Cahaya di Kulit, Jalan di Alam Baka
Hujan turun pelan-pelan di atas atap rumah panjang di tepi Sungai Kapuas. Di bawah cahaya redup pelita damar, seorang lelaki tua duduk bersila, tubuhnya penuh goresan tinta hitam yang telah menyatu dengan kulitnya selama puluhan tahun.
Di sekelilingnya, cucu-cucu duduk dengan mata berbinar, menanti kisah yang hanya keluar pada malam-malam tertentu—malam di mana angin membawa bisikan leluhur, dan nyala api seolah mendengar.
Namanya adalah Apai Laga, lelaki yang tubuhnya tak ubahnya lembaran peta kehidupan suku Dayak Bahau.
“Kenapa tubuh Aki penuh tato, Aki?” tanya si bungsu, Sera, dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu.
Apai Laga mengangguk pelan. Dia tahu pertanyaan itu akan datang suatu hari, dan hari itu telah tiba. Di usia sembilan puluh, ia tidak lagi sekadar tua; ia adalah ingatan atas hidup makna yang perlahan memudar dari dunia yang terus berubah.
“Karena tubuh ini bukan sekedar daging. Ia adalah kisah, ia adalah cahaya, dan ia adalah jalan pulang.”
***
Ketika Apai Laga masih muda, ia hanyalah seorang anak lelaki kurus yang suka berlari di tepi sungai, menangkap ikan dan menjerat burung. Tubuhnya polos, tanpa satu pun guratan. Namun sejak kecil, ia mengajarkan bahwa tubuh lelaki Dayak bukan hanya wadah bagi jiwa, tapi juga kanvas bagi roh.
Pada usia dua belas tahun, ia menerima tato bunga terong di bahu, simbol yang tak setiap anak bisa dapatkan. Bunga itu bukan sekedar bunga, tapi lambang kedewasaan dan kesiapan menghadapi dunia.
“Aku tak menangis saat ditato, meski sakitnya menembus hingga ke tulang,” ujar Apai Laga.
“Karena aku tahu, rasa sakit adalah harga untuk menjadi manusia utuh dalam adat kita.”
Tato bunga terong tak bisa didapat secara sembarangan. Harus melalui ritual, harus dengan izin tetua adat, dan setelah itu harus menunjukkan keberanian dalam tugas suku.
Ia tiba setelah membantu seorang ibu dari serangan buaya di sungai. Luka di punggungnya belum sembuh saat jarum dari duri jeruju mulai menggurat kulitnya.
Seiring waktu, tato lain menyusul. Yang paling agung adalah tato harimau di dada. Itu adalah simbol yang hanya dikenakan oleh pemimpin perang atau orang yang telah membela kampungnya dengan nyawa.
Saat pertempuran pecah dengan suku tetangga yang menyerang ladang dan mencuri anak gadis kampung, Apai Laga maju di barisan depan. Ia tidak kehabisan darah, tapi ia tahu, adat dan tanah perlu dijaga. Dalam peperangan itu, ia kehilangan tiga saudara. Namun ia bertahan, dan ia kembali membawa kedamaian.
"Seekor harimau bukan binatang yang membunuh demi kesenangan. Ia melindungi wilayahnya. Ia menjaga ketenangan hutan," ucapnya sambil menunjuk dada tempat sosok harimau memandang ke kejauhan.
Tato yang paling sering ditarik oleh orang luar adalah tato sendok dan garpu di lengan kanan Apai Laga. Namun hanya mereka yang tak tahu, bahwa tato itu adalah simbol kesiapan untuk menghadapi hidup dalam segala bentuknya.
"Itu bukan sendok makan biasa," katanya.
“Itu adalah lambang dari pantang menyerah dan keberanian untuk menerima hidup, bahkan jika yang disajikan adalah pahit dan getir.”
Saat masa paceklik melanda, Apai Laga adalah orang yang pertama mengumpulkan daun-daun liar, membuat adonan dari umbi-umbian keras, dan membaginya kepada yang lapar.
Ia pernah berkata, “Jika kita tak bisa memilih hidangan hidup, setidaknya kita bisa menyiapkan diri untuk menyantapnya.”
Namun tato yang paling sakral adalah tato buah dan di punggung. Tak banyak yang tahu maknanya, bahkan di antara orang Dayak sendiri. Tato ini hanya diberikan pada mereka yang telah menemani kematian—bukan membunuh, tetapi mengantar.
Apai Laga pernah menemani kakeknya melewati hari-hari terakhirnya, membersihkan tubuhnya, membacakan doa, dan memegang tangan saat napas terakhirnya tertinggal.
"Pada saat itu, aku tahu bahwa hidup tak berakhir di sini. Ada jalan lain, dan tato buah andu akan menjadi obor dalam kegelapan itu," katanya.
Bagi Dayak Bahau, tato bukan hanya tanda, tapi penunjuk jalan di alam kematian. Ia memancarkan cahaya agar roh tidak tersesat, agar ia bisa menemukan Gunung Nyaving, tempat para arwah berkumpul dalam kedamaian.
Apai Laga menunjuk tato kecil di pergelangan tangan kirinya. Bentuknya seperti simpul tanpa ujung.
“Ini adalah simbol ikatan yang tak terpisahkan hingga kematian. Aku dan nenekmu menato ini bersama, di malam sebelum pernikahan kami.”
Tato itu bukan sekadar kenangan, tetapi ikrar. Kini nenek telah tiada, namun tato itu masih ada, dan ikatannya tak pernah putus. Bagi Apai Laga, kematian bukan pemisah, hanya perjalanan di dua jalan berbeda menuju titik yang sama.
Saat malam semakin larut, dan suara jangkrik bersatu dengan desir sungai, Apai Laga memanggil Sera lebih dekat.
“Sekarang, Sera ingin punya tato juga?” tanyanya dengan senyum samar.
Sera mengangguk pelan. “Bukan untuk gaya, Aki. Tapi agar aku tak lupa siapa aku.”
Apai Laga tertawa kecil. "Kalau begitu, nanti saat kamu sudah cukup umur, dan sudah berani menghadapi hidup, kita akan mulai dari bunga terong. Tapi ingat, tato bukan untuk pamer. Ia adalah tanggung jawab."
“Kenapa begitu, Aki?”
“Karena setiap guratan adalah janji. Kepada leluhur, kepada tanah, dan kepada dirimu sendiri.”
Apai Laga menatap langit-langit rumah panjang yang menghitam oleh asap berpuluh tahun.
"Manusia sekarang banyak yang menato tubuh, tapi tidak lagi menato jiwa. Mereka melukis, tapi lupa akan makna. Padahal, bagi kami, tinta bukan sekedar warna, tapi kesadaran."
Ia menarik napas panjang, seperti menyedot kenangan ke dalam paru-parunya yang sudah rapuh.
"Tato bukan budaya kekerasan, tapi kebijaksanaan. Ia mengajarkan bahwa hidup ini tidak hanya berjalan maju, tapi juga menyatu dengan yang telah pergi. Ia menghubungkan tubuh dengan tanah, jiwa dengan langit, dan manusia dengan warisan leluhur."
Malam itu, Sera tidur di sisi Apai Laga, dengan mimpi tentang tinta, tentang sungai, tentang harimau, dan tentang cahaya yang menyala dari kulit.
Dan di tahun-tahun berikutnya, ketika Apai Laga akhirnya dipanggil ke alam baka, tubuhnya tidak dikubur dalam kesunyian. Ia dibawakan dengan tarian gong, dengan nyanyian, dan dengan penghormatan penuh.
Dan ketika dibakar dalam upacara tiwah, api menyala terang, seolah tiap guratan tato memancarkan sinarnya, mengemudikan roh Apai Laga di jalan yang hanya bisa dilalui oleh tubuh mereka dan ditandai dengan jiwa makna.
Di kampung itu, tato bukan sekadar simbol kuno. Ia adalah kidung yang ditulis di kulit, nyanyian tanpa suara yang berbicara tentang identitas, keberanian, cinta, dan kematian.
Dan ketika Sera tumbuh dewasa, ia juga menerima tato bunga terong. Bukan karena tren, tapi karena ia tahu: di dunia yang terus berubah, tinta leluhur adalah satu-satunya kompas yang selalu menunjuk ke asal.(*)