Kok Nggang

Kok Nggang, kok, nggang, burung, mitologi, cerita

Pagi pukul lima. 

Gelap mulai berganti terang. Ufuk langit di sudut timur sudah memancarkan sinar jingga. Hari baru telah dimulai. Kok masih mendengkur. Nggang di sampingnya juga masih terlelap bermain dalam alam mimpinya. Kok, lelaki yang sudah berusia 12 tahun. Nggang, adik perempuannya masih berusia delapan tahun. Keduanya tinggal bersama ayah dan ibunya yang bekerja sebagai petani. Pagi itu, Rangkang-ibu Kok dan Nggang, sudah bangun. Ia menjerang air dan menanak nasi. Rangkang menyeduh kopi, kemudian menyuguhkan kepada suaminya, Bintel. 

Hari itu, Rangkang bersama suaminya akan ke ladang. Panenan belum selesai. Ribuan batang padi palawang menunggu untuk dipanen. Ladang yang menjadi tumpuan pengharapan bagi hidup Rangkang dan keluarganya. Sudah tiga hari, Rangkang dan Bintel, memanen. Ladang luas di kaki bukit yang bisa ditempuh selama dua jam jalan kaki, sebagian ditanami padi purut. Areal ini belum sama sekali disentuh oleh Rangkang dan Bintel.

Bintel menyeruput kopi bikinan istrinya. Ia meraih topokng rokoknya. Selembar kertas putih tipis ditarik. Ia menyusun tembakau di sepanjang kertas itu. Kemudian menggulungnya. Ujung yang satu digulung lebih lancip, sementara ujung lainnya digulung sedikit besar. Bintel menjilat bagian tepi kertas itu dan merekatkannya dengan bagian kertas lainnya. Longlat-nya sudah siap. Ia lalu menyalakan pemantik. Sekelebat asap mengepul dari mulutnya. Bintel menghela napas panjang, kemudian menyeruput sisa kopinya.

Lelaki empat puluh lima tahun itu berdiri menuju perongkeng. Ia mengambil otot, karung, dan parang panjang. Bintel siap berangkat menuju ladangnya. Tak lupa tanggui diletakkan di atas kepalanya. Tanggui akan melindunginya dari sengatan matahari. Ia memilih berangkat duluan, sementara Rangkang menyusul setelah Kok dan Nggang terbangun. Karung dimasukan ke dalam otot. Di pinggangnya melekat topokng manisLonglat masih melekat di bibirnya. Sesekali asap putih diiring batuk kecil Bintel terbang mengawang. Bintel berangkat saat matahari mulai menyembul dari ufuk. Jam kusam yang melekat di dinding kayu sudah berdentang enam kali.

Apak berangkat dulu,” pamit Bintel pada istrinya.

Rangkang hanya mengangguk. Ia masih sibuk mempersiapkan bekal untuk makan siang di ladang.  Nasi dibungkus daun simpur. Ikan gabus hasil takan jadi lauk. Gula dan kopi tak lupa jadi bekal. Ceret untuk menjerang air panas di ladang juga sudah masuk dalam otot besarnya. Rangkang merasa bekal untuk kebutuhan di ladang sudah lengkap. Ia pun bersiap berangkat menyusul suaminya. Matahari sudah beranjak tinggi. Jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh.

Rangkang membangunkan Kok dan Nggang. Kok menggeliat. Dia masih tak rela lelapnya terganggu oleh teriakan Rangkang. Nggang pun begitu. Ibunya kembali berteriak, “Kok bangun. Nggang juga. Sudah siang. Ibu mau berangkat ke ladang.”

Kok bangun. Ia menggerutu karena tidurnya terganggu. Walau begitu ia berusaha bangun. Nggang menyusulnya lima menit kemudian. Melihat dua anaknya bangun, Rangkang segera bersiap-siap hendak berangkat ke ladang. Ia kemudian berpesan kepada Kok dan Nggang.

“Jangan lupa menanak nasi ya,” pesan Rangkang kepada Kok.

Kok hanya menggangguk dengan kelopak mata yang masih sayu. Nggang hanya terdiam. Ia terus mengucek matanya. Sesekali Nggang menguap.

Umak berangkat,” kata Rangkang.

Melihat ibunya pergi, Kok dan Nggang juga bersiap-siap. Kok mengambil satu parang dan gergaji . Mereka kemudian pergi ke hutan dekat rumahnya, menebang jumai sebesar betis orang dewasa. Batang jumai sepanjang satu meter dibawanya pulang. Dua saudara kandung ini mulai menarah batang kayu keras itu. Mula-mula membuat sudut lancip seperti mata bor pada ujung kayu, kemudian Kok memotong bagian lain sesuai kebutuhannya. Potongan kayu sepanjang dua puluh sentimeter lalu dibentuk menjadi sebuah mainan. Kok sedang membuat gasing.  Tak jauh dari lokasi Kok menarah jumai, Nggang mempersiapkan tali dari kulit kepuak Kemudian ia menganyamnya menjadi satu utasan tali.

Matahari kian meninggi. Sebentar lagi tengah hari. Kok dan Nggang belum selesai membuat gasing. Kok membuat beberapa ukuran gasingnya, mulai dari ukuran kecil hingga besar. Begitu juga Nggang menganyam tali sesuai dengan kebutuhan gasingnya. Jika gasingnya kecil, tali yang dianyam pendek. Sebaliknya, jika besar maka talinya juga akan panjang.

Pas tengah hari, Kok dan Nggang selesai membuat gasing juga talinya. Ada empat ukuran gasing yang dibuat untuk mereka bermain. Gasing memang dimainkan saat musim panen tiba. Permainan di kampung Kok dan Nggang menyesuaikan kalender berladang. Permainan gasing menjadi yang terakhir dari kalender berladang. Permainan pertama yang dimainkan adalah sengkilik, permainan seperti kincir angin atau kipas yang dibuat dari daun-daun kayu. Permainan dilakukan ketika musim menebas atau pembukaan ladang baru.

Kok dan Nggang naik ke rumah. Mereka bersantap makan siang dari menu yang ditinggal ibunya pagi tadi. Keduanya sangat lahap. Mereka harus mengembalikan energi yang terkuras saat membuat gasing dan talinya. Usai makan, kakak beradik ini rehat sebentar. Kenyang mulai membuat keduanya mengantuk. Nggang bahkan sudah terbaring sambil memejamkan matanya. Tapi Kok cepat membangunkannya. Ia kemudian mengajak adiknya bermain gasing di kampung sebelah.

Berbekal empat gasing, keduanya berangkat ke kampung yang jaraknya sekitar setengah kilometer tersebut. Di kampung itu, anak-anak lain sudah mulai bermain. Kok dan Nggang ikut bermain. Saling pangkak. Bersorak jika gasing lawan terkena pangkak dan terlempar kemudian berhenti berputar.

Sepanjang hari, Kok dan Nggang bermain gasing. Jika tak ke kampung sebelah, mereka bisa bermain berdua saja di halaman rumahnya.  Bahkan, saat matahari mulai menuruni tangga langit, Kok dan Nggang tetap bermain. Serbuk-serbuk kayu bekas tarahan membuat gasing pun tak dibersihkan. Mereka biarkan berserakan di samping rumahnya. Kok dan Nggang benar-benar lupa pesan ibunya.

Pukul lima sore, bapak dan ibunya pulang. Rangkang terkejut begitu tiba di rumah karena kedua anaknya tidak ada. Ia pun memeriksa lemari dapur dan periuk nasi. Ia tak menemukan nasi yang telah ditanak, dan sayur yang sudah dimasak. Rangkang naik pitam. Ia marah besar. Darahnya naik ke ubun-ubun. Ia mengumpat dalam hatinya. Kata-kata tak elok keluar dari mulutnya. Ia marah sejadi-jadinya.

Rangkang keluar rumah. Amarahnya belum reda. Di halaman belakang rumah, ia menemukan serbuk-serbuk kayu bekas tarahan Kok dan Nggang membuat gasing. Serbuk-serbuk itu dikumpulkan dan dimasukan ke dalam periuk juga mangkok. Kemudian disimpan di atas tunggu dan lemari makan. Rangkang ingin memberi pelajaran kepada dua anaknya karena tidak mengindahkan pesan yang disampaikan pagi tadi.

Menjelang malam, Kok dan Nggang pulang. Tak ada rasa bersalah dari keduanya. Sambil siul-siul kecil, Kok masuk ke rumah. Tanpa menoleh ayah ibunya yang bersantai setelah lelah bekerja seharian di ladang. Kok membuka periuk dan lemari makan. Niat hati mau makan karena lapar menyergap. Kok lelah bermain gasing sepanjang hari. Begitu juga adiknya, Nggang.

Kok kaget ketika membuka periuk nasi. Nggang terkejut waktu membuka lemari makan. Mereka menemukan kulit dan serbuk-serbuk kayu bekas tarahan gasing tadi pagi. Keduanya bingung.

“Siapa yang tega berbuat seperti ini,” kata Kok dalam hati.

Setali tiga uang. Nggang juga bingung. Tapi ia memilih diam dan tercenung. Keduanya akhirnya tahu kalau serbuk-serbuk kayu itu disimpan ibunya karena tidak melaksanakan pesan pagi tadi. Keduanya kecewa karena ibunya marah keterlaluan. Ibunya tak memberikan maaf atas kesalahan yang dilakukan Kok dan Nggang. Ia pun sedih. Kok dan Nggang menangis.

Dalam kesedihannya, Kok dan Nggang bertekad menjadi burung. Kok kemudian mengambil parang. Ia keluar menuju pohon pinang dan mengambil pelepahnya. Nggang hanya mengikutinya dari belakang.

“Kita sudah tidak diterima ibu sebagai anak. Aku mau jadi burung saja,” kata Kok.

“Aku ikut,” kata Nggang.

Pelepah dipotong menjadi empat bagian. Masing-masing pelapah diikatnya pada kedua lengannya. Kok dan Nggang mulai terbang. Awalnya dari jendela rumah, kemudian ke ujung atap, lalu ke bumbungan. Begitu tiba di bumbungan, Kok dan Nggang mulai pindah ke dahan terendah pada sebatang pohon. Kemudian berlanjut, hingga pada dahan tertinggi pohon tersebut. Niat keduanya menjadi burung terkabul.  Sejak itu, Kok dan Nggang berubah menjadi burung dan terbang ke hutan luas.

Rangkang dan Bintel, ibu bapak Kok dan Nggang, tak sadar kalau kedua anaknya sudah menjadi burung. Keduanya baru tahu setelah hingga tengah malam Kok dan Nggang tak pulang. Keesokan harinya, keduanya mencari anaknya. Tapi mereka tak menemukannya. Keduanya hanya bertemu dua burung yang bulu-bulunya berwarna hitam dan putih. Kepada Rangkang dan Bintel, burung-burung itu minta tidak lagi diganggu karena sudah berbeda alam.

Mendengar itu, Rangkang dan Bintel menangis. Keduanya menyesal karena telah menghukum anaknya tanpa memaafkannya.

“Nak, kembalilah. Maafkan ibu. Ibu tak ingin kalian menjadi burung. Menjadi mahluk yang berbeda alam dengan ibu. Ayo Nak, turunlah. Kembalilah menjadi manusia lagi,” ratap Rangkang.

Nasi sudah menjadi bubur. Niat Kok dan Nggang menjadi burung dikabulkan Sang Penguasa Jagat Raya. Walau begitu, Rangkang dan Bintel tak mau meninggalkan kedua anaknya yang terbang  di pohon-pohon tinggi di rimba raya.

Di pohon, tempat Kok dan Nggang belajar terbang, orangtuanya terus berharap dan meminta. Pada satu titik asanya habis, kedua orangtua itu berdoa, "jika anakku tak bisa lagi kembali menjadi manusia. Biarlah kami menjadi mpukung hingga nanti suatu saat anak-anakku kembali jadi manusia." (*)


Catatan Kaki:

Purut                    : ketan 

Topokng               : tempat menaruh tembakau dan rokok

Topokng Manis    : jarai kecil yang biasa digunakan untuk menyimpan padi yang dituai.

Longlat                : rokok

Perongkeng         : satu tempat untuk mencuci piring (wastafel)

Otot                     : Sejenis jarai untuk menyimpan padi

Kepuak                : kulit kayu

Takan                  : sejenis kail

LihatTutupKomentar