Gema Mandau di Hutan Sunyi

[Foto: Pingtree]

Hutan belum sepenuhnya terjaga dari kabut pagi ketika Raga menatap sebilah Mandau yang tergantung di dinding rumah panjang. Cahaya remang-remang menari di atas bilah logamnya yang mengilap.

“Mandau itu bukan untuk tangan yang masih marah, Rag,” suara Ayahnya, Tuwek, datang dari belakang.

Raga tak menjawab. Pandangannya masih tertancap pada ukiran burung enggang di gagang tanduk kerbau itu.

“Aku hanya ingin tahu, Ayah… kenapa dia lebih dekat dengan dinding daripada dengan tanganmu belakangan ini?”

Tuwek terdiam sejenak, lalu duduk perlahan di tikar rotan.

“Karena aku sedang belajar menajamkan kata-kata… bukan bilah.”

Di kampung Tembawang Jaga, Mandau bukan hanya alat. Ia adalah roh. Simbol. Kesinambungan antara langit, tanah, dan darah yang tertumpah dalam sejarah. Mandau yang tergantung di rumah panjang keluarga Raga bukan sembarang pusaka. Ia telah menebas babi hutan, membelah ilalang untuk ladang, bahkan pernah... memisahkan kepala manusia, dahulu kala, dalam tradisi ngayau.

Tapi kini, bilah itu lebih banyak diam.

“Kau tahu, Mandau itu seperti Ayah kita,” bisik Anya sambil menyenggol Raga.

“Tajam, tapi semakin tua, makin banyak diamnya.”

“Tapi diam bukan berarti tumpul,” balas Raga pelan.

Konflik antara Raga dan Tuwek sudah lama menyala seperti bara di dalam sekam. Sejak Raga menolak menjadi penerus adat dan memilih membuka kebun jahe secara modern, mereka jarang bicara tanpa nada tinggi.

“Anak muda sekarang cuma tahu internet, bukan niat!” teriak Tuwek suatu malam.

“Dan orang tua cuma tahu adat, bukan padat!” balas Raga, tak kalah keras.

Saat itulah Raga diusir dari rumah panjang. Tapi malam itu, Mandau pusaka jatuh dari gantungannya. Tidak patah. Tapi gagangnya retak sedikit.

Nenek tua kampung berkata,

“Itu tandanya… antara Ayah dan Anak, sudah tak satu roh.”

Pagi itu, Raga duduk di pinggir sungai, mencoba menajamkan parang kecil. Tiba-tiba Bengka, sahabatnya yang selalu ceria, datang dengan segelas tuak.

“Kalau parangmu itu diasah terus, bisa-bisa malah bolong, Rag!” katanya sambil duduk.

“Tak apa bolong, asalkan masih bisa memotong logika Ayahku yang kaku itu.”

“Aduh, logika? Sejak kapan kau sekolah filsafat?” Bengka terkekeh.

“Ingat, Rag. Di kampung ini, yang tajam bukan hanya Mandau. Lidah tetua juga bisa menebas harga diri.”

“Makanya aku ingin membuktikan, Beng. Bahwa aku bisa menjaga kampung ini, tanpa harus menggenggam bilah itu.”

Suatu malam, saat badai datang dan kilat menyambar-nyambar, terdengar suara aneh dari dalam rumah panjang.

Mandau pusaka bergetar sendiri di gantungannya. Beberapa tetua datang dan membakar kemenyan. Mereka percaya, roh dalam Mandau sedang marah.

“Karena dia ditinggalkan,” kata Nenek tua sambil menaburkan daun sirih.

Tuwek tak bicara banyak. Ia hanya menatap bilah itu dengan mata sayu.

“Atau mungkin,” bisik Anya di samping Raga, “roh Mandau itu rindu pada tangan yang jujur. Bukan yang merasa hebat.”

Raga mengangguk pelan. Entah kenapa, malam itu, ia merasa Mandau itu sedang bicara padanya.

"Kau ingin menggantikan Ayahmu. Tapi kau menolak warisan jiwanya."

Keesokan harinya, Raga mendatangi Ayahnya. Duduk bersila. Diam lama.

“Ayah… aku ingin memahami, bukan hanya menggenggam.”

Tuwek menghela napas. Ia bangkit, mengambil Mandau dari gantungannya, lalu menyerahkannya kepada Raga.

“Pegang ini,” katanya.

“Tapi jangan kau pikir kau sedang memegang kekuasaan. Kau sedang memegang tanggung jawab.”

“Mengapa Mandau ini tidak boleh digunakan sembarangan?”

“Karena ia menyimpan roh. Ia adalah bilah dari keputusan. Sekali kau mengayunkannya dengan niat yang keliru, roh yang ada di dalamnya bisa melukai lebih dari sekadar tubuh—ia bisa menebas jiwamu sendiri.”

“Lalu kenapa gagangnya indah, ukirannya lembut, padahal bilahnya tajam?”

“Karena seperti hidup, Rag. Kekuatan sejati selalu dibungkus kelembutan. Seperti ibu yang memarahi anaknya, tapi masih menyiapkan makan.”

Beberapa minggu kemudian, kabar datang bahwa sekelompok perambah hutan telah masuk wilayah kampung. Tuwek, Raga, Bengka, dan para pemuda lain bersiap.

Namun, alih-alih membawa Mandau pusaka, Tuwek hanya membawa daun pinang dan gong kecil.

“Kenapa tidak Mandau, Ayah?” tanya Raga.

“Karena yang kita hadapi bukan musuh. Mereka hanya orang yang lupa cara bicara pada hutan.”

Dengan negosiasi yang hangat dan tenang, para perambah akhirnya mundur. Tak ada bilah yang diayunkan, hanya kata-kata dan adat yang ditegakkan.

Malam itu, di depan api unggun, Raga kembali menatap Mandau pusaka yang kini ia jaga sendiri.

“Kau benar, Ayah,” gumamnya.

“Mandau yang tajam tak harus menyakiti. Ia bisa menjadi penanda jalan… bukan pemisah jiwa.”

Tuwek menepuk bahunya.

“Kini kau tahu, mengapa Mandau adalah bilah jiwa, tapi harus selalu punya sarung. Karena luka yang dibungkus, bukan berarti dilupakan. Tapi dihormati.”

Beberapa bulan kemudian, Raga membuka ladang bersama warga. Ia menggenggam tugal, bukan Mandau. Tapi Mandau tetap ia bawa di pinggang, bukan untuk memotong, melainkan sebagai pengingat.

Bahwa dalam hidup, yang paling tajam bukan senjata, tapi keputusan yang dibuat dengan hati jernih.

Mandau pusaka kini tergantung kembali di rumah panjang. Tapi kali ini, ia tidak sendiri. Di bawahnya, tergantung foto Raga dan Tuwek yang sedang tertawa bersama.

Dan di bawah foto itu, tertulis:

“Mandau bukan milik tangan. Tapi milik hati yang telah menebas keegoan.”(*)

LihatTutupKomentar
Cancel