Damak di Ujung Hati
[Foto: Ilustrasi]
Kabut pagi masih bergelayut di atas Sungai Kapuas.
Di seberang, deretan pohon ulin berdiri seperti barisan leluhur yang menjaga
kampung kecil bernama Tembawang Jarai.
Di antara rumah betang tua yang sudah ditumbuhi lumut, duduk seorang lelaki tua bernama Apai Genyah, mengasah ujung damak, anak sumpit, dengan sabar, seolah setiap serpihan bambu yang jatuh adalah serpihan waktu yang tak kembali.
“Apai, kenapa setiap pagi kau sibuk dengan sumpit itu? Tak ada lagi yang berburu di sini, semua sudah ke kota. Hutan pun makin sempit,” ujar Tegas, cucunya yang berusia 22 tahun, sembari menyeduh kopi di beranda.
Apai Genyah hanya menoleh sebentar. “Karena selama hutan masih berdiri, sumpit tak boleh berkarat. Hati manusia bisa tumpul, tapi senjata warisan tak boleh.”
Tegas tertawa kecil. “Waktu kau lahir, Apai, mungkin babi hutan masih bisa tersenyum. Sekarang? Mereka mungkin sudah bikin akun media sosial, kabur sebelum disumpit.”
Apai mengernyit. “Jangan kau bawa lelucon ke soal sumpit, Tegas. Ini bukan cuma alat pemburu. Ini lidah leluhur. Ini suara hening yang mematikan.”
Tegas mendesah. “Aku tahu, Apai. Tapi aku tidak seperti Ayah. Aku tidak akan tinggal di hutan ini selamanya hanya untuk menjaga sumpit tua.”
Nama ayahnya disebut, dan seketika suasana berubah. Apai berhenti mengasah damak, memandang cucunya dengan mata yang menyimpan ratusan musim kemarahan yang dipendam.
“Kalau kau tahu, kenapa kau ulang luka itu?” suara Apai berat.
Tegas berdiri. “Karena luka itu juga milikku. Aku anaknya. Anak dari Kalas, anakmu yang pergi dari rumah ini dengan luka karena ingin hidup bebas.”
Apai membuang napas panjang. Ia tahu percakapan ini akan tiba suatu hari.
“Bebas? Dia tinggalkan sumpit ini demi uang. Demi kota. Demi wanita dari luar yang bahkan tak bisa bedakan antara damak dan tusuk gigi,” katanya getir.
Tegas tertawa lebar, meski nada tawanya getir. “Kadang aku heran, Apai. Kenapa kita bisa lebih marah pada anak yang jatuh cinta daripada pada perampas hutan kita?”
Sunyi menggantung sejenak. Hanya suara burung ruai terdengar samar dari kejauhan.
“Karena cinta yang membutakan pada akar, akan menebang pohon dalam jiwa,” kata Apai lirih.
Tegas duduk kembali. “Tapi ayahku tidak menebang pohon jiwanya. Dia hanya memilih jalannya. Dia tidak buang sumpit itu. Bahkan ia simpan satu di rumah kota kami.”
“Apa gunanya kalau hanya jadi pajangan di dinding?” Apai mendesis. “Sumpit bukan pajangan. Ia bicara bila waktunya tiba. Kau tahu, Tegas... damak tidak pernah berbicara. Tapi racunnya lebih jujur dari kata-kata manusia.”
Tegas memandangi sumpit yang bersandar di dinding. Panjang, ramping, dari bambu tua. Tua tapi masih kuat. Seperti Apai.
“Lalu, apakah setiap racun berarti kejujuran, Apai?”
Apai tersenyum miring. “Tidak. Tapi setiap kejujuran yang dilukai terlalu dalam... bisa berubah jadi racun.”
Keduanya terdiam. Suasana yang pekat dipotong suara langkah. Seorang pria paruh baya muncul dari balik pohon, rambutnya sudah mulai memutih, tetapi sorot matanya tetap tajam. Tegas berdiri cepat.
“Ayah?”
Kalas berdiri di sana. Senyumnya kaku. “Aku dengar kalian membicarakanku seolah aku sudah mati.”
Apai Genyah bangkit pelan. Matanya menyipit. “Lihat siapa yang pulang. Si anak hilang, kembali setelah hutan tinggal separuh.”
“Aku tak kembali untuk hutan, Apai. Aku kembali untuk damak terakhir yang kau simpan,” ujar Kalas, matanya menatap sumpit di dinding.
“Jangan anggap kau masih berhak atas itu,” bentak Apai. “Kau tinggalkan semua ini demi dunia yang membusuk!”
Kalas menahan amarahnya. “Aku tidak datang untuk berdebat. Tapi racun damak itu dulu kau ajarkan padaku bukan untuk membunuh hewan saja, tapi juga kebencian. Dan aku ingin mengakhiri racun di antara kita.”
Tegas maju di antara mereka. “Apai... Ayah... kalian terlalu lama saling membenci atas keputusan yang sudah lewat. Di kota, aku pelajari hukum, tapi di kampung, aku pelajari akar. Sumpit ini bukan milik satu orang. Ia milik kita semua.”
Apai menghela napas panjang. “Kalau kau ingin sumpit ini, Kalas, maka tunjukkan bahwa darahmu belum habis.”
Kalas tersenyum kecil. “Apa kau ingin adu sumpit, Apai?”
Tegas tertawa. “Kita bisa bikin lomba. Hadiahnya? Mungkin... maaf dan pelukan?”
Semua tertawa kecil, meski dalam hati masing-masing masih ada duri. Tapi seperti hutan yang menyembuhkan dirinya perlahan, luka pun punya caranya sendiri untuk menjadi tanah bagi benih baru.
Hari itu, seluruh kampung berkumpul di pelataran rumah betang. Kalas dan Apai berdiri berhadapan, masing-masing dengan sumpit di tangan. Sebuah target dari batang pisang diletakkan di kejauhan. Tegas menjadi wasit dadakan, membawa peluit dari botol plastik bekas.
“Satu tembakan. Yang paling dekat dengan pusat... berhak membawa sumpit itu. Tapi juga... membawa damai,” ujar Tegas dengan suara tegas.
Kalas menarik napas, meniup. Damak melesat, menancap tak jauh dari pusat. Apai menyusul. Damaknya nyaris berdempetan.
Semua terdiam. Tegas mengukur. “Damak Apai lebih dekat... selisih seujung rambut.”
Apai menatap anaknya. Lalu, tanpa bicara, ia menyerahkan sumpit itu kepada Kalas.
“Ambillah. Tapi jangan simpan di dinding lagi. Gunakan. Ajarkan cucumu. Dan... ajarkan juga tentang cinta, bukan hanya dendam.”
Kalas menerima sumpit itu dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Apai.”
Tegas memeluk keduanya. “Akhirnya. Damak tidak lagi menancap di hati kalian.”
Apai tertawa. “Tapi damak di pisang itu tetap paling tampan.”
Semua tergelak. Hutan bersaksi, sumpit itu kembali mengalirkan makna, bukan hanya racun. Di tanah Dayak, suara leluhur memang tak pernah mati. Ia hanya menunggu untuk ditiup kembali—dari hati yang sudah sembuh.(*)