Dekra, Lelaki yang Jatuh Cinta pada Korban Perampokan

dekra, lelaki, yang, jatuh, cinta, pada korban, perampokan, dekra jatuh cinta, korban perampokan, jatuh cinta pada korban, jatuh cinta pada,

Ia pernah merampok sebelumnya dan ia akan melakukannya lagi. Tidak ada yang bisa mencegahnya. Baginya merampok menjadi satu kenikmatan dalam hidup. Inilah kekuasaan yang begitu istimewa yang dimilikinya. Ia begitu perkasa bila melakukan aksi perampokan.

Selama sepuluh tahun ia telah memainkan permainan maut itu. Kadang ia bertindak sendirian. Kadang juga bersama teman lainnya, bahkan pernah melibatkan anak kandungnya sendiri, Leonila yang baru berusia lima belas tahun. Remaja putri yang seharusnya duduk di bangku sekolah, memilih belajar melakukan tindak melawan hukum dan belajar dari ayahnya. Tapi Leonila sudah mati, permainan luar biasa bersama ayahnya harus berakhir di ujung senjata api milik detektif homoseksual bernama Kardi.

Dekra, ayah Leonila, tak pernah menyesali kepergian anaknya karena aksi kejahatan yang telah mereka lakukan. Dekra menganggap Leonila telah menjadi pahlawan baginya, dan dunia yang digelutinya. Ia hanya kecewa karena Leonila tak bisa bertahan lama dalam pengembaraan melakukan kejahatan bersama.

Aksi baru belum lama ini ia buat, tapi ia sadar tak bisa bekerja sendirian. Permainan ini tidak akan terasa sama. Perburuan perhiasan batu permata dan batu mulia selalu terasa menyenangkan. Jerit ketakutan korban akan menjadi klimaks yang mengagumkan. Kegairahan menyiapkan dan merencanakan aksi-aksi yang menegangkan ini begitu indah. Bagaimana melahirkan histeria baru bagi korban, bukan sekadar takut, tapi lebih dari itu. Ya, lebih dari itu. Korban akan trauma hingga tak berani lagi, untuk sekadar melintas di depan toko batu permata dan batu mulia. Inilah permainan yang sedang dirancang Dekra.

Dekra merekrut Tara setahun lalu. Keduanya sudah merampok pada tiga lokasi. Ini lokasi keempat yang akan mereka rampok. Dekra meminta Tara mencari anggota baru, tentu saja perampok jalanan yang masih bekerja secara amatiran. Dekra memberi deadline satu hari kepada Tara untuk mencari anggota baru itu. Tara sanggup. Ia teringat Deo, pencopet amatir di kota ini. Tanpa banyak pikir, Tara langsung mencari Deo dan mengajaknya bergabung dengan Dekra untuk melakukan aksi perampokan malam besok.

Pintu pagar berderit. Dekra menggesernya perlahan. Ia tak ingin bunyi deritannya makin keras. Sekali menggeser, satu deritan terdengar. Setiap menggeser, ia menahan napas. Salah menggeser, deritan akan bertambah keras. Jika begitu, maka gagal rencana yang disusunnya selama satu pekan ini. Tara dan Deo, yang mengikutinya hanya menahan nafas.

"Sttttt... Sedikit lagi."

Dekra meletakkan telunjuk di bibirnya manakala melihat Tara dan Deo mulai gugup. Pada tarikan terakhir, dengan sangat pelan, Dekra berhasil membuka pagar dan juga slotnya.

Dekra berjingkat. Tara dan Deo mengikutinya. Sangat hati-hati. Tiga pria ceking ini tak ingin ada kegaduhan. Ketiganya mendekat ke pintu utama. Dekra meraih gagangnya. Ia mengambil kawat kecil yang disiapkan malam kemarin. Kawat kecil itu dimasukan ke dalam kunci. Sekali klik, pintu terbuka.

Di rumah bertingkat tiga itu, Deva sendirian. Suaminya sedang bertugas di luar kota sejak tiga hari lalu. Anak semata wayangnya sudah kuliah di Jakarta. Sementara asisten rumah tangga hanya datang pada siang hari. Di subuh yang dingin itu, Deva pulas dalam tidurnya. Kamarnya yang luks sunyi. Hanya detak jarum jam yang membuat berisik. Tapi, tak mengganggu lelap perempuan lima puluh tahun tersebut.

Dekra dan komplotannya yang berhasil masuk mulai mencari benda berharga. Kamar-kamar disantroni. Mereka masuk kamar tidur utama, yang di dalamnya Deva terbuai dalam mimpinya. Ketiganya berhati-hati. Tak boleh ada satu pun kesalahan. Jangan ada berisik. Mereka tak mau ambil risiko, jika pemilik rumah terbangun.

Dekra terus mencari benda-benda yang bisa diambil. Deo dan Tara tak berdiam diri. Keduanya dengan sigap meraih kalung berlian dari tangan Dekra, lalu memasukkannya ke kantong kresek hitam. Sesekali Deo melihat Deva yang pulas. Ia harus memastikan perempuan bertubuh tambun itu terbangun.

"Praaakkk."

Tiba-tiba tangan Dekra menyenggol bejana keramik di atas meja rias. Bejana kecil itu terjatuh. Pecahannya berserakan.  Ketiganya kaget. Sejenak terdiam. Tara pasi. Deo berkeringat. Jantungnya berdenyut dua kali lebih cepat. Dekra sigap menenangkan dua temannya dengan bahasa isyarat. Ketiganya melirik Deva. Perempuan itu masih lelap. Dekra mengelus dada. Ia lega karena nyonya rumah tak terjaga.

Lebih melegakan karena bejana yang pecah itu berisikan perhiasan, yang pasti mahal harganya jika nanti dijual. Ketiganya tersenyum.

"Pungut cepat," perintah Dekra.

Kendati perintah itu disampaikan dengan suara pelan, Deo dan Tara tersentak. Gerak cepat keduanya mengemas perhiasan yang berserakan tadi. Kantong kresek hitam berlapis dua jadi tempat menyimpan perhiasan mahal itu. Ketiga penjahat itu tak membawa tas atau sejenisnya. Mereka memilih membawa kantong kresek saja. Selain tidak merepotkan, kantong kresek juga bisa menjadi kamuflase agar orang-orang tak menyangka kalau mereka akan merampok.

Dekra memberi isyarat dengan tangan mengajak dua temannya keluar kamar, begitu melihat keduanya selesai mengemas intan berlian tadi. Setengah berjingkat ketiga lelaki itu menuju pintu kamar untuk keluar. Belum sampai di pintu kamar, tiba-tiba Deva terbangun.

Setengah meracau ia berteriak, "Maling. Rampok. Maling. Rampok!"

Teriakan Deva tak berarti apa-apa. Kamarnya yang mewah didesain kedap suara. Dekra tahu soal itu. Ia biarkan saja Deva berteriak. Lain halnya dengan Tara dan Deo, yang panitk. Tapi berusaha menyembunyikan kekhawatirannya, supaya tak diketahui Dekra.

"Tangkap. Ikat. Sumpal mulutnya."

Dekra berteriak kala melihat dua temannya termangu. Kaget. Kedua perampok itu bergerak cepat. Tara mengambil rapia di saku celana jins biruya. Deo mengambil selendang ungu milik Deva yang tergantung di tepi tempat tidur. Dekra menodongkan pistol rakitan di kepala Deva. Tara menarik tangan Deva ke belakang lalu mengikatnya. Begitu juga kakinya. Deo membekap mulut Deva dengan selendang. Deva meronta. Ia berteriak, tapi tercekat. Suara yang keluar dari mulutnya hanya berupa gumaman. Semakin kuat dia berontak, kian kuat Tara mengikat tangannya. Semakin berusaha dia berteriak, semakin tercekat suaranya. Matanya mengeluarkan air. Wajah Deva yang masih terlihat cantik itu pasi. Darahnya seolah berhenti mengalir ketika melihat moncong pistol rakitan ditempel di pelipis kirinya.

Melihat Deva yang tak berdaya, Dekra segera beraksi. Cincin, gelang, dan kalung yang dipakai Deva dipreteli. Ia berikan kepada Tara, yang sedari tadi berdiri di belakang Deva. Cepat tangkas ia memasukan perhiasan tambahan itu ke kantong kresek hitamnya. Deo yang baru kali ini ikut operasi perampokan hanya terdiam. Pengalamannya masih minim. Masih anak bawang. Belum apa-apa. Sedangkan Tara sudah empat kali ikut Dekra merampok. Ia sudah memahami semua gerak gerik bosnya.

Dekra memberi isyarat dengan tangannya, yang mengajak Deo dan Tara untuk pergi dari rumah itu sebelum pagi benar-benar tiba. Mereka membiarkan Deva terikat di kamarnya. Ketiganya meninggalkan Deva yang hanya bisa melihat bercucuran air mata. Hendak berteriak, tapi mulut terbekap. Hendak bergerak, tapi kaki dan tangan terikat. Ia berontak dari ikatan, tapi tetap tak sanggup melepaskannya.

Dekra dan dua temannya sudah tiba di rumah. Dekra menghempas tubuhnya di kursi jati yang warnanya sudah kusam. Ia menghela nafas. Lelah tersirat di wajahnya yang tirus itu. Deo duduk bersandar di dinding rumah yang catnya dipenuhi noda-noda hitam. Wajahnya masih menyimpan sisa-sisa pucat karena aksinya diketahui Deva. Ia mengusap peluh di dahinya. Terasa dingin. Tara menghamparkan hasil rampokan di atas meja kayu. Ia mulai menghitung uang kertas lembar seratus ribuan. Ada lima juta rupiah. Kemudian Tara menghitung perhiasan yang berhasil diambil. Lima cincin berlian, tiga kalung emas dua puluh empat karat, dan satu lusin batu beragam jenis, mulai kecubung, bacan, hingga jenis safir.

Dekra bangkit dari sofa. Ia menghampiri Tara yang masih memisahkan hasil rampokan. Ia kemudian mengambil uang lima juta tadi. Deo dan Tara, masing-masing, diberinya satu juta. Dua juta dimasukan ke sakunya. Maklum Dekra adalah pimpinan dari tiga komplotan perampok tersebut.

“Sisanya satu juta ini, kita bagikan kepada orang-orang kampung sini,” kata Dekra.

Deo dan Tara hanya manggut saja. Walau tak paham maksud Dekra, keduanya tak berani protes. Ketiganya sepakat jika sebagian dari hasil perampokan hari itu dibagikan kepada sejumlah orang di kampung mereka. Dekra kemudian mengeluarkan catatan orang-orang yang menerima bantuan dari kelompoknya. Ada 20 orang. Tiap orang menerima lima puluh ribu rupiah. Dia kemudian menyerahkan catatan itu kepada Deo agar membagikannya. Tara mengambil amplop di lemari kayu yang sudah lapuk. Ketiganya kemudian memasukkan uang masing-masing Rp50.000 pada setiap amplopnya. Dekra sendiri yang kemudian menyerahkannya kepada orang-orang tersebut.

Begitulah ketiga kawanan rampok tersebut membagikan hasil kejahatannya. Deo dan Tara pulang ke rumahnya membawa uang satu juta rupiah. Malam ini, keduanya ingin berhura-hura terlebih dahulu. Tentu saja, sambil hunting  lokasi baru untuk melakukan aksi berikutnya. (*)

LihatTutupKomentar