Cerita Seorang Lelaki Melakoni Hari Menjelang Kematian
Cerita,Seorang,Lelaki,Melakoni,Hari,Menjelang,Kematian, Cerita Seorang,Lelaki Melakoni,Hari Menjelang,Kematian, Cerita Seorang Lelaki, Melakoni Hari,
Lelaki itu bergerak perlahan. Berjongkok
kemudian beringsut. Ia menahan napas. Matanya menatap tajam pada satu titik
hitam yang berjarak satu depa dari tempatnya berjongkok. Perlahan dia kembali
beringsut. Tangan kanannya memegang rotan yang ujungnya dianyam pipih. Rotan sehasta
itu diangkat. Ia bersiap untuk mengayun pada titik hitam yang jadi sasarannya.
Sekelebat rotan itu terayun. Prakkk...seekor
lalat terkapar. Lelaki itu tersenyum. Satu lagi buruannya mati. Bangkai lalat
itu dipungutnya. Diambil mangkok yang dibuatnya dari ruas betung. Di dalam
betung itu sudah ada sembilan ekor bangkai lalat.
“Ini yang kesepuluh,” katanya.
Lelaki itu beranjak. Secarik kertas bekas
penanggalan dan pensil yang disematkan di dinding ruang tamu diraihnya. Pada
satu sisinya, kertas itu tertulis angka delapan, yang dibawahnya tertulis RABU.
Tak tertulis angka tahun pada kertas tersebut. Di kertas itu, kosong. Di sisi
yang kosong itulah, ia menuliskan garis-garis kecil membentuk angka satu. Sudah
ada dua puluh kelompok garis pada kertas itu. Tiap kelompok ada lima garis.
“Sudah seratus lalat yang mati,”
katanya.
Gayon, nama lelaki itu. Usianya sudah
lebih dari tujuh dasawarsa. Setahun terakhir, lelaki empat putra dan tiga putri
ini memburu lalat. Ia sudah tak sanggup lagi menoreh, pekerjaan yang dilakoni
sejak masih berusia delapan tahun. Pekerjaan yang menghidupkan keluarganya.
Gayon bahkan tak sempat mengucapkan selamat tinggal kepada pohon-pohon karet
yang menjadi sandaran hidupnya. Ia tak sanggup lagi menyadap latek putih yang
setiap pagi menunggunya. Baju putih penuh bercak hitam karena cimpratan latek
tak lagi melekat pada tubuhnya setiap pagi. Begitu juga celana trening yang
ujungnya kakinya tak lagi sempurna juga sudah purnatugas. Lading(1),
pisau penyadap karet, sudah mulai karatan. Sudah satu tahun tak diasah. Ia
hanya menjadi penghias dinding, yang bersanding dengan lading-lading
lainnya.
Sejak setahun terakhir, tungkai kaki
Gayon melemah. Dia tak sanggup lagi berjalan jauh. Usia dan sakit tak mampu ia
lawan. Berkali-berkali berobat, tapi tak juga membuat kakinya mampu menopang
tubuh ringkihnya. Tapi ia ikhlas menerima keterpurukan kesehatannya. Ia tetap
tersenyum kepada koleganya menemuinya untuk sekadar memberikan semangat hidup
kepadanya.
“Bagaimana kakimu?” tanya Usu, iparnya
yang lebih muda tujuh tahun darinya.
“Agak baikan. Lumayan untuk berjalan
menuju sungai,” jawabnya.
Keduanya ngobrol sambil sesekali
tertawa. Sambil menyeruput kopi, mereka bercerita tentang masa muda. Masa-masa
saat masih gagah. Sesekali tawa membuncah. Gelak mengisi ruangan berdinding
papan menimpali suara burung di pohon gandaria depan rumah. Lalat yang terbang
memancing Gayon untuk memburunya. Hinggap sebentar di bibir cawan, lalu
sekelabat terbang lagi.
Gayon tak suka lalat. Walau hanya
pernah mengenyam sekolah rakyat pada tingkat tiga, ia paham kalau lalat itu
sumber penyakit. Keluarga serangga dari ordo diptera, yang berarti dua
sayap ini, membuatnya resah. Karena itu, jika melihat lalat ia selalu
geregetan. Makanya, ia membuat pemukul lalat dari rotan yang ujungnya dianyam
pipih. Setiap melihat satu lalat, Gayon cekatan meraih penapek (2) lalat
itu. Begitu berhasil menapek(3) lalat, ia memasukan dalam
hitungan di kertas almanak itu. Selalu seutas senyum tersungging di bibirnya.
Di palong(4) betung itu juga bertambah bangkai lalat. Ada
yang sudah mengering. Sebagian sudah hilang beberapa anggota tubuh lalatnya.
Bangkai yang lain, habis diratah semut.
Tetap saja Gayon resah. Satu lalat
mati dipukulnya, lalat lain kembali datang. Satu keresahan berakhir, keresahan
lain datang. Lalat-lalat itu menghantuinya. Tetapi, ia tetap bersemangat
memburunya. Inilah hiburan bagi Gayon yang masa senjanya digerogoti penyakit,
yang membuatnya tak sanggup lagi melangkahkan kakinya. Lalat memberikannya
pekerjaan baru. Pekerjaan yang membuatnya harus bergerak sehingga tubuhnya tak
hanya diam. Lalat yang meresahkannya sekaligus memberinya anugerah. Walau
kakinya tak kuat lagi melangkah, tetapi ia berusaha menjaga kebugaran tubuhnya.
Iya, dengan memburu lalat yang hinggap pada bibir cawan atau sekadar hinggap
pada anggota tubuhnya.
Hari demi hari, Gayon terus memburu
langit. Ia tak bisa menghitung entah sudah hari keberapa ia mengejar mahluk
jenis serangga dari ordo diptera itu. Namun, tiap satu lalat yang berhasil
ditepuknya, selalu dicatat dalam kertas penanggalan itu. Tak terasa, Gayon
sudah menepuk lebih dari seribu lalat.
“Sudah seribu tiga puluh lima lalat.
Hampir dua tahun ya?”
Iya. Hampir dua tahun Gayon menepuk
lalat. Tapi tak juga lalat-lalat itu habis. Selalu datang lalat baru, yang
datang menggantikan lalat lain yang telah mati. Tak semua lalat langsung mati
selepas ditepuknya. Ada yang sekarat dengan sayap yang bergetar-getar. Ada juga
yang berupaya terbang lagi. Tapi, sekali lagi, satu ayunan penapek
membuat lalat-lalat itu tak berkutik. Terkapar kemudian mati. Terkadang tubuh
lalat yang ditapek remuk, bahkan tidak bisa lagi disebut lalat.
Gayon tak sanggup melawan waktu.
Usianya makin uzur. Tulangnya juga kian rapuh. Daya geraknya sudah sangat
lambat. Matanya juga sudah kabur. Rabun menyergapnya. Kerap ia sulit membedakan
antara lalat dengan satu sampah bekas mainan cucunya. Tak jarang, ia salah menapek.
Kotoran kecil itu dikira lalat. Kalau pun itu lalat, banyak yang lolos. Ia
benar-benar tak mampu melawan kekuatan waktu.
Hingga empat tahun berlalu, Gayon
mengakhiri hidupnya. Ia meninggal dengan satu senyuman. Senyum kemenangan
melawan kegelisahannya terhadap lalat-lalat yang suka menyeruput kopi pada
bibir cawan, yang diseduhkan istrinya. Senyum kegembiraan meawan keresahan
melawan mahluk ordo diptera yang membuatnya tak tenang tidur karena sering
hinggap di tubuhnya.
Hingga suatu hari, anak bungsunya
menemukan kertas penanggalan yang dijadikan tempat menulis lalat-lalat, yang
berhasil ditapek.
“Tercatat 2.545 ekor lalat!” (*)
Catatan Kaki:
1.
Lading : pisau untuk menoreh/menyadap karet
2.
Penapek : alat yang dianyam dari rotan untuk
menepuk/memukul
3.
Menapek : menepuk/memukul
4.
Palong : wadah yang terbuat dari ruas bambu.