Dayak Angan dalam Pusaran Mozaik Suku dan Bahasa Dayak
Sabtu lalu, ketika mengikuti pertemuan keluarga (Family Gathering) Paroki Keluarga Kudus, Albert Niagara mendekat saya. Senior saya di Asrama Bruder Sepakat II (sekarang Asrama Bonaventura) ini meminta saya untuk menulis mozaik Dayak Angan. Mozaik ini sebenarnya sudah ditulis dan diluncurkan di Pontianak pada 17 Mei 2008. Albert salah satu dari tiga penulis dari buku yang berjudul, Mozaik Dayak, Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat. Selain Albert, dua penelusur lainnya yakni Sujarni Alloy dan Chaterina Pancer Istiayani.
Ketika buku
itu diluncurkan, saya memberikan koreksi atas isinya. Terutama yang membahas Subsuku
Dayak Angan. Isi lengkap kritik saya atas buku itu bisa dibaca pada artikel ini. Tadinya saya berharap ada edisi revisi dalam buku tersebut. Namun, hingga
2022, tak ada terbitan atau edisi cetak ulang, yang memungkinkan untuk
melakukan perbaikan atas koreksi yang saya berikan.
Lalu, Sabtu
kemarin, Bang Albert, begitu saya memanggilnya, mengungkapkan, berencana
membuat buku serupa. Namun, kata dia, hanya untuk wilayah Kabupaten Landak. Dayak
Angan termasuk dalam wilayah administrasi pemerintahan di Kabupaten Landak.
Saya langsung mengiyakan permintaan itu. Bagi saya, apa yang akan dilakukan
Bang Albert sangat baik untuk kemajuan peradaban, terutama mendokumentasikan tentang
Dayak.
“Oke bang.
Nanti kalau sudah jadi, akan saya kirim,” kata saya menjawab permintaan itu.
Senin pagi,
ia kembali menghubungi saya terkait artikel tersebut. Saya jawab, belum.
Tetapi, saya berjanji akan menulisnya pada Senin malam, dan akan mengirim
tulisan tersebut kepada dia pada besoknya atau Selasa pagi. Namun, artikel
tersebut akhirnya bisa selesai pada Senin malam itu. Sebelum pukul delapan malam,
naskah itu sudah saya kirim kepada Bang Albert lewat pesan pribadi whatapps.
Sungguh teknologi membuat segalanya menjadi lebih mudah.
Sebagai
orang yang lahir dan besar di Angan, saya merasa cukup pantas untuk menulis
sedikit informasi tentang Dayak itu. Kendati sekarang tak lagi mengantongi KTP
Angan, saya selalu datang ke Angan jika kerinduan akan kampung itu hadir,
terutama saat Natal. Hitung-hitung sekalian liburan sambil membawa anak-anak
melihat di mana tembunik saya ditanam. Selain ketika Natal, saya juga kerap
pulang ke kampung jika digelar Ritual Notokng. Ritual yang sudah saya narasikan
dalam buku Notokng, yang sudah dua kali cetak.
Dayak Angan
bermukim di wilayah adat atau Benua Angan di Kecamatan Jelimpo, Kabupaten
Landak. Wilayah adat Angan berbatasan dengan Kecamatan Balai (Batang Tarang),
Kabupaten Sanggau. Dalam percakapan sehari-hari, Orang Dayak Angan menuturkan
Bahasa Be’ Aja (Be’ Aye). Mayoritas penutur Bahasa Be’ Aja ini berada di Kecamatan
Balai. Dayak Angan menjadi satu-satunya masyarakat adat yang menuturkan Bahasa
Be’ Aja di Kabupaten Landak. Sementara subsuku lainnya yang juga berada di
Kecamatan Jelimpo menuturkan Bahasa Be’ Aje.
Secara
administratif pemerintahan desa, wilayah adat atau Benua Angan ini masuk dalam Desa
Angan Tembawang. Ada tujuh kampung yang termasuk dalam wilayah adat atau Benua
Angan, yakni Angan Tembawang (kerap disebut sebagai Rumah Angan), Angan Pelanyo
(Angan Pelanjau), Sepmtigakng (Angan Rampan), Belanak (Angan Landak), Angan
Tutu, Angan Bangka, dan Merimo (Angan Limau).
Jumlah
penduduk di wilayah adat atau Benua Angan per 2021 mencapai 1.576 jiwa. Jumlah
ini terdiri atas 850 laki-laki dan 726 perempuan. Sementara jumlah kepala
keluarga mencapai 412. Namun, penutur Bahasa Angan tidak hanya menetap di wilayah
adat atau Benua Angan. Ada juga Angan diaspora, yang sudah tidak lagi berdomisili
di wilayah adat atau Benua Angan, namun tetap menuturkan bahasa Angan atau Be’
Aja (Be’ Aye). Mereka tersebar di berbagai kota dan kecamatan di wilayah Kalimantan
Barat, bahkan di luar Kalimantan Barat.
Dayak Angan
sudah menetap di wilayah adat atau Benua Angan sejak zaman nenek moyang mereka
dulu. Orang-orang yang menetap di wilayah Benua Angan merupakan penduduk asli
di tempat yang sekarang mereka huni. Dayak Angan menetap pada dua aliran
sungai, yakni Dai’ Ntawan (Rentawan Hulu) dan Sungai Angan. Aliran air Sungai
Rentawan Hulu ini bermuara pada Sungai Landak di Kecamatan Ngabang.
Itulah
sebagian cerita tentang Dayak Angan. Saya memang lebih suka menyebutnya sebagai
Suku Angan saja. Pun begitu jika ada yang bertanya, “orang mana?” Saya akan
menjawab, “Orang Angan.”