Sebelum Benih Menjadi Lupa

[Foto: Ilustrasi]

Matahari baru saja naik, tapi kabut pagi sudah menipis, membiarkan sinarnya menerobos pepohonan tinggi di Kampung Sungai Nanga. Aroma tanah basah bercampur embun pagi memenuhi udara.

Di sebuah ladang, yang tanahnya sudah selesai dibersihkan, duduk seorang lelaki tua bernama Apai Jala. Keriput di wajahnya seperti alur sungai yang bercerita tentang waktu.

Di sampingnya, sekeranjang benih padi hitam yang legam, benih yang sama yang diturunkan dari tujuh generasi sebelumnya.

"Pagi yang baik untuk menugal, Ami," ujar Apai Jala, suaranya serak namun penuh wibawa.

Seorang pemuda berambut ikal bernama Ami mendekat, wajahnya masih memancarkan kantuk.

"Tapi, Apai, apa bedanya menugal begini dengan menanam pakai traktor? Lebih cepat dan tidak capek," jawab Ami sambil menguap.

Apai Jala tertawa pelan.

"Lebih cepat, ya. Tapi, apakah itu benar-benar lebih baik? Cepat itu seperti air yang mengalir deras, kadang membawa banyak, kadang juga merusak. Menugal, Ami, ini bukan sekadar menanam padi. Ini tentang berbicara pada tanah. Kita bukan hanya melubangi, kita menyapa. Kita membisikkan harapan pada bumi."

Ami tidak sepenuhnya mengerti, tapi dia melihat ketulusan di mata Apai Jala.

"Jadi, kalau traktor, kita cuma... berteriak pada tanah?"

"Lebih dari itu," kata Apai Jala.

"Traktor itu ibarat orang yang mengambil tanpa meminta izin. Dia merenggut, bukan menanam. Kita, dengan tugal ini, kita minta restu. Kita menugal sambil menunduk, menghormati tanah yang akan memberi kita kehidupan."

Tiba-tiba, terdengar suara tawa riuh. Apai Pamat, sahabat Apai Jala, datang dengan rombongan laki-laki yang membawa tugal masing-masing.

Di belakang mereka, para perempuan, termasuk Umai Nisa, istri Ami, membawa keranjang berisi benih.

"Lihatlah, Jala! Sudah ku bilang, anak muda sekarang maunya instan. Padi instan, cinta instan, semua serba instan!" seru Apai Pamat sambil terkekeh, menyindir Ami.

Ami tersenyum kecut. "Apai Pamat ini, jangan begitu. Aku masih Dayak sejati. Cuma... penasaran saja."

"Pernah dengar kata pepatah kita? ‘Apai’ kita bilang, ‘hidup itu seperti akar, ia tidak terlihat tapi menopang segalanya.’ Traktor itu memotong akar. Tugal ini menancapkan akar," ujar Apai Pamat sambil menepuk bahu Ami.

Ritual pun dimulai. Apai Jala berdiri di tengah ladang, memegang mangkuk berisi benih padi. Asap dupa yang mengepul naik perlahan, membawa doa ke langit.

Ia memanjatkan permohonan kepada Jubata, Sang Pencipta, serta roh-roh leluhur agar tanah subur dan panen melimpah. Matanya terpejam, wajahnya tenang.

Setelah ritual selesai, para lelaki mulai menugal. Tugal, tongkat kayu yang ujungnya lancip, diangkat tinggi, lalu dihentakkan ke tanah.

"Tuk! Tuk! Tuk!" Suara tugal bersahutan, menciptakan irama yang khas. Di belakang mereka, para perempuan dengan cekatan menaburkan benih ke dalam lubang yang baru dibuat.

Apai Pamat berteriak, "Ami! Lebih dalam lagi! Kau mau padi kita tumbuh pendek seperti jenggotku?"

Semua tertawa. Tawa lepas, tanpa beban. Ami tersipu malu, lalu menghentakkan tugalnya lebih kuat. Ia berusaha mengimbangi irama tugal para tetua. Keringat mulai membasahi dahi, dan otot lengannya terasa kaku.

Di sisi lain ladang, Umai Nisa, istrinya, menaburkan benih dengan lembut. Ia melihat suaminya yang masih berjuang.

"Hati-hati, Bang! Jangan sampai jari-jari bengkak, nanti tak bisa pegang sendok di rumah!" godanya, membuat para perempuan lain ikut tertawa.

"Nisa, suamimu itu sedang melatih kesabaran. Nanti kalau sudah sabar, baru bisa mengerti hati wanita," celetuk seorang perempuan paruh baya bernama Umai Kunti.

Ami tak bisa menahan senyumnya. "Umai Kunti, itu sudah di luar urusan tugal, ya!"

 ***

 Matahari beranjak tinggi, dan panas mulai terasa membakar. Tapi semangat gotong royong tak surut. Tugal terus dihentakkan, benih terus ditaburkan. Di tengah kerja keras, Apai Jala melihat ke arah Ami, yang kini tampak lebih serius.

"Ami," panggilnya.

Ami berhenti sejenak. "Ya, Apai?"

"Apakah kau mengerti makna dari semua ini?"

Ami terdiam, memandang tangannya yang kotor oleh tanah.

"Sedikit, Apai. Tadi saya pikir ini cuma pekerjaan, tapi sekarang rasanya... berbeda. Rasanya seperti menyatukan diri dengan tanah. Ada... rasa damai."

Apai Jala mengangguk pelan.

"Ya. Kita tidak melawan alam, Ami. Kita bersamanya. Traktor, itu ibarat kita memaksa alam. Tapi tugal, kita merayu. Kita memohon. Kita dan tanah adalah satu. Padi yang tumbuh dari ladang ini bukan hanya sekadar makanan. Ia adalah jelmaan doa dan keringat kita."

Ami teringat perdebatan kecilnya dengan Apai Jala pagi tadi. Ia merasa malu. Perasaannya campur aduk. Ia menyayangi Apai Jala, yang baginya sudah seperti ayah sendiri, tapi terkadang ia merasa ide-ide Apai Jala terlalu kuno.

"Apai, kenapa kau masih menganggapku anak kecil?" tanya Ami, suaranya tiba-tiba berubah serius. "Aku tahu kau kecewa karena aku ingin pindah ke kota."

Sontak, tawa dan obrolan di sekitarnya mereda. Apai Jala menatap Ami dengan mata yang penuh arti.

"Nak, kau salah paham," katanya.

"Aku tidak pernah kecewa padamu. Aku hanya... khawatir. Aku khawatir kau akan lupa. Lupa dari mana kau berasal. Kau bisa pergi ke mana pun. Belajarlah. Carilah pengalaman. Tapi jangan lupa siapa dirimu. Akar dan asalmu ada di sini."

Umai Nisa mendekat, matanya berkaca-kaca. Ia tahu suaminya selama ini sering berdebat dengan Apai Jala soal masa depan mereka. Ami ingin hidup yang lebih modern, jauh dari tradisi yang menurutnya membatasi.

"Apai," kata Ami lagi, suaranya bergetar, "Aku hanya ingin yang terbaik untuk Nisa dan anak-anakku kelak. Di kota, hidup akan lebih mudah."

"Mudah?" Apai Jala tersenyum masam.

"Mudah itu racun, Nak. Ia membuatmu lupa arti berjuang. Padi ini tidak tumbuh mudah. Ia berjuang melawan gulma, ia berjemur di bawah matahari, ia diguyur hujan. Tapi pada akhirnya, ia menjadi kuat dan berbuah."

"Tapi kita tidak bisa hidup hanya dari padi, Apai! Kita butuh uang untuk sekolah anak-anak, untuk membeli..."

"Uang?" potong Apai Jala.

"Uang itu benda mati, Nak. Padi ini hidup. Ia bisa memberimu uang, iya. Tapi ia juga bisa memberimu ketenangan, kebersamaan, dan identitas. Bisakah uang melakukan itu?"

Keheningan melingkupi mereka. Tiba-tiba, Umai Nisa memegang tangan Ami.

"Aku tahu kamu ingin yang terbaik, Bang. Tapi... lihatlah mereka semua."

Ia menunjuk sekeliling.

"Mereka tidak dibayar. Mereka tidak menghitung-hitung. Mereka datang karena kita butuh bantuan. Itu yang tidak bisa dibeli dengan uang."

Air mata Umai Nisa menetes.

"Jangan tinggalkan semua ini, Bang. Kita bisa berjuang bersama di sini. Di sini, kita punya keluarga. Di sini, kita punya masa lalu. Di sini, kita punya cerita untuk anak-anak kita kelak."

Ami menatap wajah istrinya. Ia melihat kekhawatiran dan cinta yang mendalam. Lalu pandangannya beralih ke Apai Jala. Lelaki tua itu hanya berdiri, membiarkan Ami memproses perasaannya.

"Apai," kata Ami, suaranya lebih lembut, "Maafkan aku."

Apai Jala mengangguk.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Nak. Hati memang butuh waktu untuk menemukan jalannya."

***

Malam harinya, di balai kampung, semua berkumpul. Api unggun menyala, menghangatkan udara malam. Ada tawa dan canda. Para perempuan memasak makanan dari hasil kebun, para lelaki duduk melingkar sambil bercerita.

Apai Jala dan Ami duduk bersebelahan. Ami menatap wajah Apai Jala yang terkena pantulan cahaya api.

"Apai," bisik Ami, "Aku tidak akan ke kota."

Apai Jala menoleh, matanya berbinar. "Pilihan yang baik, Nak."

"Aku sadar, tugal itu bukan cuma soal menanam padi. Itu soal menanam harapan. Itu soal menancapkan diri ke tanah yang sama dengan para leluhur," kata Ami, dengan pemahaman yang lebih dalam.

"Ya. Padi ini adalah tubuh kita. Tanah ini adalah roh kita," jawab Apai Jala.

"Jika padi adalah raga, maka tradisi ini adalah jiwa."

Apai Pamat yang duduk di samping mereka, tiba-tiba menyela, "Lalu aku? Aku ini apa?"

Semua orang tertawa. Apai Jala memandang Apai Pamat dengan senyum.

"Pamat, kau adalah candaan, bumbu yang membuat hidup ini tidak terlalu serius."

"Tugal, nasi, tradisi, dan candaan, itulah hidup. Laki-laki menugal, perempuan menabur. Laki-laki menguatkan raga, perempuan memberi nyawa," kata Apai Jala.

Ami menatap langit yang penuh bintang. Ia merasa lega. Konflik dalam dirinya, antara masa lalu dan masa depan, antara tradisi dan modernitas, kini telah menemukan titik temu. Ia tidak harus meninggalkan satu untuk mendapatkan yang lain. Ia bisa membawa tradisi Dayak ke masa depan.

Besok, matahari akan terbit lagi. Dan jejak tugal mereka, jejak perjuangan mereka, akan menjadi cerita yang diwariskan. Cerita tentang sebuah kampung di tepi sungai, di mana padi bukan hanya untuk dimakan, tapi untuk diingat. Untuk dipahami. Bahwa di setiap butir padi, ada doa. Di setiap alur tugal, ada jejak leluhur. Di setiap napas, ada kehidupan yang terhubung dengan alam semesta.(*)

LihatTutupKomentar
Cancel