Batas, Kita, dan Negara
"......Kami hanya tinggal menunggu malaikat saja lagi untuk datang ke
perbatasan ini. Semua anak bangsa, sudah datang, tetapi batas negara tetap saja
tertinggal...”
Saya tak bisa lagi menghitung, berapa banyak artikel yang bicara soal batas negara. Stambuk tamu, jika ada, di gerbang Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat juga sudah tak terhitung paraf pengunjung, bahkan ada yang sudah berulang-ulang. Janji politik, mulai kabupaten hingga nasional, terus terumbar agar simpati rakyat mengalir. Namun, batas bergeming. Tak ada yang namanya, Kalimantan on Move, seperti yang didengungkan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ketika berkunjung ke Pontianak tahun 2006.
Setakat ini, batas negara hanya habis dipanggung politik dan rencana. Panggung realisasi belum ada. Semua masih wacana. Entah sampai kapan, batas antarnegara itu bisa menjadi sebuah kawasan metropolitan. Kawan saya bilang, "batas negara itu sangat jauh metropolitan, tetapi begitu dekat jiran." Entah apa maksudnya. Mungkin ia menyindir, dengan membandingkan ketersediaan sarana dan prasarana di wilayah yang disebut banyak orang sebagai beranda depan republik.
Saya sepakat, jika tanggung jawab memajukan, me-move on-kan batas negara menjadi kewajiban semua penghuni republik ini. Bukan hanya pemerintah, pelaku usaha, warga yang tinggal di sekitar batas negara, juga lainnya turut memikul tanggung jawab untuk kemajuannya. Tentu saja dengan peran dan kewenangan masing-masing. Tetapi tanggung jawab negara jauh lebih besar.
Mengapa negara lebih besar? Negara sebagai sebuah lembaga memiliki kewajiban memajukan segala hal yang tercakup di dalamnya. Negara sebagai union mempunyai kekuasaan untuk mengendalikan arah kemajuan. Negara memiliki sumber daya untuk memajukan wilayah-wilayah yang menjadi tanggungjawabnya. Tentu saja, bukan hanya kawasan yang dekat dengan pengelola negara, juga wilayah-wilayah terjauh dari pusat kekuasaan negara.
Mungkin sudah lazim jika perbatasan itu selalu diabaikan. Coba lihat batas rumah kita dengan tetangga. Cenderung kita abaikan karena prasangka. Entah itu, prasangka baik atau tidak baik. Begitu juga batas desa atau kampung. Parahnya, batas antardesa kadang tidak jelas. Hal ini bisa menimbulkan konflik administrasi, terutama berkaitan dengan kependudukan, juga politik ketika proses pemilihan umum akan berlangsung.
Batas negara juga begitu. Cerita pergeseran patok yang hanya dibuat dengan tugu kecil di tanah, yang menurut titik koordinat Global Positioning System, sudah bukan hal yang aneh. Begitu juga cerita soa pencaplokan wilayah oleh jiran, jadi cerita yang biasa bagi orang batas. Kisah-kisah tak heroik lainnya, seperti aktivitas human trafficking, illegal trading, hingga penyelundupan narkotika lewat gerbang batas. Hingga cerita, ancaman pindahnya warga negara di batas akan berpindah menjadi warga negara jiran. Semua itu bentuk kekesalan terhadap negara yang terkesan mengabaikan batas negara.
Sejauh ini, saya menyakini kalau negara masih memiliki keinginan untuk memajukan batas negara. Memakai istilah yang dilontarkan Presiden SBY, meng-move on-kan Kalimantan, keinginan kuat itu dengan dibentuknya badan pengelolaan perbatasan. Walaupun lembaga itu belum menunjukkan kinerja yang maksimal. Tetapi rakyat harus percaya bahwa pemerintah mau memajukan seluruh kawasan negara, termasuk perbatasan antarnegara tersebut.
Jika benar, pemerintah berkomitmen memajukan batas negara, maka tak perlulah, rakyat di perbatasan antarnegara berucap, “Kami hanya tinggal menunggu malaikat saja lagi untuk datang ke perbatasan ini. Semua anak bangsa, sudah datang, tetapi batas negara tetap saja tertinggal.” Semoga.