Air yang Tak Pernah Berhenti Mengalir di Tepian Babylon

Foto: Ilustrasi/Freepik

Sungai itu mengalir perlahan, seakan tak peduli dengan kegalauan hati orang-orang yang duduk di tepinya. Warga kampung yang hidup jauh dari hiruk-pikuk kota besar sering datang ke sana, membawa beban pikiran masing-masing, menyaksikan aliran air yang seakan tahu lebih banyak tentang waktu daripada mereka.

Di suatu sore yang mendung, dua sahabat lama, Karyo dan Wandi, duduk di tepi sungai yang dalam kenangan mereka disebut sebagai "Sungai Babylon." Sungai yang menurut cerita orang-orang tua di kampung mereka pernah menjadi saksi kesedihan dan pertempuran batin yang tak berkesudahan.

Karyo menatap air yang mengalir, wajahnya tampak letih. Ia sudah lama mengabaikan tugasnya sebagai petani, lebih memilih duduk menunggu waktu berlalu, memikirkan kenangan yang tak pernah selesai. Wandi, yang lebih muda beberapa tahun darinya, duduk di sebelahnya. Wandi selalu punya cara untuk meredakan ketegangan, meskipun tak jarang candaannya lebih terdengar seperti pelarian.

"Apa yang kamu pikirkan, Karyo?" tanya Wandi, sambil memainkan batu kecil di tangan. "Apa sungai ini bisa memberikan jawaban?"

Karyo mendesah, mengatur nafasnya. "Sungai ini... sudah lama mengalir, Wandi. Tapi aku rasa kita masih berada di tempat yang sama. Lihat saja aku, apa yang sudah aku capai? Hidup ini cuma berputar-putar, seperti air ini."

Wandi tertawa kecil, meskipun tidak sepenuhnya serius. "Kamu terlalu berat berpikir, Karyo. Mungkin sungai ini memberi kita pelajaran tentang kesabaran. Bukankah air itu selalu mengalir, tidak peduli seberapa berat bebannya?"

Karyo menoleh ke arah sahabatnya, matanya setengah tidak percaya. "Sabar? Apa itu bisa mengubah sesuatu? Apa air yang mengalir ini bisa mengembalikan sesuatu yang telah hilang, Wandi?"

"Apa yang hilang itu, Karyo?" tanya Wandi, sedikit tertarik dengan nada suara sahabatnya yang mulai penuh ketegangan.

Karyo menatap jauh ke depan, seolah mencoba menembus kabut yang menyelimuti pikiran dan hatinya. "Semua. Impian, cinta, harapan... Bahkan kepercayaan kepada diri sendiri."

Wandi terdiam, merenungkan kata-kata Karyo. Mereka duduk dalam keheningan beberapa lama. Suara gemericik air dan suara burung yang terbang di kejauhan menjadi latar yang menenangkan.

"Aku tahu apa yang kamu maksud, Karyo," akhirnya Wandi membuka suara. "Kamu merasa seperti terjebak, bukan? Seperti orang yang dipaksa menyanyikan lagu di tanah asing, seperti yang tertulis dalam lagu itu... 'How shall we sing the Lord's song in a strange land?'"

Karyo terkejut. "Kamu tahu lagu itu?"

Wandi mengangguk. "Tentu. Lagu itu selalu terngiang-ngiang dalam pikiranku ketika aku merasa terasing. Tapi bukankah itu yang terjadi padamu sekarang? Kamu merasa terasing dari dirimu sendiri. Hidupmu yang dulu penuh semangat, sekarang terasa hilang begitu saja. Seperti kita dibawa ke suatu tempat yang asing, entah apa yang harus kita lakukan."

Karyo termenung, mencerna kata-kata sahabatnya. "Tapi aku tak tahu bagaimana cara kembali, Wandi. Apa yang hilang tak akan pernah bisa kembali."

Wandi tertawa lagi, kali ini lebih lembut. "Lalu, apa yang kamu harapkan dari sungai ini? Apa yang bisa diberikan oleh air ini, selain mengalir dan tetap berjalan?"

Karyo memandang sungai itu lagi, seolah mencari jawaban di dalam alirannya. "Aku... aku hanya ingin merasa damai, Wandi. Aku ingin menemukan kembali diriku yang dulu, yang penuh dengan keyakinan. Yang tidak takut menghadapi masa depan."

Wandi tersenyum penuh pengertian. "Kamu tahu, Karyo... sungai ini tak pernah berhenti mengalir, bukan? Bahkan jika air itu berbelok dan melalui rintangan, ia tetap berjalan. Mungkin, bukan tentang kembali ke masa lalu, tetapi tentang bagaimana kita menghadapinya dengan cara yang baru. Seperti air yang terus mengalir, kita bisa terus bergerak maju."

Karyo menghela nafas panjang, ada semangat yang mulai kembali meresap ke dalam dirinya. "Kamu selalu bisa mengubah apa yang tampak sulit menjadi hal yang lebih ringan, Wandi."

Wandi hanya tersenyum, lalu berdiri. "Tidak, Karyo. Itu bukan karena aku yang hebat. Hanya saja, kadang kita perlu melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda. Lihatlah sungai ini, ia selalu menemukan jalannya. Begitu juga dengan kita."

Karyo akhirnya ikut berdiri. "Mungkin kamu benar. Mungkin aku terlalu lama tenggelam dalam kenangan."

Wandi menepuk bahunya dengan lembut. "Kenangan itu penting, Karyo. Tapi jangan biarkan kenangan mengendalikanmu. Kita harus belajar dari sungai ini—mengalir, meskipun kadang-kadang kita tak tahu ke mana aliran itu membawa kita."

Keduanya berjalan perlahan menyusuri tepian sungai. Mereka tidak berbicara lagi, tetapi keduanya merasakan bahwa ada sesuatu yang baru yang mulai tumbuh di dalam diri mereka. Sebuah pemahaman bahwa hidup memang seperti sungai, terus mengalir, meski terkadang kita tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.(*)

LihatTutupKomentar
Cancel