itu. Kali ini, hari valentine tak bisa seromantis tahun-tahun sebelumnya. Tak ada Josh di hari valentine ini.
Dara masih ingat Valentine lima tahun lalu. Hari-hari awal ia dan Josh menjalin kasih. Hari-hari yang indah. Dunia memang terasa milik mereka berdua. Orang lain hanya menumpang. Hari-hari jatuh cinta yang membuat hati berbunga bagai musim semi.
Tak ada yang lebih indah selain bertemu, bercerita, dan bermanja bersama Josh. Iya, Josh menyatakan cinta kepadanya pas hari valentine. Begitu sederhana. Hanya setangkai kembang yang dipetiknya di taman kota. Josh tak mempedulikan soal larangan memetik bunga di taman itu.
Baginya, ia ingin segera menyatakan cintanya kepada gadis yang sudah dikenalnya setahun belakangan ini. Bukan mawar, juga bukan melati. Hanya bunga tulip. Tapi dengan cara yang sederhana itu, Dara merasa Josh begitu tulus mencintainya.
“Aku ingin kau menerima ini. Aku dan kamutercipta untuk saling melengkapi. Aku sungguh mencintaimu. Taman ini, akan menjadi saksi bagi cinta kita. Bunga ini, akan menjadi mahligai terindah untuk kebersamaan kita. Jagalah. Jangan sampai layu. Aku ingin kau menjadi cinta terakhirku,” kata Josh.
Dara menerima tulip yang dipersembahkan Josh kepadanya di bangku taman kota. Orang-orang yang ada di taman senyum- senyum. Ada yang menggoda sambil berkata, “terima dong cintanya.” Dara hanya terdiam.
Dia berperang dengan batinnya; antara menerima, menolak, atau menggantung harapan Josh pada rasa cintanya. Lama Josh menunggu jawaban dari Dara. Wajahnya penuh harap. Dara membaca ada kecemasan dalam hati Josh. Tapi ia membiarkan Josh membuncah pikirannya, menerka apa jawaban yang akan diberikan Dara atas pernyataan cintanya.
“Bagaimana?” tanya Josh.
Lelaki jangkung itu mulai tak sabar menunggu. Dara hanya menggerakan alisnya ke atas. Josh makin penasaran. Ia tak paham arti gerakan alis perempuan itu. Josh kembali melontarkan tanya yang sama kepada Dara.
Orang-orang di taman kota juga sama. Mereka menunggu jawaban yang akan diberikan gadis itu kepada lelaki yang menyatakan cintanya pada hari valentine, di sebuah taman kota. Sebuah taman yang dipenuhi bunga-bunga.
“Iya,” kata Dara singkat.
Itu sudah cukup bagi Josh. Orang-orang di taman yang melihat gerak tubuh Dara bertepuk tangan. Mereka juga gembira karena dua anak muda itu sukses saling menyatakan cinta. Valentine benar-benar hadir di antara keduanya. Josh memeluk Dara.
Ia tak peduli lagi ada banyak orang di taman itu. Ia hanya ingin merayakan kegembiraannya setelah Dara menerima cintanya. Dalam hati, Josh berjanji akan selalu menjaga cinta itu.
Hujan pun luruh. Ikut bergembira merayakan cinta bersama semangat valentine. Josh dan Dara membiarkan tubuhnya diguyur hujan. Ketika semua orang-orang menepi, berlari dari hujan, dua anak muda ini masih betah membasahi tubuhnya dengan bulir-bulir bening yang jatuh dari langit. Hingga lampu jalan dinyalakan, Josh dan Dara belum mau beranjak dari taman kota.
***
Valentine kali ini tak ada cerita romantis seperti lima tahun lalu. Kali ini, Dara sendiri. Tak ada Josh seperti tahun-tahun terindah dulu. Josh pergi ke ibukota negara, Jakarta. Dara pergi ke taman kota pagi itu. Ia ingin mengenang saat-saat Josh menyatakan cintanya dengan setangkai tulip, yang disaksikan orang-orang dan direstui hujan setelah ia menjawab cinta kekasihnya tersebut. Taman kota tak banyak berubah.
Orang-orang juga masih seperti dulu, masih ramai bertamu di taman kota. Bunga-bunga juga sedang mekar. Kembang yang mekar mengundang kumbang datang. Mereka menari-nari di taman bunga sambil sesekali hinggap di putik bunga.
Singgah sebentar kemudian terbang lagi. Namun, tak ada lagi tulip di antara bunga-bunga itu. Ia seperti Josh
yang juga menghilang. Jejaknya tertutup ruang dan waktu.(*)