Mengapa Corak Burung Ruai Indah? Ini Cerita Tentang Pertengkaran Burung Para Dewa
ruai, burung, burung ruai, corak indah, burung dewa, ruai indah, burung ruai indah, corak burung ruai,
RUE baru saja tiba di rumah. Sejak pukul lima tadi pagi, ia berada di kebun karet yang berjarak lima ratus meter dari rumahnya. Bajunya basah oleh peluh. Raut wajahnya sarat kelelahan. Perut mulai bernyanyi dengan nada yang sumbang. Sedari pagi, ia belum mengunyah nasi. Ingin rasanya melahap semua makanan yang dimasak Angkis, ibunya.
Rue meletakkan kerigai(1), di sudut dapur, yang selalu dibawanya jika berangkat ke kebun karet. Lalu duduk di kursi kayu peninggalan bapaknya.
“Ah,capek!”
“Sudah mandi dulu. Habis itu makan,” kata ibunya.
Rue
beranjak. Ia menyambar handuk dan kemban. Lalu pergi mandi. Di sungai,
Rue bertemu Imuk, teman mainnya di kampung. Dua anak perempuan ini
sama-sama baru menginjak usia remaja. Tetapi, menjadi anak pertama
sekaligus terakhir, yang hidup berdua ibunya. Ia putus sekolah sejak
bapaknya meninggal empat tahun lalu.
“Nanti sore ke rumah, ya?” pinta Rue kepada Imuk.
Imuk
hanya menggangguk sambil tangannya mengempas kain yang dicucinya di
atas batu. Rue tersenyum melihat Imuk yang mau menerima ajakannya. Ia
merendam tubuhnya di air sungai jernih yang mengalir. Sesekali ia
menenggelamkan kepalanya. Rambut hitamnya yang memanjang dibiarkan
terendam air, sehingga membentuk gelombang mengikuti arus air yang cukup
deras. Jika sudah begitu, Rue betah berlama-lama di sungai. Imuk pamit
pulang duluan dari Rue. Sekali lagi, Rue meminta Imuk datang ke rumahnya
pada sore nanti. Kembali Imuk menggangguk sambil mengulas senyum di
bibirnya. Setengah jam kemudian, Rue juga pulang.
Pukul
lima sore. Matahari sudah menuruni tangga langit. Ufuk barat melahirkan
cahaya jingga dengan lukisan awan yang tak sempurna. Cahaya matahari
yang mulai muram serupa bulan bersinar suram karena tak sanggup menembus
awan hitam pada malam purnama dua belas.
Seratus
meter dari rumah, seseorang perempuan berjalan dengan riang. Ya, dia
adalah Imuk yang akan bertamu ke rumah Rue. Sejawat permainan yang
digilai-gilai pemuda kampug. Dua-duanya berparas cantik dengan senyum
ciamik. Tapi dua remaja ini belum mau menerima pinangan para pemuda
kampung. Keduanya masih senang dengan status jomblo.
Di
muka lawang, di depan pintu masuk, dua orang ini bercerita tentang
banyak hal. Tentang kebun karet, tentang cinta, dan tentang mimpi-mimpi
yang belum diraihnya, juga tentang masa depan yang tak bisa keduanya
prediksi. Lalu keduanya hanyut dalam khayalan masing-masing. Rue ingin
menjadi perempuan cantik yang dikenang sepanjang masa. Perempuan yang
dikenang karena memiliki perbuatan baik. Perempuan yang menjadi maskot
bagi perempuan cantik lainnya di dunia setelah dia tak lagi hidup di
dunia. Nama yang selalu disebut dalam pagelaran tari oleh generasi
berikutnya. Nama yang selalu dibawa dalam perhelatan-perhelatan besar di
dunia, terutama bagi orang-orang yang sama latar belakang kehidupan
dengannya.
Rue tersentak dari lamunannya. Ia
mencolek Imuk, yang juga tenggelam dalam khayalannya. Keduanya
tersenyum, setelah sama-sama sadar bahwa khayalan itu sulit menjadi
sebuah kenyataan. Tapi bisa saja, mimpi itu menjadi berarti. Sebab,
segala sesuatu berasal dari mimpi. Seperti lirik lagu yang dinyanyikan
grupband Nidji dalam Laskar Pelangi, “Mimpi adalah Kunci!” Lalu keduanya menyanyikan lagu itu. Rue berhenti sebelum lirik lagu itu berakhir. Imuk ikut berhenti.
Rue berkata kepada Imuk, “bagaimana kalau kita melukis tubuh?”
“Melukis,bagaimana?” Imuk balik bertanya.
Rue
beranjak ke dapur. Ia mengambil kuas kecil dan beberapa warna. Kuas
kecil itu diberikan kepada Imuk. Lalu kedua gadis desa itu menuangkan
beberapa warna seperti coklat, hitam, dan biru, juga warna putih. Rue
mengganti pakainnya dengan kemban yang biasa digunakan untuk mandi.
Kepada Imuk, ia meminta agar melukis tubuhnya. Ia kemudian berbaring
dengan telungkup. Imuk mulai memainkan kuas pada kanvas tubuh yang putih
dan bersih itu. Sangat berhati-hati, ia menggoreskan kuas kecil yang
sudah bercampur beragam warna itu. Imuk sepertinya benar-benar menikmati
aktivitas melukis tubuh sore itu. Pun begitu dengan Rue,yang mulai
mengantuk. Setiap goresan kuas Imuk membuat mata Rue kian berat.
Setengah jam kemudian, Rue terlelap.
Rue bangun ketika
Imuk selesai melukis tubuhnya. Ia kemudian berdiri dan berlari menuju
cermin. Senyum mengembang di bibirnya. Lukisan yang dibuat Imuk
benar-benar membuatnya puas. Rasanya tak ingin ia beranjak dari depan
cermin itu. Ia benar-benar menjadi seorang gadis yang cantik. Sementara
Imuk hanya geleng-geleng kepada melihat tingkah temannya itu di depan
cermin.
“Cantik.Terima kasih ya Imuk.”
“Iya. Kamu menjadi lebih cantik.”
“Apa kamu juga mau dilukis?”
“Mau.Yang cantik ya.”
Imuk
juga mengenakan kemban yang sama. Ia telungkup. Sementara Rue mulai
melukis tubuh Imuk. Kuas bekas Imuk melukis tubuhnya menari dengan irama
yang ganjil. Dan, senja semakin tua. Temaram cahaya lampu minyak
menjadi penerang bagi Rue dalam merajah tubuh Imuk. Ini membuat Rue
kesulitan untuk menyatukan garis-garis yang dibuat. Lukisannya menjadi
kurang senada dengan imajinasi yang ada di kepalanya.
Saat
Rue menumpahkan imajinasinya ke tubuh Imuk, dari ujung kampung
terdengar suara gong yang dipukul berkali-kali. Di kampung itu, jika
gong dibunyi tanpa henti dalam rentang waktu lima menit, menandakan ada
orang yang sudah tua meninggal dunia. Bunyi gong sebagai tanda untuk
memberitahu orang-orang kampung. Apalagi, orang tua yang meninggal itu
merupakan tetua adat yang sangat disegani. Ia menjadi teladan bagi
anak-anak muda, seperti Rue dan Imuk.
Rue kaget. Imuk
juga. Padahal tubuh Imuk baru setengah dilukisnya. Kekagetan Rue berbuah
petaka bagi Imuk. Tinta berwarna biru yang dipegang Rue tumpah. Tinta
itu mengenai tubuh Imuk. Alhasil, tubuh Imuk dipenuhi warna biru yang
tak beraturan.
Imuk kaget setelah melihat tubuhnya di
cermin. Mendadak ia menjadi sedih. Tubuh yang diidamkan menjadi lebih
cantik tercapai. Ia menjadi seorang gadis yang buruk rupa karena
tertumpah tinta berwarna. Sementara Rue yang dilukisnya dengan telaten
menjadi seorang gadis yang cantik. Imuk marah. Ia menangis meratapi
tubuhnya.
“Kamu tega membuat tubuhku menjadi buruk
begini. Padahal, aku melukis tubuhmu dengan baik. Kamu menjadi cantik,
aku sebaliknya,” Imuk menggeram.
Rue hanya terdiam. Ia
menyesal. Ia juga ikut menangis. Sebab, itu bukan terjadi karena
kesengajaan. Bunyi gong di ujung kampung menjadi penyebabnya.
“Aku minta maaf,” pinta Rue.
Imuk
yang kadung marah tak bisa memberi maaf. Keduanya lalu bertengkar.
Persahabatan yang dirawat sejak kecil sirna karena tinta berwarna. Kedua
gadis itu kemudian bersumpah.
“Sejak sekarang, kau tak boleh lagi pergi ke nangot(2). Kalau kau pergi ke nangot, maka kau akan mati,” kata Imuk.
“Kau pun begitu, tak boleh pergi pengarankg(3). Kalau kau ke sana, kau juga akan mati,” Rue membalas Imuk.
Sejak
saat itu, tali persahabatan kedua gadis desa itu putus. Mereka kemudian
berpisah dengan kesedihan. Rue dengan tubuh yang cantik dan indah pergi
ke pengarankg untuk selamanya. Sementara Imuk dengan tubuh yang dipenuhi warna biru pergi ke nangot, juga untuk selamanya. (*)
Catatan:
(1) Kerigai: jaraiyang terbuat dari rotan atau bambu
(2) Nangot: hutanmuda bekas ladang
(3) Pengarankg :hutan rimba