Tiga Bungsu Tetapi Hanya Satu Usu

tiga, bungsu, satu, usu, tiga bungsu, satu usu, tiga bungsu tetapi, hanya satu usu, bungsu tetapi hanya, tetapi hanya satu,


Seorang lelaki duduk di depan rumah ditemani dua cucunya. Pada Sabtu sekira pukul sepuluh itu, kami melintas di depan rumahnya yang berada di depan lapangan pendeta, Jelimpo. Lelaki berbaju biru dongker itu tampak mengernyit wajah. Dari jarak sekira sepuluh meter, dia sudah tidak bisa mengenali siapa yang melintas di depan rumah.

“Mata sudah kurang awas,” lelaki itu menjawab ketika saya sapa. Awas, dalam bahasa be aye-bahasa tutur masyarakat adat Angan-bermakna sudah tidak begitu jelas lagi kalau melihat pada jarak tertentu.

Saya yang pulang bersama keluarga, istri dan dua anak, singgah di kediaman lelaki itu. Setelah mendekat, ia tersenyum dan menyapa. “Budi beh ngen tadi,” katanya. Kalimat itu bermakna, “Budi rupanya itu tadi.” Saya tersenyum. Bertanya kabar padanya. Menyalami. Begitu juga dua anak dan istri. “Itu kakek. Adik dari Nek Ombon.” Ombon adalah ibu saya. Nenek dari dua anak saya. Saya abadikan namanya dalam sebuah buku berjudul, “Ombon, Perempuan Pengembara.”

Ya, lelaki tadi adalah bungsu dari ibu saya. Kami memanggilnya Wak Usu. Orang-orang juga memanggilnya Usu. Nama aslinya Adu. Tetapi, sekarang lebih akrab disapa Naning. Saya tak paham betul, mengapa orang-orang memanggilnya Naning. Naning adalah sejenis lebah yang kalau menyengat bisa membuat seseorang demam.

Ketika saya wisuda pada 2001, dia datang ke Pontianak. Hanya tiga orang keluarga yang datang. Dua lagi, abang saya nomor enam dan anak dari kakak nomor empat. Dari Asrama Sepakat II, kami berjalan kaki menuju Auditorium Untan. Kendati begitu, ketiganya gembira juga. Saya pun begitu. Wak Usu mewakili bapak yang sudah berangkat ke dimensi lain pada 1999. Sementara itu, sudah tidak begitu kuat lagi untuk berpergian kala itu.

Itu tentang bungsu yang satu tadi. Masih ada dua bungsu yang mesti diceritakan. Saya salah satunya. Saya adalah anak bungsu dari tujuh bersaudara. Namun sangat jarang saya dipanggil Usu. Hanya beberapa keponakan saja yang memanggil dengan sebutan itu. Mungkin sudah menjadi patennya Wak Usu yang satu tadi, jadi kami yang bungsu jarang dipanggil Usu. Sebab, kalau panggilan sama dengan paman yang masih hidup nanti dianggap tulah.

Begitu juga anak saya. Itu lelaki yang di dalam foto mengenakan baju merah. Dia anak bungsu saya. Kuberi dia nama Pedagi Kanak. Entahlah dari mana ide untuk memberi nama itu muncul. Nama itu terlintas begitu saja ketika dalam tiga bulan, belum ada nama yang pasti untuk dia. Tetapi, pedagi bagi kami, adalah tempat untuk berserah kepada Jubata. Kanak, bisa bermakna anak. Begitu juga bagi kami, Kanak bermakna kami. Namun, kembali lagi, dia tak akan dipanggil Usu, kendati dia anak bungsu. (*)

LihatTutupKomentar
Cancel