Surat Rezim
surat, rezim, surat rezim, radakng, pak pong, marage, mangkeh, kepala kampong, perkebunan sawit, kelapa sawit, kelapa, kebun kelapa sawit
Malam ini, sami' radakng bergelimang cahaya terongkeng. Orang-orang mulai keluar dari bilik-bilik. Sebuah pertemuan besar akan segera dimulai. Kemarin malam, penatua radakng mengundang warga agar berkumpul. "Ada berita besar yang harus saya sampaikan," kata Pak Pong. "Berita yang menentukan, apakah kita masih bertahan atau tidak dengan kondisi sekarang ini."
Begitulah cara Pak Pong,
Kepala Kampung Dai Ntawan, mengabarkan undangannya. Sejak pagi, orang-orang
sudah bertanya. Ada apa gerangan? Pun begitu dengan Mangkeh. Beragam tanya
dalam benaknya. Tapi tak satu pun yang beroleh jawab. Dia hanya menerka-nerka
saja.
"Mungkin Pak Pong
hendak mengawinkan anaknya?" kata Mangkeh kepada istrinya yang memberi
tanya padanya.
"Ah, anak Pak Pong masih
sekolah, belum cukup umur," timpal ibu.
"Mungkin juga Pak
Pong mau bikin pesta tiga hari tiga malam karena ladangnya memberi hasil berlebih?"
kata bapak lagi.
"Amin," sahut
ibu.
Hingga menjelang
pertemuan besar malam itu, tak ada satu pun warga yang tahu alasan Pak Pong.
Semua hanya menduga. Menerka. Menebak. Ya, kira-kira semua. Saling tanya satu
dengan yang lainnya. Tapi semua tak ada yang bisa memberi informasi akurat,
bahkan menantu Pak Pong, suami dari anak pertamanya.
“Selamat
malam,” kata Pak Pong membuka pertemuan malam itu.
Ia
menghela napas sejenak. Matanya mengelilingi seluruh ruangan. Lelaki 58 tahun
itu memandangi satu per satu wajah-wajah warga yang hadir di sami’ radakng. Pak
Pong seolah-olah ingin melihat untuk terakhir kalinya wajah-wajah orang-orang
yang telah berdiam di radakng selama berpuluh tahun. Akankah ini menjadi tahun
terakhir bagi mereka tinggal di rumah peninggalan leluhur itu? Bisa jadi iya,
bisa jadi juga tidak.
Secarik
kertas tanpa amplop diletakkan di hadapannya. Surat dengan nomor kop nama
sebuah lembaga pemerintah, dengan perihal “penting’ yang ditulis dengan huruf
kapital. Surat itu ditandatangani Pak Camat diketahui oleh Bupati dan tembusan
ke berbagai instansi. Sekali lagi, Pak Pong menatap seluruh warga yang hadir.
Kemudian mengalihkan pandangannya ke selembar kertas tadi. Ia meraihnya dan
membaca dalam hati sejenak.
“Surat
ini diantar oleh petugas kecamatan,” kata Pak Pong. Semua yang hadir memandang
Pak Pong. “Dua hari lalu,” lanjutnya.
Surat
ini, kata Pak Pong, “meminta kita untuk meninggalkan radakng ini." Lelaki
beranak empat ini menghela napas. Ada sesuatu yang lepas setelah memberikan
informasi itu kepada warganya. Sejenak, sami’ radakng hening. Warga saling
pandang. Mereka seolah tak percaya mendengar kabar yang disampaikan Pak Pong.
“Apa
Pak Pong salah baca,” kata Mangkeh, yang belum percaya atas berita itu.
“Ah,
bisa jadi. Tapi kan Pak Pong sudah baca surat itu dua hari lalu. Tak mungkin
rasanya dia salah baca,” sahut Balahari yang duduk di samping Mangkeh.
“Kacau
kalau benar kabar itu. Kita mau tinggal di mana?” sahut Mangkeh.
Balahari
hanya terdiam. Ia sibuk berbicara dengan pikirannya sendiri. Ia tak ingin
menerka-nerka. Tapi kabar yang diberikan Pak Pong sungguh membuatnya terkejut.
Kabar yang seharusnya tak didengar pada saat-saat seperti ini.
“Areal
radakng ini masuk konsesi perkebunan kelapa sawit milik PT ABS,” sambung Pak
Pong.
Mendengar
itu, sami’ radakng menjadi riuh. Orang-orang bertanya-tanya apa itu PT. ABS.
Mengapa permukiman mereka masuk konsesi perkebunan kelapa sawit? Sudah tidak
adakah areal lain lagi untuk perkebunan itu? Mengapa pemerintah memberikan izin
konsesi masuk ke permukiman mereka? Semua pertanyaan itu berseliweran dari
mulut warga. Namun, tak satu pun yang berani mempertanyakan hal tersebut kepada
Pak Pong. Pertanyaan-pertanyaan yang keluar dari mulut warga, seperti
lebah-lebah yang menggerutu di dekat sarangnya.
Baca Ini: Buku Notokng, Sebuah Pintu Masuk
Dua
hari setelah aupm di sami’ radakng, Mangkeh menelepon Marage,
anaknya yang menempuh pendidikan di Pontianak. Selain kuliah, Marage aktif
dalam kegiatan penyelamatan lingkungan. Ia kerap melakukan advokasi terhadap
masyarakat yang berkonflik dengan para pemilik modal karena izin-izin untuk
investasi, yang kerap mengkebiri hak-hak ulayat orang kampung.
“Radakng
mau dijadikan kebun sawit,” kata Mangkeh memberitahu Marage di ujung telepon.
“Kok
bisa?” Marage tak percaya ucapan bapaknya.
“Pak
Pong sudah kumpulkan orang kampung ngasi tahu kabar itu.”
“Bagaimana
mungkin areal permukiman yang sudah bertahun-tahun ada di situ, mau dijadikan
kebun kelapa sawit?” tanya Marage.
“Sudah.
Bapak tak mau berdebat. Bapak hanya ngasi tahu saja. Sebentar lagi, kalau kamu
pulang, jangan heran lihat rumah radakng sudah berubah jadi kebun kelapa
sawit,” jelas Mangkeh.
Marage
tercenung. Ia masih belum percaya informasi yang disampaikan bapaknya. Kaget
sekaligus bingung. Bagaimana bisa pemerintah memberikan izin perkebunan kelapa
sawit, dengan wilayah konsesinya masuk areal permukiman warga. Nah, tanpa
kompromi lalu radakng yang menjadi tempat tinggal warga berpuluh bahkan beratus
tahun mesti dirobohkan.
Marage
lahir di rumah radakng itu setelah satu dekade gestapu. Di radakng yang
memiliki 30 pintu itulah Marage menghabiskan masa kecilnya. Bermain, belajar memainkan
kelintang, gokng, dan memukul totokng. Sami radakng yang
memanjang menjadi lintasan lari ketika masih kanak-kanak. Suara gemeretak papan
akibat hentakan kaki-kaki mungil anak-anak kadang membuat beberapa orangtua
marah. Jeda siang untuk memejamkan mata terganggu oleh hentakan kaki para bocah
itu. Namun, ada juga orangtua yang senang melihat polah anak-anak itu. Bahkan,
mereka memberi semangat agar segera tiba di garis akhir, yang dibuat dari kapur
sirih.
Halaman
radakng akan ramai pada sore hari. Anak-anak bermain bola, bermain kasti,
bermain galah kepung, hingga bermain kelereng. Riuh. Marage ingat bagaimana
mereka menghabiskan sore dengan bermain sepak bola. Di jendela radakng, Pet
Rokeh yang sudah sepuh, setia menonton dan memberi semangat kepada anak-anak.
Setiap sore, Pet Rokeh menjadi penonton fanatik. Ia seperti hooligans-nya
Inggris ketika timnas negara itu bermain.
Tetapi,
kabar dari bapak, membuat Marage resah. Rumah, tempat dia dilahirkan dan
dibesarkan akan beralih fungsi atas nama investasi. Bilik yang dulu menjadi
ruang untuk mendengarkan ibu mendongeng akan hilang. Sami radakng yang dulu
menjadi tempat bermain, berkumpul, dan ritual-ritual akan menjadi cerita yang
memilukan. Semua akan hilang. Semua akan berganti dengan pohon-pohon elaeis
guineensis jacq, yang akan menghisap cadangan air. Bakal tak ada lagi
keriuhan menjelang petang di halaman radakng. Semua akan berubah menjadi
pohon-pohon yang berbaris bak tentara yang sedang apel pagi di markas komando.
“Mereka
sudah menjadi budak kapitalis,” kata Marage sebelum ayahnya menutup telepon. (*)