Doa yang Mengalir Bersama Senja

Foto: Ilustrasi/Freepik
Setiap senja, Maria selalu duduk di bangku
kayu tua di tepi Sungai Kapuas. Dari tempat itu, ia bisa melihat air sungai yang lebar mengalir
perlahan, seolah menyimpan doa-doa yang tak pernah diucapkan dengan suara
keras.
“Kapuas ini sabar sekali ya,” gumamnya suatu sore.
“Karena sungai tahu, marah tak akan membuatnya sampai ke laut lebih cepat,” jawab Anton sambil tertawa kecil.
Anton adalah sahabat Maria sejak SMA. Ia sering menemani Maria menunggu senja, meski ia sendiri tak pernah benar-benar mengerti apa yang ditunggu perempuan itu. Ia hanya tahu satu hal: Maria sedang menunggu seseorang yang telah menyeberang sungai, dan kehidupan.
“Kalau begitu manusia harus belajar dari sungai,” kata Maria pelan. “Mengalir tanpa dendam.”
Anton mengangkat alis. “Wah, ini sudah seperti homili Romo minggu lalu.”
Maria tersenyum, tapi matanya tak ikut tertawa.
Nama orang yang ditunggu Maria adalah Lukas. Dulu, Lukas menyeberang ke seberang Kapuas bukan hanya dengan sampan kayu, melainkan dengan mimpi. Ia pergi bekerja ke luar kota, katanya ingin “menjadi seseorang”. Maria mengangguk waktu itu, percaya bahwa cinta yang diberkati doa tak akan mudah retak.
“Aku pergi bukan untuk meninggalkanmu,” kata
Lukas di dermaga kecil Siantan.
“Aku menunggu, bukan untuk menahanmu,” jawab Maria.
Mereka tertawa saat itu. Kapuas berkilau seperti perak yang dipatahkan cahaya sore.
Tahun-tahun berlalu.
Maria tetap di Pontianak. Ia mengajar anak-anak di sekolah Katolik kecil, menanamkan pelajaran yang sama setiap pagi: tentang kasih yang tak menuntut balasan, tentang harapan yang harus sabar. Namun setiap kali ia mengucapkan kata “kasih”, hatinya sendiri terasa kosong, seperti gereja di siang hari tanpa umat.
“Kenapa kamu tidak ikut saja menyusul dia?” tanya Anton suatu hari.
“Karena iman bukan soal mengejar,” jawab Maria. “Tapi setia pada tempat Tuhan menanam kita.”
Anton tertawa. “Jawabanmu terlalu suci untuk perempuan yang masih galau.”
“Aku galau secara teologis,” balas Maria cepat. Mereka berdua tertawa, membuat burung-burung di pohon ketapang terkejut.
Suatu sore, setelah hampir lima tahun, Lukas kembali.
Maria tahu itu Lukas bukan dari wajahnya, karena wajah bisa berubah, melainkan dari cara ia berdiri memandang sungai, seperti orang yang sedang menimbang dosanya sendiri.
“Maria,” kata Lukas, suaranya lebih berat dari yang ia ingat.
Maria menoleh. Jantungnya berdetak, bukan karena rindu, tapi karena sesuatu yang asing.
“Kamu pulang,” katanya singkat.
Lukas tersenyum. “Aku menepati janji.”
“Tepat waktu atau terlambat?” tanya Maria.
Anton yang berdiri tak jauh dari mereka pura-pura sibuk bermain ponsel, tapi telinganya bekerja lebih rajin dari biasanya.
Mereka duduk di bangku yang sama. Senja tetap indah, tapi udara terasa kaku.
“Aku berubah,” kata Lukas akhirnya.
“Kita semua berubah,” jawab Maria. “Tapi tidak semua perubahan membawa pulang.”
Lukas terdiam. Ia bercerita tentang kota besar, tentang keberhasilan, tentang kegagalan yang disamarkan sebagai pencapaian. Tentang bagaimana ia belajar mencintai dirinya sendiri, tapi lupa mencintai orang lain dengan cara yang sama.
“Aku menemukan banyak hal,” katanya.
“Tapi kehilangan apa?” tanya Maria.
Lukas tak menjawab.
Di situlah Maria tahu: Lukas telah kembali, tapi jiwanya tertinggal di seberang. Ia menjadi seseorang, tapi bukan lagi milik cinta yang dulu mereka rawat bersama doa.
“Kamu masih ke gereja?” tanya Maria, setengah bercanda.
“Kadang,” jawab Lukas. “Kalau sedang butuh pengampunan.”
Maria tersenyum getir. “Tuhan bukan mesin ATM dosa.”
Anton akhirnya menyela, tak tahan. “Wah, ini berat sekali. Ada kopi atau teh manis supaya pembicaraan ini tidak langsung ke neraka?”
Mereka bertiga tertawa, meski tawa itu rapuh.
Konflik pecah saat Lukas berkata, “Aku ingin kita mencoba lagi.”
Maria menatap sungai. Airnya tetap mengalir, tak pernah kembali ke hulu.
“Mencoba apa?” katanya pelan. “Mengulang atau memaafkan?”
“Bukankah cinta itu pengampunan?” Lukas mendesak.
“Cinta memang mengampuni,” jawab Maria, suaranya bergetar. “Tapi pengampunan bukan selalu berarti melanjutkan.”
Lukas berdiri. “Kamu terlalu kaku dengan imanmu.”
Maria ikut berdiri. “Iman mengajarkanku bahwa kasih itu jujur. Dan kejujuran kadang menyakitkan.”
Anton menepuk bahu Lukas. “Bro, jangan salahkan iman. Kadang masalahnya ada di manusianya.”
Lukas pergi tanpa menoleh. Senja berubah gelap.
Maria duduk kembali. Air mata jatuh satu-satu, seperti rosario yang terlepas dari tali.
“Aku kalah ya?” tanyanya pada Anton.
“Tidak,” jawab Anton lembut. “Kamu memilih berdiri di kebenaranmu.”
Malam itu, Maria berdoa lebih lama dari biasanya. Bukan untuk meminta Lukas kembali, melainkan untuk meminta hati yang utuh. Ia teringat satu kalimat yang sering diajarkannya pada murid-muridnya: Kasih sejati tidak memaksa untuk dimiliki, tapi membebaskan untuk bertumbuh.(*)
