Perempuan yang Selalu Menikmati Siluet Senja
Di dermaga kecil, Beth mengenang satu masa bersama Rey. Dermaga tepian kapuas menjadi saksi pada hari-hari yang mengembirakan. Senja yang datang dengan warna kuning keemasan. Siluet yang selalu hadir dalam kanvas hatinya. Dan, sebait puisi yang melahirkan rangkaian kata-kata dalam ruang bicara.
BETH masih di dermaga itu. Dermaga kecil
di tepian kapuas, tempat ia dan Rey kali pertama bertemu. Tempat yang menjadi
saksi, pertemuan keduanya pada hari-hari setelahnya. Deburan kecil ombak
menghantam bibir dermaga yang dihasilkan kapal penumpang. Kapal yang selalu
datang dan pergi. Orang-orang yang melambaikan tangan kepada keduanya. Beberapa
diantaranya menggoda dengan suitan panjang. Ikan-ikan kecil yang terombang
ambing. Kadang terhempas menghantam bibir dermaga. Tanpa keluh, ikan-ikan kecil
itu kembali berenang. Sekuat tenaga melawan arus, yang mungkin saja, membawanya
kembali menghantam bibir dermaga.
Beth melirik arlojinya. Pukul 16.58. Dua menit lagi, pukul
lima sore. Matahari mulai memudar. Cahayanya berpendar di kaki langit. Hari
sudah memasuki senja. Masa yang ditunggu Beth. Masa yang mengingatkannya pada
tiap pertemuannya dengan Rey. Beth rindu senja yang ceria bersama Rey. Ia rindu
siluet yang dihasilkan cahaya kuning keemasan itu. Ia ingin mengulang kembali
masa itu, terutama saat Rey melukis siluet dirinya pada kanvas putih. Hingga
kini, lukisan siluet itu tersimpan di kamarnya. Beth betah memandangnya, bila
ia merindu saat-saat masih bersama Rey.
Beth mengambil kertas di tas warna merahnya. Ia menulis puisi. Puisi untuk Rey.
jika senja itu kamu
aku ingin satu siluet saja
yang berbingkai hati dengan cahaya
berpendar di kaki ufuk
agar aku bisa melukiskannya
pada kanvas jejak yang telah kita pesan
sementara aku melukiskan jejak
kau menari di bibir dermaga
meliuk mengikuti irama kondan
yang kau senandungkan sendiri
kau lafalkan sebaris puisi tentang senja
tentang jingga yang melebur di awan
tentang matahari yang beranjak pulang
aku tak ingin siluet itu lamur
entah karena jamur maupun umur
aku hanya ingin siluet itu tetap menari
walau letih lelah merisak kaki
hingga tak lagi gemulai liukan tanganmu
akan aku jaga siluet bersama sisa waktu
walau aku tahu tak bisa kuhentikan waktu
setidaknya aku akan bertahan hingga malam
benar-benar menelannya
dengan satu doa: besok aku menemuimu
di dermaga ini lagi
ketika senja itu kamu
maka aku hanya ingin satu siluet
Beth melipat kertas itu. Ia memasukan kertas itu pada sebuah botol air mineral. Kemudian menutupnya. Perempuan itu menerawang dan bermain dengan pikirannya. Lalu, ia melemparkan botol berisi barisan puisi itu ke sungai kapuas. Ombak kecil menghempas botol plastik itu ke bibir dermaga. Terpental, lalu kembali mengapung bersama ribuan sampah di sungai yang airnya tak lagi jernih itu.
“Semoga satu hari nanti, Rey menemukan botol itu. Seperti
dulu, dia menemukanku yang selalu sendiri menikmati senja di sini,” Beth
mengharap.
Beth benar-benar merindu pada Rey. Ia rindu pelukan hangat lelaki berkacamata itu. Rey sudah menghilang dari hidupnya sejak tiga tahun lalu. Rey harus melanjutkan studinya di tanah Jawa. Tak ada lagi pertemuan tiap senja di dermaga kecil. Kalaupun ada, hanya setahun sekali, saat Rey pulang kampung.
Beth berlari menyusuri dermaga yang panjang di tepian kapuas. Sirene kapal penumpang yang datang dari Semarang kian mengencangkan larinya. Samar-samar ia melihat kelip lampu suar di bumbung kapal. Beth mempercepat langkahnya. Ia tak ingin kehilangan sedetik pun waktu karena rindunya pada Rey harus terbayarkan. Beth sudah menunggu Rey sejak beberapa hari di dermaga itu. Sudah tiga kali senja, ia hanya berteman siluet dirinya saja.
Ombak kecil menghempas bibir dermaga. Percikan air menerpa
wajah Beth yang terengah-engah berlomba dengan kapal, yang hendak merapat. Beth
bergabung dengan ratusan penjemput lainnya. Beberapa laki-laki yang juga
menjemput menggodanya. Beth hanya senyum tipis. Petugas pelabuhan mondar mandir
memastikan tak ada tindak kejahatan. Petugas tak mau ada penumpang maupun
keluarga penumpang yang menjadi korban tangan-tangan jahil, semacam pencopet,
yang mengambil keuntungan dari kelengahan.
Kapal benar-benar merapat di dermaga. Para penjemput
sumringah. Petugas sibuk mengatur lalu lintas orang yang masuk dan keluar
pelabuhan. Penumpang kapal turun satu persatu. Senyum, tawa, dan lambaian
tangan menjadi penanda kegembiraan mereka.
Penumpang yang turun dari kapal mulai berkurang. Dermaga
juga mulai menyepi. Senja sudah semakin tua. Beth mulai cemas. Gurat
kesedihan tergambar di wajah tirusnya. Di antara ribuan penumpang
yang turun, Beth tak melihat Rey, lelaki yang selalu ditunggunya di dermaga
kecil itu ketika senja mulai merapat.
“Mana Rey? Kok, kamu nggak ada?” Beth mendesah sendiri
seperti menggumam. Ia takut suaranya membuat terdengar oleh orang-orang yang
tersisa di dermaga itu. Ia tak ingin keresahannya diketahui orang lain. Beth
hanya ingin sendiri merasakan keresahan itu.
“Sudah turun dek, yang ditunggu?” tanya seorang petugas.
Beth kaget. Segera ia mengembang senyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Petugas kemudian berlalu. Beth masih tetap berharap penumpang terakhir yang
keluar dari pintu kapal itu adalah Rey.
Tetapi harapan gadis berambut ikal itu sirna. Penumpang
terakhir yang turun bukan Rey. Tanpa sadar, air mata Beth menetes. Ia menangis
seperti senja yang semakin menghitam ditemani gerimis. Beth melangkah gontai
menyusuri tepi dermaga kapuas itu. Lampu-lampu jalan memberikan cahaya buram
seperti ingin merasakan suasana hati Beth. Hujan makin deras. Beth membiarkan
tubuhnya diterpa air hujan. Ia ingin hujan menghapus terik rindu di hatinya
kepada Rey, yang ia tunggu setahun ini. Beth ingin mengulang masa-masa indah bersama
Rey. Karena itu, ia selalu datang ke tepian kapuas sekadar mengenang.
“Kamu jahat Rey. Kamu membiarkan aku menunggu lebih lama lagi. Kenapa kamu tidak pulang. Bukankah sudah tujuh purnama? Seperti yang kamu tulis dalam puisi-puisimu. Ini sudah lebih dari tujuh purnama, Rey,” kata Beth lirih.
Beth kembali ke dermaga itu hampir setiap kedatangan kapal penumpang. Ia masih menyimpan satu harapan: ada Rey di antara penumpang yang turun dari kapal. Harapan yang selalu dipeliharanya, meski Rey sudah lama tidak berkirim kabar, bahkan untuk sekadar berkirim surat elektronik. Gadis itu percaya Rey masih mencintainya dengan rasa dan logika.
Kali ini purnama keduabelas. Beth tetap ingin menikmati
senja di dermaga sambil menunggu kedatangan Rey. Kapal penumpang dari tanah
jawa juga dijadwalkan datang hari itu. Ia membiarkan rambut ikalnya tergerai.
Gelombang-gelombang kecil di rambutnya bermain ditiup angin senja itu. Matahari
memancarkan sinar temaram bersiap menyambut malam. Beberapa pemuda melemparkan
kail berharap ikan memakan umpan. Beth benar-benar menikmatinya. Sesekali ia
melempar senyum pada pemancing yang meliriknya. Beth tak ingin tergoda. Ia
tersenyum karena baginya senyum itu bagian dari berbuat baik.
Sirene kapal penumpang menggema. Para petugas bergegas
bersiapa di bibir dermaga. Para penjemput yang sudah menunggu sejak tadi sore
beranjak. Mereka bersiap menunggu orang-orang terdekat yang datang. Begitu juga
Beth. Walau ia tak yakin, Rey ada di kapal itu. Sebab, sudah dua belas purnama,
Rey tak pernah berkirim kabar, termasuk kabar pulang kampung. Tapi Beth tetap
berharap lelaki yang mampu membuatnya jatuh cinta itu, benar-benar ada di
antara ribuan penumpang.
Kapal pun bersandar. Kaki langit memerah. Matahari sedang
bertarung dengan kabut tipis. Seperti Beth yang memiliki sedikit harapan untuk
bertemu kekasihnya. “Tuhan, bisakah kau hadirkan Rey di antara ribuan orang
itu,” bisik Beth, perlahan-lahan, seperti orang yang menggumam.
Penumpang mulai turun. Para penjemput merangsek, menyambut
orang-orang yang datang. Dalam hitungan menit, dermaga itu menjadi lautan
manusia. Ada yang histeris, tertawa lepas, hingga menangis haru setelah
bertemu. Mungkin mereka sudah lama tak bersua.
Dan, penumpang terakhir muncul dari pintu kapal. Ia
melemparkan pandangan ke seluruh pelabuhan, seperti mencari seseorang yang
menjemputnya. Ia menuruni anak tangga dengan perlahan. Beth yang sedari tadi
menunggu termangu. Ia kenal betul dengan sosok laki-laki yang menuruni anak
tangga itu.
“Rey!” teriak Beth. Laki-laki yang tenggelam dalam
pikirannya itu kaget. Ia mengenal suara yang memanggilnya. Ya, itu Beth.
Perempuan yang selalu menunggunya pulang. Perempuan yang selalu datang setiap
senja di dermaga itu. Perempuan yang setiap menunggu di antara ratusan
penjemput.
Beth berlari menjemput Rey. Ia tak peduli lagi orang-orang
disekitarnya. Ia sudah begitu lama menunggu kepulangan Rey. Ini benar-benar
senja yang indah. Senja yang menghadirkan satu siluet saja. Siluet itu, ya Rey,
laki-laki yang pernah mengucapkan rasa cintanya di dermaga itu.
Beth pulang dengan gembira. Ia menggamit lengan Rey. Tak
ingin dilepasnya barang sedetikpun. Rey benar-benar telah menjadi satu siluet
bagi Beth. (*)