Aku Bukan Anakmu, Kau Bukan Ayahku

[Foto: Ilustrasi]

Senja merayap pelan ke jendela kamar rumah sakit. Di luar, langit tampak seperti lukisan air yang meleleh, jingga, ungu, abu, lalu lenyap ke gelap. Di dalam, suara detak jantung mesin monitor seperti pengingat waktu yang terus berjalan tanpa belas kasihan.

“Ayah,” bisik Reza, suaranya parau. Tangannya menggenggam tangan keriput yang makin dingin.

Pak Harun tak menjawab. Matanya tertutup, napasnya tipis. Tapi ada sedikit gerak di sudut bibirnya, seolah masih ingin bercanda. Mungkin tubuhnya menolak menyerah, seperti biasa.

“Ayah, jangan pura-pura tidur. Kita belum selesai debat filsafat minggu lalu.”

Tak ada respons. Reza menarik napas panjang dan duduk di sisi ranjang.

“Kalau hidup ini absurditas, seperti kata Camus, kenapa kita masih berharap, ya, Yah?” Suaranya lirih, nyaris tenggelam oleh bunyi mesin.

Tiba-tiba, suara serak menggema, pelan tapi jelas, “Karena kalau kita nggak berharap, nanti kamu jadi penggemar Sartre. Dan aku ogah punya anak eksistensialis sejati.”

Reza terkekeh, mata berkaca. “Jadi, harapan itu cuma cara buat menyangkal realitas?”

“Bukan menyangkal. Menolak tunduk.” Pak Harun membuka satu mata. “Kamu lupa? Kita bukan budak nasib. Kita penafsirnya.”

Reza menggenggam tangan ayahnya lebih erat. “Kamu selalu punya jawaban filosofis untuk semua hal.”

“Karena kamu selalu punya pertanyaan filosofis untuk semua hal.” Pak Harun tersenyum lemah. “Tapi itu warisan terbaik yang bisa aku kasih, ya nggak?”

Hening menyela percakapan mereka. Mesin berdetak. Waktu berlari. Reza menunduk, melihat ayahnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan: cinta, marah, luka, dan nostalgia bercampur jadi satu.

“Ayah tahu... aku pernah benci sama Ayah?” ujarnya lirih.

Pak Harun menoleh perlahan. “Tahu.”

“Kenapa tetap sayang?”

Pak Harun diam sejenak. “Karena kamu anakku.”

Reza menunduk. “Tapi sekarang aku merasa... aku bukan lagi anakmu. Dan kamu pun bukan lagi ayahku. Kita cuma dua lelaki yang... mau saling pamit.”

Pak Harun tertawa kecil, suara napasnya berat. “Kalau itu bukan puisi, aku nggak tahu lagi apa.”

“Bukan puisi, Ayah. Cuma kebenaran yang datang telat.”

Pak Harun memejamkan mata. “Telat itu cuma konstruksi waktu. Selama kamu bilang sekarang, ya masih sempat.”

Reza memejam, menyeka air mata yang mulai jatuh. “Aku nyesel, Yah.”

“Kita semua punya kesalahan, Reza. Aku juga. Banyak.” Pak Harun menoleh sedikit, matanya menatap langit-langit putih yang pucat. “Tapi kamu di sini. Dan aku juga masih di sini. Itu cukup.”

Reza tertawa kecut. “Ayah, ini kayak dialog di film Prancis yang terlalu gelap buat ditonton malam-malam.”

“Yah, lebih baik jadi film Prancis daripada sinetron jam lima sore.”

“Haha. Aku rindu masa kecil kita yang penuh canda. Yang kamu suka tiba-tiba ngajak aku diskusi tentang Plato saat aku lagi main mobil-mobilan.”

“Kamu butuh stimulus intelektual sejak dini.”

“Ngajak anak umur lima tahun diskusi tentang dunia ide itu bukan stimulus, Yah. Itu penganiayaan batin.”

Mereka tertawa. Ringkih. Pelan. Tapi tawa itu seperti membelah kabut gelap di antara mereka, kabut dendam yang sudah lama membatu.

“Reza,” suara Pak Harun nyaris berbisik. “Kamu ingat waktu aku pergi seminggu, dan kamu nangis tiap malam?”

Reza terdiam.

“Aku dengar dari ibumu. Aku pura-pura tegar. Padahal aku cuma bisa tidur dua jam tiap malam.”

“Kenapa Ayah nggak pulang?”

“Karena aku pengecut. Aku pikir jadi orang tua itu soal membentuk. Tapi ternyata... lebih banyak tentang menerima.”

Reza menunduk. “Ayah, aku juga bukan anak yang baik.”

“Kita dua-duanya bukan orang yang baik. Tapi kita saling berusaha. Dan itu lebih penting.”

Lama mereka diam. Di luar, suara azan maghrib menggema pelan dari kejauhan. Seakan semesta ikut merunduk hormat pada perpisahan yang mendekat.

Reza berdiri, membuka tas, lalu mengeluarkan baju tidur bersih. Ia melipat baju ayahnya yang lama, meletakkannya di kursi.

“Aku udah siap, Yah,” katanya.

“Siap apa?”

“Siap ngejar monster. Sekarang giliran aku jaga kamu tidur.”

Pak Harun tersenyum. “Kamu masih takut gelap waktu kecil. Sekarang udah bisa ngejar monster?”

“Sekarang aku tahu... monster paling menakutkan itu bukan yang di bawah ranjang.”

“Yang di dalam kepala, ya?”

Reza mengangguk.

“Makanya kamu jadi penulis?”

“Supaya monster-monster itu punya tempat main.”

Pak Harun tertawa lagi. “Pinter juga anakku.”

Reza mendekat, duduk di ranjang. Ia memegang tangan ayahnya lagi.

“Tidurlah, Yah.”

“Kamu mau bacain cerita?”

“Cuma satu. Dan ini cerita nyata. Tentang seorang anak yang belajar memaafkan, dan seorang ayah yang belajar melepaskan.”

Pak Harun memejamkan mata. “Akhirnya ya... kita sampai juga di titik ini.”

“Dan tak ada yang perlu diubah, Yah. Kesalahanmu, kesalahanku—semua bagian dari cerita.”

“Jadi kamu nggak benci aku lagi?”

“Udah lama nggak. Aku cuma butuh waktu buat ngerti bahwa luka itu bukan alasan buat berhenti mencinta.”

Pak Harun menarik napas panjang. Matanya basah.

“Terima kasih, Reza.”

“Untuk apa?”

“Untuk tetap jadi anakku, meskipun aku bukan ayah terbaik.”

Reza menunduk, mencium tangan ayahnya.

“Sekarang... pejamkan mata. Aku di sini. Aku akan jaga.”

Pak Harun mengangguk pelan. Suara detak mesin tetap konstan. Tapi udara di ruangan itu berubah. Tidak lagi pengap oleh penyesalan. Tidak lagi penuh diam yang menyakitkan. Hanya ada dua lelaki, yang pernah saling menyakiti, kini memilih untuk saling merawat, dalam detik-detik terakhir.

Dan ketika malam turun sepenuhnya, Reza berdiri, menyalakan lampu kecil di sudut ruangan.

“Biarlah tak ada gelap di hatimu malam ini, Yah.”

Ia kembali duduk. Menatap wajah ayahnya yang kini tenang, nyaris damai.

“Ayah... tidur yang nyenyak.”(*)

LihatTutupKomentar
Cancel