Di Ujung Rintik Hujan

Foto: Freepik

Malam itu, Pontianak diselimuti hujan deras. Suara rintikannya membuat suasana di luar rumah terasa sejuk dan tenang, meski di dalam rumah yang sederhana itu, Irene, seorang perempuan muda berusia dua puluh tujuh tahun, duduk gelisah.

Ia baru saja tiba dari Jakarta, kota yang sudah lama ia tinggalkan demi mengejar karir di dunia periklanan. Namun, kini ia kembali, pulang ke rumah orang tuanya setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan yang sibuk dan penuh tekanan di ibu kota.

Irene memandang sekeliling rumah. Dinding kayu yang sudah mulai berkarat, lampu kuning yang temaram, dan bau tanah yang familiar membuatnya teringat masa kecilnya.

Namun, ada rasa cemas yang tak bisa ia tutup-tutupi. Ia tahu bahwa pulang kali ini bukan hanya untuk merayakan Natal bersama keluarga, melainkan untuk menghadapi banyak hal yang belum selesai.

Ibunya, Magdala, seorang perempuan Katolik yang sangat taat, sudah menunggu di ruang tamu. Magdala yang sudah berusia hampir enam puluh tahun tetap terlihat tegar, meskipun tubuhnya mulai kurus. Matanya berbinar ketika melihat Irene masuk ke rumah.

“Irene... kau akhirnya pulang,” ucap Magdala, suaranya penuh kehangatan meski ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan.

Irene tersenyum tipis dan duduk di samping ibunya.

“Iya, Bu. Sudah lama rasanya.”

Magdala memeluknya dengan lembut.

“Aku senang kau kembali. Natal akan lebih indah bersama keluarga.”

Namun, Irene tahu, meskipun Natal adalah saat yang penuh sukacita, ada banyak hal yang belum ia selesaikan dengan ibunya. Percakapan mereka selama beberapa tahun terakhir selalu berakhir dengan ketegangan, terutama soal pilihan hidupnya yang selalu bertentangan dengan harapan ibunya.

“Ibu,” Irene mulai, dengan suara yang sedikit gemetar, “aku merasa ada banyak yang belum kita bicarakan. Tentang hidupku, pilihan-pilihanku...”

Magdala menghela napas panjang. “Kita selalu menginginkan yang terbaik untukmu, Irene. Tapi kadang, hidup ini tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Yang penting adalah kau tetap dekat dengan Tuhan.”

Irene menundukkan kepala, merasakan perasaan bersalah yang menghinggapinya.

“Aku tahu, Bu. Tapi... aku merasa terjebak. Aku terlalu sibuk mengejar dunia yang aku pikir bisa memberi kebahagiaan, tapi ternyata... aku merasa kosong. Aku sudah jauh dari Tuhan dan dari kalian.”

Magdala menatapnya dengan penuh kasih, meski ada keprihatinan yang tersirat.

“Kau tidak sendiri, anakku. Kita semua pernah merasa jauh dari Tuhan, tapi itu bukan akhir. Kita selalu punya kesempatan untuk kembali, untuk memulai lagi.”

Irene menggigit bibirnya, merasa ada hal yang ingin ia ungkapkan, tetapi sulit untuk diucapkan.

Keheningan kembali mengisi ruang tamu mereka. Irene tahu bahwa pertemuan ini bukanlah sekadar kesempatan untuk merayakan Natal bersama keluarga, tetapi lebih dari itu, sebuah kesempatan untuk menemukan kembali tujuan hidupnya yang hilang.

Esok pagi, setelah misa Natal di gereja, mereka kembali ke rumah untuk makan bersama. Hujan masih turun dengan deras, menciptakan suasana yang lebih damai.

Irene duduk bersama Magdala dan Yosefus, ayahnya yang sudah tua namun tetap tampak tegar. Yosefus adalah sosok yang selalu memberi teladan dalam kesederhanaan dan kasih sayang.

Irene mulai menceritakan keresahannya.

“Aku merasa hidupku kosong, Ayah. Aku berlari mengejar kesuksesan, tetapi aku kehilangan diri sendiri di jalan itu. Apa yang sebenarnya harus aku kejar dalam hidup ini?”

Yosefus tersenyum lembut, matanya memandang Irene penuh kasih.

“Hidup bukan hanya tentang apa yang kita raih di dunia, Irene. Kita harus berpusat pada Tuhan, seperti Keluarga Kudus Nazaret. Keluarga itu mengajarkan kita bahwa kehidupan bukan hanya soal pencapaian, tapi soal cinta, pengorbanan, dan kesetiaan. Kita belajar dari Maria, Yesus, dan Yusuf bagaimana hidup dalam kesederhanaan dan saling melindungi.”

Irene memandang ayahnya, lalu menatap ibunya.

“Tapi, Ayah... Bu... aku merasa hidup ini penuh dengan beban. Aku merasa tidak cukup baik untuk menjalani hidup yang seperti kalian harapkan.”

Magdala meraih tangan Irene, menggenggamnya erat.

“Anakku, Tuhan tidak pernah meminta kita untuk menjadi sempurna. Dia hanya meminta kita untuk saling mencintai, untuk hidup dengan hati yang tulus. Seperti Maria yang rela menerima kehendak Tuhan, seperti Yusuf yang selalu melindungi keluarganya dengan setia, kita pun harus saling mendukung dalam kasih.”

Irene terdiam, kata-kata itu meresap dalam hatinya. Ia tahu bahwa keluarganya selalu menjadi teladan yang hidup dalam kasih dan kesederhanaan, tetapi ia merasa jauh dari itu. Hatinya masih diliputi kebimbangan.

Pada suatu sore yang tenang, Irene berjalan bersama Magdala di pinggir sungai yang mengalir di dekat rumah mereka. Air sungai yang jernih dan tenang mengingatkan Irene pada masa kecilnya, masa ketika ia merasakan kedamaian yang sejati.

“Ibu,” ujar Irene, suara lembutnya mengisi ruang di antara mereka, “apa yang sebenarnya kau inginkan dariku? Kenapa aku selalu merasa tidak cukup?”

Magdala berhenti sejenak, menatap Irene dengan tatapan yang penuh pengertian.

“Aku ingin yang terbaik untukmu, Irene. Aku ingin kau merasakan kedamaian yang kami rasakan, kedamaian yang datang dari hidup berpusat pada Tuhan. Kami ingin kau tahu bahwa dalam kesederhanaan, kita menemukan kekuatan.”

Irene mengangguk perlahan, namun hatinya masih penuh pertanyaan.

“Aku tahu, Bu. Tapi hidup ini bukanlah hal yang sederhana bagi aku. Aku terjebak dalam dunia yang mengajarkan kita untuk mengejar prestasi dan materi. Aku tak tahu bagaimana caranya hidup seperti yang kalian ajarkan.”

Magdala tersenyum, meski ada rasa khawatir yang tersirat di matanya.

“Kadang, kita perlu kehilangan sesuatu untuk bisa menemukan sesuatu yang lebih besar, Irene. Kesederhanaan hidup bukan berarti hidup tanpa tujuan, tapi hidup dengan tujuan yang lebih besar, yaitu Tuhan dan keluarga.”

Irene menundukkan kepala, merasakan kesedihan yang dalam.

“Aku takut, Bu. Takut tidak bisa menjadi seperti yang kalian harapkan.”

Magdala mengelus rambut Irene dengan lembut.

“Tidak ada yang lebih penting dari menerima dirimu apa adanya. Kasih Tuhan tidak pernah terukur dari kesempurnaan kita. Justru dalam ketidaksempurnaan kita, Dia hadir.”

Beberapa bulan setelah Natal itu, Irene memutuskan untuk mengambil langkah besar dalam hidupnya. Ia kembali bekerja, tetapi kali ini dengan tujuan yang lebih jelas, untuk hidup sesuai dengan panggilan hatinya dan kembali berpusat pada Tuhan.

Ia mulai kembali aktif di gereja, merayakan Ekaristi bersama keluarga, dan mengajarkan nilai-nilai yang ia terima dari ibunya kepada anak-anak muda yang ia temui.

Suatu hari, ketika ia kembali mengunjungi orang tuanya di Pontianak, Irene berdiri di beranda rumah, memandang matahari terbenam di atas sungai Kapuas. Hatinya terasa lebih tenang daripada sebelumnya. Ia merasa, meski hidupnya tidak selalu sempurna, ia kini telah menemukan kedamaian dalam kasih Tuhan.

Magdala dan Yosefus berdiri di sampingnya, tangan mereka saling menggenggam dengan penuh kasih.

“Kami selalu menunggu saat ini, Irene,” kata Magdala, suara lembut penuh harapan. “Saat kau kembali dan menemukan jalan hidupmu yang sejati.”

Irene menatap mereka dengan penuh syukur.

“Aku menemukan kedamaian, Bu. Kedamaian yang selama ini aku cari.”(*)

LihatTutupKomentar
Cancel