Ladang Terakhir Ayah

[Foto: Ilustrasi/Freepik]

Matahari belum tinggi saat suara engkerama, alat tabuh kayu tradisional, bergema dari rumah panjang di ujung Kampung Tebing Kualan. Hari itu, bukan hanya tanda pagi, tapi juga pengingat, hari Ngamalo Lubakng Tugal.

Orang-orang berkumpul di ladang tua milik keluarga Patek Nyangau, salah satu tetua kampung yang baru saja wafat sebulan lalu. Menurut tradisi, ladang terakhir milik almarhum harus dibuka kembali oleh anaknya sebelum roh almarhum benar-benar menyatu dengan tanah.

“Umo’ ayahmu belum bicara. Tanah itu belum merasa hidup,” ujar Wak Sari, dukun tua yang memegang upacara hari itu. Suaranya bergetar pelan seperti desir daun di tiupan angin pagi.

Dina, anak bungsu Nyangau, berdiri mematung memandangi bekas ladang itu. Sudah bertahun-tahun ia tinggal di Pontianak, menjadi guru di kota. Namun hari ini, ia kembali, atas permintaan terakhir ayahnya: “Pulanglah, dan tanam satu musim padi di umo’ kita.”

Dina menarik napas panjang, lalu menatap Dado, kakaknya yang kini sibuk memotong semak di pinggir lahan.

“Dado,” katanya pelan, “kau yakin ini yang ayah mau?”

Dado tak menoleh. “Kalau bukan kita, siapa lagi?”

“Aku tak pandai menugal. Bahkan nama padi pun tak semua kuingat. Aku bukan orang kampung lagi.”

Dado melemparkan parang kecilnya ke tanah dan menoleh, sinis. “Tapi darahmu masih darah Dayak, bukan?”

Dina diam. Dado mengusap keringat, lalu tersenyum miring.

“Lagipula, kau kan guru. Ajar aku, dan aku ajar kau menugal. Adil, bukan?”

Mereka tertawa. Tawa kecil yang canggung, mencoba meredakan luka bertahun-tahun. Sejak ibu mereka meninggal, Dado memilih tinggal di kampung, meneruskan hidup sebagai peladang. Sedangkan Dina… memilih pergi. Tak ada pertengkaran besar, hanya jarak yang makin lama makin dingin.

***

Warga mulai berdatangan membawa ayam putih, tuak manis, dan segenggam beras merah. Di atas tikar anyaman rotan, Wak Sari mulai membakar kemenyan hutan.

“Jubata di langit, tanoh di bawah, roh di antara…hari ini kami buka umo’ lama. Mohon restu, jangan ada ular, jangan ada harimau, jangan ada hati yang keras kepala…” doa Wak Sari diselingi gumaman tua yang tak semua orang mengerti. Bahasa roh leluhur.

Seekor ayam putih disembelih, darahnya diteteskan ke tanah. Simbol kehidupan baru.

“Sudah sah,” kata Wak Sari kemudian, “tinggal kalian sendiri yang harus berdamai.”

Dina memandang Dado, yang justru melirik langit.

“Kau dengar itu?” Dado menyeringai. “Mungkin Jubata juga lelah lihat kita bertengkar terus.”

“Ya, mungkin. Tapi aku tetap tak tahu bagaimana mulai…”

“Kau bisa mulai dari mencangkul yang benar. Jangan lagi bilang cangkul ini ‘kayak setrikaan tua’,” Dado menggoda, mengenang komentar pertama Dina saat mereka mulai membersihkan lahan tiga hari lalu.

Dina tersenyum. “Tapi kan memang mirip, lihat saja bentuknya...”

Wak Sari ikut tertawa, “Setrikaan bisa bikin baju rapi. Cangkul bisa bikin hati rapi, asal tahu cara mengayunkannya.”

***

Suatu sore, saat mereka berdua duduk di bawah pohon langsat di tepi ladang, Dina bertanya pelan.

“Dado, kenapa kau nggak pernah mau pindah ke kota? Padahal ayah dulu sempat bilang kau pintar berhitung.”

Dado mengusap janggut mudanya. “Karena aku lebih suka menghitung musim daripada uang.”

“Filsafat ala peladang?” goda Dina.

“Filsafat ala Dayak. Kita diajari bahwa tanah bukan milik kita. Kita hanya numpang hidup. Kota... terlalu sombong. Semua mau jadi pemilik.”

Dina terdiam. Kata-kata itu membekas. Ia sendiri merasa sudah “memiliki” hidup di kota, tapi kosong. Tak ada yang bisa ditanam, tak ada yang benar-benar tumbuh.

Beberapa hari kemudian, menjelang penanaman, terjadi pertengkaran.

Malam itu, mereka berkumpul di rumah panjang, makan bersama warga setelah hari panen jagung. Dado mabuk sedikit, dan mulai mengungkit masa lalu.

“Kalau ibu masih hidup, mungkin kau nggak bakal tinggalin aku sendiri di sini,” katanya keras di depan semua orang.

“Dado…” Dina menegur.

“Tahu nggak, waktu ayah sakit, kau malah kirim uang! Tapi tidak kirim peluk!”

Semua orang hening. Hanya suara kayu patah di tungku yang terdengar.

“Dan waktu dia meninggal, kau pulang cuma dua hari. Dua hari, Dina!”

Air mata Dina mengalir. Ia berdiri.

“Kalau kau tahu aku selalu merasa bersalah, kenapa harus kau lempar di depan orang?”

Dado terdiam. Semua mata menunduk. Hanya Wak Sari yang mendekat dan menepuk bahu Dina.

“Tak semua luka harus ditunjukkan. Tapi tak semua luka harus disembunyikan juga,” katanya pelan.

Hari penanaman tiba. Dina mengenakan ta’a, pakaian adat Dayak. Dado menggenggam tugal, tongkat kayu runcing untuk melubangi tanah sebelum menanam.

“Giliranku dulu?” tanya Dina.

Dado mengangguk. “Tapi jangan dalam-dalam, nanti Jubata marah. Padi bukan emas, dia tak suka dikubur.”

Dina tertawa sambil menugal lubang pertama. “Ini... untuk ayah.”

Satu per satu biji padi ditanam. Di antara tanah yang hangus karena pembakaran, tumbuh harapan.

Hari itu, Dina merasa ringan. Seolah semua yang terbakar bukan hanya semak dan ranting, tapi juga luka lama yang selama ini tertimbun.

Tiga bulan kemudian, ladang mereka menguning. Padi mulai menunduk, tanda matang.

Wak Sari datang membawa kabar.

“Semalam, aku mimpi Patek Nyangau datang. Katanya... "Sudah kubaca doa mereka. Sekarang aku tenang.”

Dina menatap ladang yang penuh padi. Ia tahu, doa itu tak hanya dari ayah, tapi juga untuk dirinya sendiri. Untuk hidup yang selama ini ia jalani tanpa akar.

“Dado,” katanya sambil tersenyum, “kalau panen nanti, ajar aku bikin lemang.”

“Siap, tapi kau harus janji: habis lemang, kita mabuk tuak.”

“Tuaknya jangan keras-keras, aku bisa lupa jalan pulang!”

“Kau sudah pulang, Dina. Ke ladang, ke rumah, ke hati kami.”

Ladang bukan sekadar tempat menanam. Bagi orang Dayak, ladang adalah tempat menumbuhkan jiwa. Di balik tugal dan abu, tersimpan doa-doa yang tak terdengar, tapi hidup.

Dan seperti tanah yang tak pernah benar-benar mati, hati manusia pun bisa tumbuh kembali, asal diberi waktu, dan cinta.(*)

LihatTutupKomentar
Cancel