Mak Inang dan Sepasang Telinga yang Ragu

[Foto: Ilustrasi]

Kabut tipis menggantung di atas sungai Kahayan. Di seberang, pohon-pohon ulin berdiri bagai penjaga tua. Di bawah langit yang sedang memerah menjelang sore, suara gong dan tabuhan balontak sudah mulai terdengar dari rumah panjang keluarga Liah.

Di ruang belakang rumah itu, Liah sedang duduk bersila. Wajahnya dilumuri bubuk kuning kunyit dan daun sirih. Di hadapannya, duduk seorang perempuan tua dengan rambut digelung rapi dan sorot mata seperti mata burung enggang, tajam tapi teduh.

“Inang, aku masih ragu,” kata Liah pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh tabuhan gong di luar.

Mak Inang Buring berhenti meraut daun sirih di tangannya. Ia menatap Liah dalam-dalam.

“Ragu itu bukan tanda lemah, Liah. Itu tanda kau masih pakai telinga dan hati. Tapi jangan biarkan ragu membuatmu jadi batu di tengah jalan. Kau harus jadi air. Lihat sungai itu, dia tak pernah bertanya ke mana dia mengalir.”

Liah menghela napas. “Angan tak banyak bicara, Inang. Ia seperti... air tenang, tapi kadang aku tak tahu apa yang ia pikirkan.”

Mak Inang tersenyum kecil, lalu tertawa. “Ah, lelaki! Kalau kau tunggu mereka bicara seperti perempuan, bisa sampai rambutmu putih seperti bulu rangkong. Tapi bukan bicara yang jadi tolok ukur, Liah, tapi apa yang ia lakukan.”

“Dia pernah lupa hari ulang tahun kami jadian...”

“Itu?” Mak Inang menaikkan alis. “Kau pikir Enggang jantan ingat ulang tahun pas mereka memadu bulu?”

Liah tertawa kecil. Tapi tawanya cepat menguap.

“Inang... bagaimana kalau aku tak bisa jadi istri seperti harapan orang-orang?”

Mak Inang berdiri, mengangkat wajah Liah dengan tangan yang keriput.

“Liah, di kampung ini, jadi istri bukan berarti jadi bayang-bayang. Kau bukan suluh kecil di bawah cahaya suami. Kau adalah obor. Dalam adat kita, perempuan itu tiang. Kalau tiangnya rapuh, robohlah rumah.”

Tiba-tiba, Tulep masuk dengan gaya dramatis.

“Mak Inang! Liah! Kalian serius sekali! Di luar sudah ramai! Ada yang mabuk tuak, ada yang mau adu tantang nyanyi!”

Mak Inang mendecak. “Itu siapa lagi yang mulai nyanyi sambil mabuk?”

Tulep mengangkat bahu. “Entah. Mungkin Bapakmu sendiri, Liah.”

“Ah, Apai Anjar?” Liah tertawa. “Dia pasti sedang pamer suara sumbangnya.”

Mak Inang menggeleng, “Dia kepala adat, tapi suaranya seperti ayam betina dikejar biawak!”

Tertawa meledak. Sesaat, kegugupan Liah menghilang.

Malam mulai turun. Di rumah panjang, para tetua adat mulai berdatangan. Angan berdiri di ujung ruangan, mengenakan baju adat hitam dengan benang emas dan ikat kepala dari bulu burung enggang. Ia menatap Liah dari kejauhan.

Mak Inang duduk di samping Liah, sesekali membetulkan hiasan bulu di rambutnya.

“Inang, kenapa burung enggang selalu jadi simbol pernikahan kita?”

Mak Inang mengangguk perlahan. “Burung enggang tak pernah terbang sendiri untuk waktu lama. Ia mencari pasangannya, lalu setia. Tapi lebih dari itu—enggang terbang tinggi, tapi ia selalu tahu jalan pulang. Pernikahan itu bukan sekadar cinta, tapi juga tentang arah. Kalau kalian tak tahu arah, meski saling cinta, kalian bisa tersesat.”

Sebuah gong ditabuh. Semua tamu diam. Apai Anjar berdiri, membuka upacara.

“Anak-anakku, Liah dan Angan. Hari ini, kalian menyeberang dari satu tepian ke tepian lain. Dulu kalian hidup sendiri, kini akan belajar bersama. Kalau ada ombak, jangan menyalahkan dayung. Kalau perahu bocor, jangan lari. Perbaiki. Sebab hidup bukan tentang menghindar dari badai, tapi menari di tengah hujan.”

Sebuah petuah yang membuat ruangan hening sejenak. Angan melangkah ke depan. Ia meraih tangan Liah.

“Liah,” katanya pelan. “Aku mungkin tak pandai merangkai kata. Tapi aku bisa menjanjikan satu hal... Aku akan belajar memahami dunia dari sudut matamu.”

Liah menatap matanya. Ada ketulusan yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Ia tersenyum.

“Dan aku... akan berusaha tidak marah kalau kau lupa tanggal ulang tahun lagi.”

Seluruh ruangan tertawa.

Tapi di sela tawa itu, Tulep mencolek Liah.

“Kau tahu, Liah... di pernikahanmu ini, satu-satunya yang paling tegang adalah... Mak Inang.”

Mak Inang mengernyit. “Aku? Tegang kenapa?”

Tulep berbisik sambil tertawa, “Karena kau belum tahu... malam ini, Om Baheng bilang dia akan menyatakan cinta lamanya padamu!”

Mak Inang mendadak batuk. “Hus! Dasar bocah kurang ajar!”

Tawa kembali pecah, dan untuk sesaat, seluruh ketegangan berubah menjadi hangat. Musik kembali dimainkan. Tari-tarian adat dimulai. Liah dan Angan duduk berdampingan, sesekali tertawa, sesekali berbisik.

Di luar rumah panjang, langit Batu Bengkalang memayungi mereka dengan tenang.

Beberapa hari setelahnya

Liah duduk di tepi sungai, kakinya mencelup air. Mak Inang datang membawa dua gelas bambu berisi tuak manis.

“Inang, ternyata hidup setelah menikah... bukan seperti dongeng.”

Mak Inang duduk di sampingnya. “Tentu. Kalau hidup ini dongeng, siapa yang mau cuci pakaian?”

Liah tertawa.

“Aku baru tiga hari menikah, dan kami sudah bertengkar soal siapa yang harus angkat jemuran.”

“Bagus!” kata Mak Inang. “Itu artinya kalian mulai belajar menjadi dua manusia dalam satu perahu. Tak ada perahu yang tak goyah. Tapi kalau kalian terus mendayung bersama, lama-lama kalian akan sampai juga.”

Liah diam sejenak, lalu berkata, “Inang... aku paham sekarang. Kau bukan cuma merias wajahku waktu itu. Tapi kau merias jiwaku juga.”

Mak Inang menatapnya, lalu tertawa kecil. “Jangan bilang begitu terlalu cepat. Aku bisa menangis nanti.”

Tulep yang datang tiba-tiba dari belakang langsung berseru, “Wah! Mak Inang bisa menangis juga? Kukira hatinya dari kayu ulin!”

Mak Inang mengayun sendal rotannya. “Dasar bibir muak babi!”

Liah dan Tulep tertawa lepas. Angin menyapa daun-daun pohon. Sungai mengalir, seperti waktu yang tak pernah berhenti. Tapi bagi Liah, hari itu, waktu terasa lambat. Karena ia tahu, rumah bukan sekadar tempat. Rumah adalah seseorang yang membuatmu ingin kembali, meski kau bisa terbang setinggi enggang.(*)

LihatTutupKomentar
Cancel