Suara yang Tak Boleh Bersiul
(Foto: Ilustrasi)
Embun masih menggantung di ujung daun ketika
Tula menyampirkan mandau ke pinggangnya. Dari celah-celah kabut yang
menggantung di lereng bukit, suara burung enggang terdengar samar, seakan
memberkati awal hari itu.
Di belakangnya, Kampung Sungai Tebalo masih terlelap, kecuali satu rumah panjang tempat tawa sudah pecah sejak fajar. Itu rumah keluarga Omai, sahabat sekaligus musuh lamanya.
"Tula, cepat betul kau bangun hari ini. Mau nikah dengan hantu rimba, kah?" seru Omai sambil menepuk pundaknya dari belakang.
"Bukan. Hari ini aku ingin bertengkar denganmu sambil menebas semak," jawab Tula sambil tersenyum tipis.
"Boleh juga. Tapi jangan menangis kalau mandauku lebih tajam dari lidahmu."
Mereka tertawa. Tapi ada guratan kesedihan yang belum sembuh di antara keduanya. Semenjak ayah Tula meninggal dalam kebakaran ladang tahun lalu, hubungan mereka yang dulu akrab mulai terasa renggang. Bukan karena Omai tak peduli, tapi karena Tula menarik diri.
Hari itu, mereka akan membuka ladang baru bersama-sama. Setelah tiga tahun ladang lama ditinggal untuk pemulihan, kini giliran tanah itu dibangunkan lagi dari tidurnya.
Di tengah semak, suara tebasan mandau bersahutan dengan tawa dan ejekan ringan dari para pemuda kampung.
"Hei, Tula! Jangan peluk pohon itu, dia tak bisa membalas cintamu!" canda Aben, sepupu Omai.
"Pohonnya lebih setia dari kalian. Tak pergi meski dilukai," sahut Tula, membuat yang lain tertawa keras.
Namun senyum itu tak bertahan lama. Ketika Omai menebas sebuah pohon tua, dia menemukan tanda goresan, tanda yang dahulu dibuat oleh Ayah Tula saat mereka membuka ladang bersama bertahun silam.
Tula mendekat, diam. Tangannya menyentuh goresan itu perlahan, seperti ingin mengingat.
"Kau ingat waktu itu? Ayahmu bilang, 'Setiap tebasan harus disertai doa, bukan amarah,'" kata Omai pelan.
"Tapi nyatanya, doa tidak bisa menyelamatkannya."
"Dia tahu risikonya. Ia tidak mati sia-sia, Tula. Api itu bukan kutukan, tapi bagian dari napas tanah kita. Kau tahu itu."
"Kau tak kehilangannya, Omai. Aku kehilangan arah, kehilangan suara."
Sunyi. Angin berhenti, dan hutan pun seolah ikut mendengarkan. Lalu terdengar tawa pelan dari Omai.
"Kau kehilangan suara? Padahal dulu kau yang paling cerewet tentang filsafat padi."
Tula tersenyum, meski matanya berkabut.
"Ya. Tentang padi yang tak boleh disapa dengan teriakan. Tentang larangan bersiul di ladang."
"Karena ladang adalah tubuh nenek moyang kita. Siulmu bisa membangunkan arwah pemarah, katanya."
"Lucu, ya. Kita lebih takut pada arwah daripada kehilangan tanah itu sendiri."
Beberapa minggu kemudian, seluruh warga berkumpul. Saat itu waktu pembakaran lahan. Proses yang sering disalahpahami oleh orang luar.
Tula berdiri di barisan depan. Di tangannya, seikat daun sangkuw digunakan sebagai simbol pembersihan.
"Bakar bukan berarti membinasakan," kata Tetua Kampung, Jaya Nawan.
"Tapi membuka ruang bagi kehidupan baru. Kita tidak membakar karena rakus, tapi karena kita percaya tanah butuh istirahat. Butuh api sebagai perantara antara dunia atas dan bawah."
Omai menoleh ke Tula dan berbisik, "Seperti kita. Kadang hati juga perlu terbakar agar bisa tumbuh kembali."
Tula tidak menjawab, tapi sorot matanya lebih hangat dari sebelumnya.
Asap putih mulai membubung. Burung-burung terbang menjauh, dan aroma kayu terbakar mengingatkan Tula pada malam ayahnya hilang.
"Apakah tanah ini akan memaafkanku?" bisiknya dalam hati.
"Tanah tak butuh memaafkan. Ia hanya butuh kau kembali dengan hati jernih," jawab suara Bapak Jaya tiba-tiba, seakan membaca pikirannya.
Tula terdiam.
*****
Beberapa hari kemudian, abu telah dingin. Waktu untuk menugal telah tiba. Bersama-sama, para warga membawa benih padi, menancapkan kayu ke tanah, lalu menjatuhkan benih dengan doa dan harapan.
"Satu lubang, satu harapan," ujar Omai sambil menugal.
"Kalau begitu, aku akan tanam dua benih. Satu untuk ayahku. Satu untuk suara yang hilang," jawab Tula.
"Kau tahu, dalam ajaran lama, padi punya jiwa. Kalau kau bicara padanya dengan jujur, dia akan tumbuh lebih subur."
"Bagaimana kalau aku tidak jujur?"
"Maka dia akan tumbuh, tapi tanpa rasa. Seperti kau akhir-akhir ini."
Tula tertawa. Tawa yang terdengar asing tapi menyenangkan. Canda Omai, meski pedas, selalu punya tempat di hatinya.
"Kalau begitu, aku akan tanam satu lagi. Untukmu."
"Untukku? Supaya aku cepat dapat istri, kah?"
"Bukan. Supaya kau tidak terlalu banyak bicara."
Mereka tertawa bersama, suara mereka membaur dengan suara hutan.
Bulan berganti, dan ladang itu pun hijau. Padi berdiri tegak, daunnya melambai seperti menari. Di tengah-tengah hamparan itu, Tula berdiri dengan tatapan lembut.
"Kau lihat, Mai? Tanah ini tidak mati. Ia hanya menunggu kita pulang."
"Aku tahu. Dan kau juga bukan yang dulu. Kau kembali."
"Ayahku selalu bilang, tanah tidak butuh diselamatkan. Tapi kita yang harus menyelamatkan diri dengan merawat tanah."
Panen dilakukan dengan penuh syukur dan upacara kecil. Tidak ada mesin. Hanya tangan, lagu-lagu lama, dan cerita yang terus diulang.
Ketika matahari tenggelam, Omai dan Tula duduk di atas tikar sambil menatap ladang.
"Jadi, setelah ini kau akan berladang lagi?" tanya Omai.
"Tentu. Aku tidak akan berhenti sampai anakku nanti juga tahu bahwa berladang bukan hanya soal menanam. Tapi soal mengenal siapa diri kita."
"Kalau begitu, aku harus mulai melamar adikmu supaya bisa ikut sistem handop!"
"Kau berani? Siapkan diri ditugal oleh ibu dulu."
"Asal bukan ditugal oleh kau!"
Tertawa mereka membubung bersama kabut malam. Di ladang itu, tanah tidak pernah benar-benar mati. Ia hanya menunggu. Seperti Tula, yang kini menemukan kembali suara dan maknanya.(*)