Lingkar yang Tak Pernah Putus
Di balik kabut pagi yang mengambang di atas sungai Kapuas, seorang lelaki tua bernama Tambing duduk bersila di beranda rumah betang.
Di tangannya, sehelai kain tua berwarna tanah liat tergenggam—motif-motif anyaman rotan mengukir bentuk burung enggang dan pucuk padi yang belum tumbuh.
Matanya yang keruh menatap halaman kosong, seolah menyaksikan sesuatu yang hanya ia yang bisa lihat.
“Masihkah kau ingat, Penompa? Saat bumi belum gaduh dan bunyi gamal adalah satu-satunya yang menuntun langkah manusia?” bisiknya lirih.
Tambing adalah satu dari sedikit penjaga ingatan yang masih tersisa di tanah Pompang. Tarian Kondan—yang dulu hanya muncul dalam ritme benih dan doa, kini melenggak-lenggok di panggung hotel dan aula kantor.
Geraknya kini lincah, pakaiannya gemerlap. Tapi, Tambing tahu, yang berganti bukan hanya cara kaki melangkah—melainkan alasan hati menggerakkan.
Dulu, tiap putaran Kondan adalah doa. Satu langkah ke kanan, menyambut hujan. Satu putaran penuh, menyatukan manusia dan tanah. Gerak melingkar bukan sekadar formasi—ia adalah pengakuan bahwa hidup itu berulang: tanam, panen, mati, hidup kembali.
Namun hari ini, saat cucunya, Mija, pulang dari kota membawa kabar akan tampilkan Kondan dalam “Festival Budaya Modern Asia,” Tambing hanya tersenyum pahit.
“Ini bentuk kebanggaan, Nek. Dunia akhirnya melihat kita!” kata Mija dengan mata bersinar.
“Dunia melihat yang mana, cucuku?” Tambing menjawab. “Tari kita atau topeng yang kau pakai untuk menari di hadapan mereka?”
Mija terdiam. Dalam dirinya bergejolak antara dua dunia: kota yang memberi panggung dan desa yang memberinya akar.
Malam itu, Tambing mengambil kanong tua yang sudah retak, dan mulai memukulnya perlahan. Suaranya serak, seperti suara waktu yang lelah berjalan. Mija keluar dari rumah, menatap kakeknya.
“Ajari aku yang dulu, Nek.”
Mereka berdiri berhadapan. Gerakan pertama bukan untuk penonton, tapi untuk Penompa. Tangan kanan Mija terangkat, dadanya terbuka, langkahnya ringan seperti angin yang menyapu ladang. Mereka menari bukan untuk disaksikan, tapi untuk menyatu.
Dalam lingkaran itu, waktu tak berjalan maju. Ia kembali, berputar, dan mengguratkan satu kebenaran: bahwa tarian sejati bukan untuk tepuk tangan, tapi untuk mengingat dari mana kita berasal.
Dan dari balik pepohonan malam, Penompa pun tersenyum.(*}