Saat Tuma Tak Lagi Bernyanyi

[Foto: Ilustrasi]

Langit sore menggantung jingga di atas Bukit Kambong. Suara angin memukul-mukul daun pohon tengkawang yang tua, sementara di kejauhan, suara tuma terdengar samar—“tung... tak... tung...” Seperti detak jantung yang enggan mati.

Di kolong rumah betang tua milik kepala adat, duduk seorang lelaki tua bersarung dan bertelanjang dada, memeluk tuma panjang yang permukaannya mulai mengelupas. Ia adalah Akok, dadalang tua yang sudah hampir sepuluh musim tidak tampil di upacara Basuayak.

Di depannya berdiri seorang pemuda, berkulit gelap dan bertato burung enggang di lengan kanan, Juna, cucu sulung Akok, baru kembali dari Pontianak setelah tujuh tahun merantau.

"Tuma itu... masih bisa berbunyi, Kek?" tanya Juna pelan.

Akok menatapnya dengan mata kecil yang keriput. Ia mengetuk ringan tuma dengan telapak tangan kanannya, perlahan.

“Tak.”

“Kau dengar? Masih, tapi tidak nyaring. Mungkin dia juga sudah tua, seperti aku,” gumam Akok, lalu tertawa pendek, getir.

Juna ikut duduk, bersandar pada tiang rumah yang sudah lapuk dimakan usia.

“Di kota, semua pakai musik digital, Kek. Tuma begini dianggap hanya pantas jadi pajangan etalase."

“Itulah, Juna... Musik digital bisa bikinmu menari. Tapi tuma bisa bikin roh nenek moyang menari. Itu bedanya.”

Hening. Hanya suara dedaunan dan ayam hutan di kejauhan. Lalu Akok menoleh, memandang Juna tajam.

“Kau pulang untuk menjemput pusaka? Atau sekadar nostalgia?” tanya Akok lirih, tapi dalam.

Juna tak langsung menjawab. Ia membuka tas kecilnya dan mengeluarkan dokumen berstempel pemerintah.

“Kek, Bukit Kambong akan dibangun resort. Lahan kita kena pembebasan. Kita dapat kompensasi. Banyak. Tapi… tempat ini harus dibongkar. Termasuk rumah betang.”

Akok tak berkedip. Tangannya mengelus kulit kijang muda di tuma miliknya seperti mengelus kepala anak sendiri.

“Jadi kau pulang, bukan untuk menari bersama tuma. Tapi untuk menjual roh di dalamnya.”

“Kek, ini bukan roh. Ini cuma alat musik,” sahut Juna mulai emosi.

“Kita harus maju. Tradisi tak bisa jadi alasan untuk hidup miskin.”

Akok tertawa. Tawa yang tidak lucu, tapi menohok.

“Itulah orang kota. Semua bisa dihitung dengan angka. Bahkan roh dijadikan statistik. Cucu kepala adat, berbicara seperti juragan kontraktor.”

“Kek, jangan bawa-bawa adat kalau tidak bisa kasih makan,” bentak Juna, suaranya meninggi.

“Dan jangan bawa-bawa makanan kalau kau lupa siapa yang mengajarimu makan dengan tangan, bukan sendok!” balas Akok, nadanya membara.

Keduanya diam. Udara berubah pekat, seperti tuma yang tak lagi dipukul. Juna menunduk, menahan marah dan malu. Akok berdiri perlahan, mengambil cangkir bambu berisi tuak dari sudut ruangan.

“Minum ini. Biar kepalamu dingin. Kalau tidak mau, kuberikan ke anjing hutan,” kata Akok, mencoba meredakan.

Juna mendengus, lalu tertawa kecil.

“Kek, anjing hutan tak minum tuak.”

“Kau belum pernah lihat. Yang sering minum itu biasanya justru manusia kota.”

Keduanya tertawa. Ada kehangatan sejenak, sebelum Juna kembali serius.

“Kek, aku tahu aku salah. Tapi aku juga ingin kita hidup lebih baik. Tuma bisa kita simpan. Rumah ini bisa dibangun ulang.”

Akok menatap cucunya. Dalam tatapan itu ada air mata yang tak tumpah. Ada cinta yang tak pernah bisa diterjemahkan kata-kata.

“Kau tahu mengapa tuma dibuat dari kulit kijang muda?”

“Agar suaranya nyaring,” jawab Juna cepat.

“Benar. Tapi juga karena kijang muda lincah. Lari cepat, tapi tak pernah lupa jalan pulang. Nah... kamu?”

Juna terdiam.

“Aku pulang, Kek. Tapi mungkin tak tahu lagi bagaimana pulang ke dalam hati sendiri.”

Angin mengusap wajah mereka. Di kejauhan, anak-anak mulai menyalakan obor untuk latihan Jonggan. Seorang gadis kecil berlari ke arah mereka. Nela, adik sepupu Juna, membawa daun pisang berisi ubi rebus.

“Aki, Juna... makan dulu! Ubinya masih panas!” teriaknya.

Akok tersenyum, mengelus kepala Nela.

“Lihat dia. Mungkin nanti dialah yang akan menabuh tuma ketika kita sudah jadi arwah.”

Juna tersenyum, mengambil sepotong ubi.

“Mungkin nanti dia yang lebih tahu arti adat daripada aku yang sekolah tinggi.”

Akok menatap cucunya dalam.

“Ilmu tinggi tak akan membuatmu tinggi kalau tak tahu di mana bumi berpijak.”

“Aku tahu, Kek. Tapi bagaimana caranya kita tetap hidup dari budaya ini?”

Akok tidak langsung menjawab. Ia berdiri, berjalan menuju rak bambu, mengambil satu tuma kecil yang sudah lusuh. Ia menyodorkannya pada Juna.

“Bawa ini ke kota. Ajak orang kota menari. Bukan untuk kita tunduk pada mereka. Tapi agar mereka tahu kita tak bisa dibeli.”

Juna mengambil tuma itu, memeluknya. Dalam hatinya, seperti ada ketukan baru. Detak yang tak bisa dihasilkan oleh gawai atau speaker bluetooth mana pun.

Tiga bulan kemudian, sebuah festival budaya di Pontianak dibuka dengan suara tuma, diperkenalkan oleh seorang pemuda bertato burung enggang di lengan kanan, mengenakan rompi tenun Dayak. Ia memperkenalkan dirinya sebagai  Juna, cucu seorang dadalang dari Bukit Kambong.

“Tuma ini bukan sekadar alat musik. Ia adalah suara hati dari hutan, sungai, dan roh-roh nenek moyang yang tak bisa dibungkam oleh beton atau anggaran proyek.”

Sementara itu, di Bukit Kambong, Akok duduk di kolong rumah betang yang direnovasi. Tuma lamanya tergantung di atas kepala, masih utuh.

Ia menutup matanya dan tersenyum. Di kejauhan, suara anak-anak menabuh tuma mengiringi tarian Jonggan.

“Tung... tak... tung...”

(*)

LihatTutupKomentar
Cancel