Pahlawan, Milik Siapa?
Pahlawan, milik, siapa, pahlawan milik, milik siapa, pahlawan milik siapa,
gelar pahlawan oleh presiden, siapapun dia. Bahkan, jika anaknya menjadi presiden sekalipun.
SEORANG kawan bilang, “jika kau ingin diperlakukan istimewa, saat meninggal nanti, maka jadilah kau seorang tentara.” Kenapa? Sebab, tanpa berjuang melawan penjajah, bahkan ketika meninggal tidak sedang menjalankan tugas, kau akan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Kan belum tentu pahlawan? Iya, tapi bagi awam, dimakamkan di tempat yang istimewa itu telah menjadikan kau seorang pahlawan.
Cerita kawan itu tentu saja tak sepenuhnya benar. Bahkan, bisa-bisa salah besar. Sebab, tak semua tentara yang meninggal dunia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Tetangga saya, misalnya. Dua tentara yang meninggal bukan karena menjalankan tugas, dimakamkan di pemakaman umum.
Yang satu masih muda, berpangkat prajurit satu. Ia meninggal saat mengisi bahan bakar ke mobil dinas yang kemudian meledak. Prajurit ini meninggalkan dua anak. Kendati dimakamkan secara militer, keluarganya ingin ia dimakamkan di tempat pemakaman umum saja.
Satu lagi, meninggal setahun menjelang pensiun. Pangkat terakhirnya prajurit kepala. Ia meninggal karena serangan jantung seusai bercanda dengan cucu. Sama seperti prajurit yang muda itu, keluarga juga memilih memakamkannya di pemakaman umum saja. Dua peristiwa yang membantah kisah kawan tadi.
10 November 2012, menjadi hari pahlawan yang kesekian bagi republik ini. Sudah hal yang biasa, jika setiap hari pahlawan pemerintah, siapapun presidennya, menganugerahi gelar pahlawan kepada orang-orang yang dinilai berjasa bagi republik ini. Tahun ini, ketika presidennya dijabat Soesilo Bambang Yudhoyono, gelar pahlawan nasional diberikan kepada Soekarno dan Muhammad Hatta.
Kendati disebut kontroversial, tentu tak ada yang menolak jika keduanya ditetapkan sebagai pahlawan nasional, bahkan cenderung terlambat. Sebab, keduanya sudah wafat cukup lama, bahkan sudah pula menetapkan orang lain sebagai pahlawan. Namun, keduanya menjadi bekas presiden dan wakil presiden yang pertama ditetapkan sebagai pahlawan.
Orang-orang itu benar membela negara ketika masih dijajah. Tentu saja layak dianugerahi gelar presiden. Beda dengan tentara biasa, yang hidup dizaman sekarang ini. Perang melawan penjajah sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada, tak perlu lagi kokang senjata, tarik picu melesat tak ragu. Kecuali dikirim untuk misi pasukan perdamaian dunia. Itu pun misinya untuk perdamaian, bukan untuk perperangan. Walaupun kadang, ikut juga berperang.
Memang tak semua orang yang berjuang melawan penjajah pada masa lalu, bisa dianugerahi sebagai pahlawan nasional. Banyak proses dan syarat yang harus ditempuh. Banyak kajian kesejarahannya dan kepahlawanannya yang perlu dibuat. Prosesnya bisa memakan waktu hingga bertahun-tahun.
Contohnya di Kalbar, Oevaang Oeray dan Djeranding Abdurachman, juga Sultan Hamid II. Hingga sekarang, belum ada tanda-tanda mau dianugerahi pahlawan nasional. Namun upaya untuk menjalani proses dan pemenuhan syarat sedang dilakukan. Begitu juga nama-nama lain di luar Kalbar, yang sedang berjuang untuk menerima gelar teristimewa dan terhormat tersebut.
Jika orang-orang yang sudah kesohor secara publikasi itu saja sulit untuk menerima anugerah pahlawan nasional, bagaimana orang-orang kampung yang dulunya juga berlakon yang sama? Kalau saja, mereka yang sangat dekat dengan pusat kekuasaan sulit untuk diperjuangkan, bagaimana orang-orang kampung yang belum merdeka secara infrastruktur?
Dan, tentu saja Ayah saya tak mungkin diusulkan, diproses, bahkan diperjuangkan sebagai pahlawan nasional, apalagi harus menerima anugerah terhormat itu. Bahkan, ketika presiden di republik ini sudah berganti ratusan kali, ribuan kali, atau jutaan kali. Tetap saja, ia hilang dari pusaran sejarah sebuah bangsa. Tetapi tidak untuk anak-anak dan keturunannya.
Jika sudah begitu, pahlawan itu milik siapa?
Kendati disebut kontroversial, tentu tak ada yang menolak jika keduanya ditetapkan sebagai pahlawan nasional, bahkan cenderung terlambat. Sebab, keduanya sudah wafat cukup lama, bahkan sudah pula menetapkan orang lain sebagai pahlawan. Namun, keduanya menjadi bekas presiden dan wakil presiden yang pertama ditetapkan sebagai pahlawan.
Orang-orang itu benar membela negara ketika masih dijajah. Tentu saja layak dianugerahi gelar presiden. Beda dengan tentara biasa, yang hidup dizaman sekarang ini. Perang melawan penjajah sudah tidak ada lagi. Kalaupun ada, tak perlu lagi kokang senjata, tarik picu melesat tak ragu. Kecuali dikirim untuk misi pasukan perdamaian dunia. Itu pun misinya untuk perdamaian, bukan untuk perperangan. Walaupun kadang, ikut juga berperang.
Memang tak semua orang yang berjuang melawan penjajah pada masa lalu, bisa dianugerahi sebagai pahlawan nasional. Banyak proses dan syarat yang harus ditempuh. Banyak kajian kesejarahannya dan kepahlawanannya yang perlu dibuat. Prosesnya bisa memakan waktu hingga bertahun-tahun.
Contohnya di Kalbar, Oevaang Oeray dan Djeranding Abdurachman, juga Sultan Hamid II. Hingga sekarang, belum ada tanda-tanda mau dianugerahi pahlawan nasional. Namun upaya untuk menjalani proses dan pemenuhan syarat sedang dilakukan. Begitu juga nama-nama lain di luar Kalbar, yang sedang berjuang untuk menerima gelar teristimewa dan terhormat tersebut.
Jika orang-orang yang sudah kesohor secara publikasi itu saja sulit untuk menerima anugerah pahlawan nasional, bagaimana orang-orang kampung yang dulunya juga berlakon yang sama? Kalau saja, mereka yang sangat dekat dengan pusat kekuasaan sulit untuk diperjuangkan, bagaimana orang-orang kampung yang belum merdeka secara infrastruktur?
Dan, tentu saja Ayah saya tak mungkin diusulkan, diproses, bahkan diperjuangkan sebagai pahlawan nasional, apalagi harus menerima anugerah terhormat itu. Bahkan, ketika presiden di republik ini sudah berganti ratusan kali, ribuan kali, atau jutaan kali. Tetap saja, ia hilang dari pusaran sejarah sebuah bangsa. Tetapi tidak untuk anak-anak dan keturunannya.
Jika sudah begitu, pahlawan itu milik siapa?